05

163 33 3
                                        

Seminggu pertama mereka kuat menunggu, menanti Mark dan Donghyuck membawa pulang Jaemin. Jeno setia, mengibarkan bendera di atas pintu masuk basement mereka, menunjukkan kalau mereka berempat baik-baik saja, aman di bawah tanah.

Namun, memasuki minggu kedua tanpa kepastian, menunggu menjadi pekerjaan tersulit di dunia, membuat Jeno goyah.

Jaemin, Mark, dan Donghyuck tidak pernah kembali.

Jeno menggigit kuku-kukunya—kebiasaan buruk yang selalu ia peringatkan Donghyuck tapi tidak menyangka bakal ia adopsi sendiri. Setiap kali itu terjadi, Renjun akan menarik tangan Jeno dari mulut, menjauhkannya dari jangkauan.

"Tidak boleh." bisik Renjun. Satu tangan Jeno ia genggam dengan kedua tangan. Renjun menatapnya dengan iba, Jeno yang biasanya begitu kuat sekarang benar-benar kacau.

Renjun tidak tahu, kalau ternyata semudah ini untuk jatuh cinta pada Jeno. Bahkan dalam kondisi kritis seperti ini Renjun sulit percaya ia tidak bisa menghentikan hatinya jatuh. Renjun memahami dirinya mata keranjang, mudah gelap oleh nafsu, binal kalau boleh dibilang setiap melihat mahluk tampan dengan dua testis di antara kaki. Jeno pun bukan pengecualian. Wajah Jeno bisa membuat siapapun bertekuk lutut, entah memuja atau minta dipuja olehnya. Alis tebal, garis wajah tegas. Jeno begitu maskulin, memukau memesona bahkan tanpa polesan. Kalau Jeno tidak terbang secepat kilat ke Australia seusai kelulusan, mungkin Jeno berakhir menghiasi sampul majalah sebagai artis idola.

Jeno adalah personifikasi mimpi-mimpi basahnya, tapi yang membuat Renjun gusar separuh mampus bukan cuma karena ereksi yang menegang kala mereka tidur bersebelahan bagai pepes di dalam markas, tapi terlebih karena hati mungil Renjun tidak kuat. Atraksi dangkal atas dasar fisik bagi Renjun hanya berhenti sebatas selangkangan, tapi Renjun pusing karena Jeno lebih dari itu.

Renjun gusar karena Jeno juga menggenggam hati Renjun seutuhnya, menarik-narik perasaan Renjun, membuat Renjun ingin mengorbankan dunia supaya bisa bersama Jeno selama-lamanya.

Bagaimana Jeno; lembut mengusap luka-luka di sekujur lengan dan kakinya. Dengan telaten menunggunya tidur, setia menggendongnya kala kaki lemah Renjun terasa sakit, sampai memandikan Renjun saat ia tak mampu. Bahkan, di tengah kalut akibat kepergian Jaemin, Jeno masih tetap karang pelindung yang setia. Walaupun Jeno terus berjaga di sekitar pintu masuk, berharap ketukan di atas kepala mereka bukan sekadar langkah kaki zombie yang telah menguasai rumahnya, Jeno tetap setia mengusap kepala Renjun kala tidak bisa tidur di malam hari. Karang pelindung yang hangat menjaga Renjun di tengah getir ketakutan yang dipendamnya sendiri. Renjun sulit percaya semua tindakan Jeno yang mengguncang hatinya bersifat non seksual.

Lebih parahnya, semua kualitas ini bukan hal baru dalam diri Jeno. Jeno selalu perhatian untuk Renjun, dari mereka masih duduk di bangku sekolah, namun Renjun orang buta yang tidak pernah menyadari berlian di pelupuk mata.

Maka itu melihat Jeno hancur turut membuat hati Renjun sakit. Renjun mencium punggung tangan Jeno,  berharap tindakan sederhana ini bisa menarik Jeno keluar dari gelap dunianya. Namun Jeno tak bergeming, terlalu larut dalam pikirannya sendiri.

Renjun mengedarkan pandangan pada Jisung dan Chenle, sama kosong dan terpukulnya. Remang basement membuat matahari tak pernah tembus, membuat orang-orang muda menua mengerut dengan cepat seperti kesemek kering. Minggu kedua berlindung di basement, makanan semakin menipis dalam sempitnya ruang. Gelap masa depan mereka membuat segala suasana menjadi tegang.

"Mark-hyung dan Donghyuck-hyung pasti membawa Jaemin ke tenda pengungsian." usul Jisung, memeluk lututnya dengan sebelah lengan.

Kosong kesunyian mengisi setiap sudut ruangan basement. Meskipun ingin, tidak ada yang berani percaya pada kata-kata Jisung.

gasolina [noren | reupload]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang