Jaemin menyaksikan mata Renjun berputar ke belakang menutup lalu sang empunya jatuh tidak sadarkan diri. Jaemin rasa tadi semua orang, termasuk dirinya fokus pada Chenle sampai melupakan Renjun yang membopong Chenle sendirian delapan kilometer. Tanda-tanda dehidrasi dan kelelahan terlihat jelas pada dirinya, dan sedari tadi Renjun terus bergetar tanpa henti. Adrenalin dan cintanya yang besar pada Chenle adalah satu-satunya gasolin yang membuat Renjun terus berdiri tiga jam terakhir. Menurut perkiraan Jaemin, dengan massa otot Renjun, seharusnya dia sudah tumbang suatu tempat di luar jalan, mungkin belum sampai di gerbang depan rumah Jeno.
Jaemin melarikan semua analisis cepat tadi kurang dari satu detik dalam otaknya, sebelum ia bergerak hendak menangkap Renjun. Biarlah jus bayamnya tumpah, isi kepala seorang manusia lebih penting, Jaemin takut kepala Renjun membentur lantai linoleum rumah Jeno.
Namun alangkah terkejut Jaemin, ia bahkan tidak perlu melepas gelasnya. Jeno muncul secepat kilat, menangkap Renjun tepat saat dengkulnya menyerah.
Jaemin tahu Jeno suka pergi berlari dan bersepeda, tapi perlu diakui, hebat juga temannya ini. Tanpa suara Jeno merengkuh Renjun dengan lembut, menyandarkan punggung Renjun pada dadanya tanpa menghiraukan betapa kotor dan kumalnya Renjun. Jeno berbisik perlahan seolah takut mengganggu Renjun, "Jaem, ini dia tidak apa-apa?"
Jaemin menunjuk-nunjuk kepala Renjun yang lemas dan jatuh ke depan, minta Jeno untuk menyangganya lebih baik. Jeno patuh mengikuti, sementara Jaemin memeriksa mata dan nafas Renjun. Jaemin memandang wajah panik Jeno dan menghembus separuh tawa, "Iya Jen, dia cuma ketiduran."
Jeno menghela nafas lega. Dalam sunyi dan hati-hati, diangkatnya Renjun dalam gendongan layaknya seorang putri dan ia dudukkan Renjun ke atas sofa berbantal empuk. Tidak lupa Jeno membenarkan letak kepala Renjun supaya tidurnya lebih enak serta melemparkan selimut ke atas tubuh lunglainya.
"Whoa jadi kamu benar-benar kenal ya, Jen?" decak Donghyuck yang muncul dari dapur, sekantung bayam di tangannya—bayam yang dahulu Jeno tanam untuk ibunya di halaman belakang, namun sekarang jadi penting untuk sustenan mereka. "musuhmu kah Jen? Sekarang sudah baikan makanya kamu tolong barusan?" goda Donghyuck sambil memainkan alisnya.
"Tadi bahaya soalnya. Aku tidak mau rumahku jadi TKP." kilah Jeno pada Donghyuck. Donghyuck menjulurkan lidahnya nakal, meledek tidak percaya pada Jeno. Jaemin tidak melewatkan kalau Jeno masih setia duduk di samping figur Renjun yang tertidur, meski saat Renjun membuka mata, Jeno selalu pergi jauh-jauh.
"Asli, orang ini cantik sekali, seperti peri," puji Donghyuck dengan tulus, berjongkok di depan Renjun. Tangannya bergerak mendekati alis Renjun yang tertidur, hendak merapikan rambut pendeknya. Sebelum Donghyuck bisa melakukan itu, Jeno menepis tangan Donghyuck, tidak lupa menatap Donghyuck mengancam.
"Aish, tadi galaknya bukan main, sekarang pelitnya minta ampun." cibir Donghyuck sambil manyun-manyun, memutuskan untuk berlalu mencari kesenangan lain karena tidak mau di cutek oleh Jeno. Jeno memastikan Donghyuck sudah pergi ketika melepas topeng kebencian dari wajahnya.
Dengan sendu Jeno memperhatikan wajah Renjun yang kotor dengan debu, sebelum kembali menoleh ke Jaemin. Jaemin masih tersambung pada selang infus, namun gayanya sudah seperti di atas singgasana. Jaemin melipat kakinya dan bertopang dagu sengak.
"Dia cinta pertamamu? Si brengsek cantik?" seringai Jaemin ketika ia yakin tak ada yang mendengar kecuali Jeno.
Butuh waktu agak lama bagi Jeno untuk menjawab, "Iya Jaem. "
👾👾👾
Jilin, 7 tahun yang lalu…
"Xiao Ren, aku sudah selesai menyalin PR untukmu!" seorang bocah laki-laki, rambutnya dipangkas habis, menyodorkan buku PR untuk temannya yang duduk di samping.
KAMU SEDANG MEMBACA
gasolina [noren | reupload]
FanficIni akhir dunia. Virus aneh serupa apokalips zombie menjalar cepat menyerang pinggiran kota Seoul. Di tengah mencari suaka bagi dirinya dan Chenle, sahabat baiknya, nasib membawa Renjun bertemu kembali dengan Jeno, teman sekelasnya dulu saat SMA. An...