02

199 40 3
                                        


"Tidak, aku tidak mengenal siapa-siapa." desis Jeno, membuang muka kasar.

Wajah Renjun jatuh seketika. Mata Chenle bertemu dengan milik Renjun, tatapannya lemah namun menghardik Renjun dalam sunyi, katanya kamu kenal?

Renjun menelan ludah, tidak sudi dipersalahkan. Ini menyangkut masalah hidup dan mati. Renjun punya harga diri setinggi langit, namun kalau bicara bertahan hidup, sampai mengubur diri ke bawah tanah Renjun akan lakukan. Dalam permainan kekuatan ini skala memang timpang ke arah Jeno, membuat ia membumbung di atas langit dan Renjun membelesak di dalam tanah. Tapi Renjun siap meregaskan kaki, mengungkit dirinya tinggi-tinggi.

Biar harga dirinya harus jatuh ke titik minus, nyawa Chenle jauh lebih penting, dan Renjun keras kepala untuk mendapat apa yang ia mau.

Renjun jatuh tersungkur di atas kedua lutut, ditangkupnya kedua tangan menjadi satu, memohon minta tolong, "Tolonglah, Jeno, kamu mungkin lupa, tapi aku benar-benar  teman sekelasmu, Huang Renjun, lulusan SMA Dong Yuen Jilin angkatan 2018."

Renjun memasang muka paling memelas. Matanya membundar, berkaca-kaca dengan air mata dan pipinya digembungkan sedikit, membuat bibirnya terlihat lucu dan imut. Ini senjata pamungkas Renjun, meski membuat hatinya meronta-ronta dengan geli. Mantan-mantannya hampir tidak pernah ada yang bisa menolak Renjun kala sudah bergaya ala kucing gemoi seperti ini.

Namun Jeno di hadapannya tetap teguh kukuh tanpa ekspresi, tidak terpengaruh godaan manis Renjun. Alis Renjun mengendur heran. Seingat Renjun, Jeno adalah salah satu orang paling baik yang pernah ia kenal, apa yang membuatnya menjadi dingin seperti ini?

Tepat saat itu juga, satu orang lagi yang paling tinggi di antara mereka menyeruduk ke luar di antara Nana dan Jeno. Paling besar, namun terlihat paling muda, memakai jaket lengan panjang dari bahan jeans. "Ada apa nih ribut-ribut? Astaga! Kamu Zhong Chenle?"

Geraman liar lepas dari mulut Chenle yang matanya sudah memerah seutuhnya, liur menetes-netes feral di antara gigi bertaringnya. Chenle menggeleng-gelengkan kepala, berusaha sadar dari kuasa virus, menampar mukanya sendiri, "Park Jisung?"

Mendengar suara Chenle dan mencocokannya dengan memori membuat Jisung langsung kalang kabut dengan IYA.

"Jaemin hyung cepat tolong dia! Cepat! Cepat! Ayo suruh mereka masuk!" rengek Jisung menggamit lengan telanjang Nana, yang punya senyum penuh gigi dan memakai baju tanpa lengan. Jaemin menatap Jisung, mulai luluh untuk adik kesayangannya.

Melihat Jisung yang terus panik menggoyang-goyangkan lengan kirinya, Jaemin angkat bicara karena tidak tega,"Jen, kasihan mereka. Dua orang tidak akan memberatkan kita."

Jeno memegang pergelangan tangan Jaemin yang sudah bergerak, "Jaemin. Aku tidak mau kamu memaksakan diri."

Jaemin membungkam Jeno dengan senyum manis, memejamkan matanya sambil mengangguk-anggukan kepala seperti nenek tua, "Aku tahu, aku tahu, Jeno cerewet. Aku bisa urus diriku sendiri."

Mendengar jawaban Jaemin, Jeno menghela nafas, seluruh badannya tegang, seolah ada amuk gejolak amarah yang diredamnya. Jaket puffer ungu yang dikenakannya seolah semakin menggembung, namun pada akhirnya ia menghembuskan nafas menyerah, membuat dirinya ikut mengempis, "Terserah, berbuatlah sesuka kalian."

Jeno kemudian berlalu, mengusak kacau rambutnya dan masuk ke dalam.

Jaemin memandang Jeno sampai punggungnya hilang lalu dengan senyum sungkan menyambut Renjun dan Chenle, "Maaf, dia tidak sopan sekali ya. Perkenalkan, aku Na Jaemin."

"Lalu dia Lee Donghyuck," Jaemin menunjuk pada orang yang membukakan pintu bagi mereka, rambut hitam urakan di atas kepalanya dan kaus band kebesaran menutupi tubuhnya.

gasolina [noren | reupload]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang