Entah harus bersyukur atau merasa sial begitu memiliki teman yang sangat perhatian, perihal hidup bahkan sampai hal asmara juga diperhatikannya.
Nanda, pria yang berusia dua puluh tujuh tahun akhir itu adalah contoh sempurna dari deskripsi teman yang begitu perhatian itu. Ia sudah menjadi teman Isha sedari menjadi mahasiswa baru di salah satu perguruan tinggi kota Bandung sampai sekarang ia kembali ke kota asalnya dan Isha memutuskan untuk ikut.
Bagi Isha, Nanda sudah terlalu jauh untuk dibilang sahabat, baik buruknya sudah ia ceritakan, bahkan cerita tentang ia yang tidak memiliki keluarga satupun.
Isha adalah salah satu anak panti asuhan yang bisa dikatakan beruntung karena bisa merasakan pendidikan, walau terlambat karena harus bekerja dulu tapi buktinya ia berhasil berdiri sendiri dan sekarang punya kehidupan yang cukup. Bagi Isha, Bandung adalah kota yang selalu membawa memori sendu, selalu saja teringat bahwa di kota itulah ia dibuang oleh orang tuanya tanpa meninggalkan jejak sedikitpun, hingga Nanda datang memberikan penawaran berani, dan itulah permulaan Isha menjalani hidupnya dengan berani keluar dari kenyamanan menyesakkannya dan berkahir di sini, kota asing yang anehnya terasa lebih baik.
Mungkin itu alasan keduanya merasa begitu dekat karena bagaimanapun mereka sudah menghadapi hidup yang hampir sembilan puluh persen isinya hanya pahitnya saja, dan mungkin cara Nanda mengekspresikan khawatirnya dengan mengurusi kehidupan Isha yang begitu memprihatinkan.
"Sha, di kantor gue ada cewe jomblo, pokoknya sopan baik juga orangnya, kayaknya cocok buat lo jadiin istri."
Isha lagi-lagi menghela napas berat, ia sebenarnya sangat paham Nanda dengan segala khawatirnya itu, mungkin hidupnya yang tidak memiliki mimpi dan hal yang ingin dicapai membuat Nanda khawatir Isha akan hidup sendiri selamanya.
"Gue udah dengar dari Hanah, selamat atas kehamilan istri lo ya." Nanda berdecak kesal menyadari Isha sedang mengubah topik pembicaraan sedangkan Isha hanya tertawa.
"Sampai kapan sih lo mau hidup gini Sha? Lo ngga bisa terus-terusan sendiri, hidup tuh terlalu panjang untuk lo laluin sendiri, cari seseorang untuk temen masa tua lo biar nanti disaat lo udah ngga bisa apa-apa ngga bisa cari kesibukan lagi setidaknya ada dia yang bikin lo ngga ngga ngerasa sendirian."
Jika sudah seperti ini Isha sudah tidak bisa menghindar. "Gue paham kekhawatiran lo, tapi gue ngga apa-apa. Hidup gue yang sekarang tuh rasanya udah jadi hadiah besar banget, bahkan rasanya gue ngga berani berharap apa-apa lagi, ini tuh udah lebih dari cukup. Gue ngga ngerasa kekurangan, gue juga punya lo, udah, itu udah cukup bagi gue, gue kadang ngerasa berdosa kalau berharap lebih dari ini, gue tau lo ngga bakal terus ada dan itu ngga apa-apa hidup gue bukan kewajiban lo Nan, jadi ngga apa-apa lo hidup dengan keluarga lo jangan khawatirin gue, gue punya diri sendiri untuk hadapi semua masalah, makasih karena lo udah perhatian banget sama gue, tapi sekali lagi jangan jadiin gue beban hidup lo ya, ingat sebentar lagi lo bakal jadi ayah yang mana tanggung jawab lo bakal lebih banyak lagi Nan. Tenang aja gue akan selalu aman."
Nanda pandangi sahabat seperjuangannya itu, walau sudah dijelaskan sepanjang itupun rasanya ia tidak bisa tenang entah apa yang harus ia lakukan untuk Isha yang keras kepalanya itu.
"Kenapa liatin gue segitunya sih? Iya gue tau gue bakal makin tua, nanti kalau lo ngga mau gue kesepian gue bakal ke panti jompo deh, tenang aja."
"Mulut lo! Tapi lo bener-bener ngga tertarik sama siapapun gitu Sha? Even cowok gitu?"
Isha refleks mengerutkan keningnya, apakah Nanda benar-benar sudah berada di tahap depresi berat?
"Nan, udah deh bahas gue nya kayaknya makin kesini tuh makin ngaco, kalau tetap lanjut gue tinggal ya mending gue bantu anak-anak ngurus cafe."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Abim [hyuckren]
Fiksi Penggemarketika hubungan datang dari orang dan waktu yang tepat.