Kedai Kopi

164 21 6
                                    

"Hei Van, aku sudah mengirimkan cv kita ke beberapa perusahaan. Dan apakah kau tahu? Kita di terima di salah satu perusahaan dan akan menjalani interview besok!"

"Kamu serius? Perusahaan mana?"

Saat ini Vanilla tengah duduk berdua dengan sahabat baiknya Dinar di sebuah kedai kopi. Keduanya sedang asyik mengobrol sambil menikmati kudapan serta kopi yang tersaji di cangkir masing - masing.

"Kamu tahu Narayana Company? Mereka sedang mencari beberapa employee fresh graduate untuk di tempatkan di beberapa divisi mereka. Itu perusahaan besar Van! Dan sejak dulu aku sangat ingin sekali bekerja disana."

"Tunggu, Narayana Company?"

Vanilla cukup terkejut ketika Dinar menyebut nama Narayana Company, dalam batinnya ia mengumpati sahabatnya itu karena gadis itu terlampau bodoh telah memasukkan dirinya ke perusahaan yang tak lain adalah milik Dewangga.

"Iya, Narayana Company. Pemilik beberapa produk terkenal itu loh Van! Apa kau tidak tahu? Aku sempat mendengar rumor jika CEO NC itu orangnya sangat tampan."

Vanilla masih terdiam mendengarkan ocehan sahabatnya itu. Bagaimana mungkin Vanilla tidak tahu pemilik Narayana Company sementara mereka saja tinggal satu rumah. Ini berkah atau musibah? Vanilla mengacak rambutnya dengan frustasi.

"Kamu kenapa Van?"

"Ahh, tidak aku tidak apa - apa. Hanya rambutku sedikit gatal dan sepertinya aku butuh keramas sekarang."

"Sebentar dulu lah, Van. Ini kue nya masih banyak."

Vanilla mendengus, sahabatnya ini paling tidak bisa jika harus menyisakan makanan. Semua harus habis masuk kedalam perutnya. Jadi tak ayal, bentuk tubuh Dinar sedikit lebih berisi daripada Vanilla yang sedikit kurus semampai.
Mau tidak mau Vanilla harus menuruti ucapan Dinar. Sebab ya mubadzir juga sudah memesan kue sebanyak itu tapi tidak di makan. Jadi, dengan sabarnya Vanilla menunggu Dinar yang melahap kue - kue itu sembari menyesap kopinya.
Sesekali Vanilla mengedarkan pandangannya ke sekeliling kedai kopi tersebut. Ini adalah kedai kopi favoritnya sejak sekolah menengah. Ia selalu mengajak Dinar untuk singgah dan bersantai di kedai kopi yang tak lain adalah milik teman baik Bimantara.
Saat tiba tatapannya di sudut kedai kopi ini, rupanya sejak tadi ada seorang pria yang tengah memperhatikan gerak - geriknya. Kedua mata itu bertemu dan sontak membuat Vanilla muram. Rupanya Dewangga sedang berada disana dengan beberapa rekannya.

Vanilla : Om ngapain disini?

Dengan cepat Vanilla segera mengirimkan sebuah pesan singkat untuk Dewangga. Dan seperti biasa, Vanilla tidak mendapatkan balasan meskipun pesan itu telah terbaca.
Dasar Om - Om sombong!
Batin Vanilla mencaci maki Dewangga.

"Bisa lebih cepat sedikit makanmu itu? Jika tidak bisa menghabiskan nya sekarang, kenapa tidak di bungkus saja sih."

"Sepuluh menit lagi deh Van. Apa gatal di kepala mu itu sudah tidak bisa di tahan?"

"Ya sudah aku ke salon dulu, nanti kamu susul aku. Seperti biasa di lantai empat."

"Lalu kue - kue ini dan kopi mu siapa yang bayar Van?"

"Punya teman satu berisik sekali."

Vanilla yang sudah mau beranjak dari tempat duduknya terpaksa harus kembali untuk memberikan beberapa lembar uang ratusan kepada Dinar, sebelum akhirnya ia bisa segera pergi dari kedai kopi itu menuju ke lantai empat. Dan ini semua karena Dinar.
Jika saja bukan karena Dinar yang melamar pekerjaan di perusahaan milik Dewangga, Vanilla tidak akan mungkin sefrustasi itu. Bahkan sekarang ia harus keramas di salon hanya karena Dinar yang tidak peka dengan sahabatnya yang sedang stress karena ulahnya.

Bitter VanillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang