---
Keesokan harinya terasa seperti sendirian, Dintara tetap melanjutkan aktivitasnya sebagai seorang dokter. Kinara hanya terdiam kebingungan. Dijaman yang sudah canggih ini, banyak pertanyaan yang menggunung dalam pikirannya. Ada beberapa hal yang menurutnya tidak bisa Ia pahami. Pertama, ponsel miliknya. Setiap Ia menanyakan ponselnya, Dintara terus berkata bahwa ponsel itu hilang beberapa waktu yang lalu saat Ia pergi check up ke rumah sakit.
Kedua, mengenai keluarganya. Dintara dengan santai menggeleng-gelengkan kepala dan berkata bahwa dirinya sudah tidak punya siapapun sejak kepergian orang tuanya. Ketiga, Temannya. Tidak, tidak mungkin Ia tidak memiliki sama sekali satu teman pun. Tetapi Dintara seakan menepis semua itu. Lelaki itu berkata bahwa Kinara tidak memiliki teman semenjak kehamilannya. Ia fokus menjaga diri dirumah sembari menunggu kelahiran anak pertamanya. Sepanjang hari, Kinara menatap dirinya dalam cermin. Apakah inilah sosok sebenarnya? Kinara yang benar-benar sendirian didunia ini? Suaminya pun seperti orang asing yang datang tiba-tiba setelah dirinya siuman.
Apa yang membuatnya ragu? Suami? Anak? Dirinya sudah memiliki ini. Tetapi kenapa hatinya terasa kosong?
Kinara terus diingatkan Dintara untuk berhati-hati jika berjalan ketaman belakang. Memang taman kediaman keluarga Wikasa sangat luas, bahkan ada dua buah lapangan untuk bermain tennis dan basket. Ada satu kolam renang berukuran sedang disampingnya, Kinara sempat berpikir apakah Suaminya sekaya itu? Tidak, Ini bahkan seperti Ia menumpang hidup pada lelaki dengan julukan old money.
"Aku tidak bisa berdiam diri seperti ini, Bagaimana bisa Aku mengingat semuanya jika tidak mencari tahu." Kinara bergegas untuk berkeliling dari Lorong-lorong rumah bahkan sampai ke taman belakang. Tetap saja semuanya tampak asing dan tidak ada potret dirinya dalam beberapa bingkai foto yang terpajang didinding Lorong. "Ahh—paling tidak Aku harus mengenali kamar Anakku."
Ada beberapa pintu kamar yang tertutup, dengan rasa penasaran Kinara berusaha membuka satu persatu pintu tersebut untuk mencari keberadaan kamar Anaknya. Tidak, Ia belum menemukan kamar yang Ia inginkan. Tetapi ketika hendak membuka pintu terakhir di lorong itu, ada sebuah pekikan disamping telinganya.
"Apa yang sedang Kau lakukan?!!" Teriakan itu terdengar ketus, Kinara merengut karena takut. Grace Yunita Terryana, Kinara baru bisa menghapal nama itu karena nama itu terpampang disalah satu bingkai foto yang tertempel didinding. Kinara sedikit membungkuk hormat karena merasa dirinya salah.
"Maaf, Ibu. S-saya hanya ingin mencari kamar Anak Saya—"
"Wanita ini, terus saja beralasan sejak dulu. Tsk." Desis Grace dengan sinis. "Kau—Aku tahu Kau sedang amnesia. Tapi bukankah membuka pintu semua kamar ini tanpa ijin adalah sebuah kelancangan!" Tampaknya Grace tidak mengindahkan niat Kinara.
"S-saya tidak bermaksud untuk—"
"Kembali ke kamarmu atau Aku akan mengadu pada Dintara bahwa Istrinya sudah lancang!! Pergi sana." Usir Grace. Kinara tidak punya pilihan untuk kembali ke kamarnya. Satu fakta yang Ia ketahui ini adalah Kinara tidak disukai oleh Mertuanya sendiri.
Rumah yang besar ini terasa seperti penjara baginya. Ia tidak ingin seperti ini, Seorang Pelayan datang untuk mengantarkan makanan setiap jam makan seakan Ia tidak diijinkan untuk keluar dari kamar ini. Kali ini pelayan itu mengantarkan makan siang untuk Kinara sekaligus mengambil alas makan yang Ia antar pagi ini.
"Permisi Nona, Ini untuk makan siang—" Ucapan Pelayan itu tertahan ketika melihat makanan pagi yang Ia antar tidak tersentuh sama sekali, "Nona, apakah makanannya tidak enak? Anda ingin mengganti menunya?" Kinara hanya terdiam dibalik ranjang, terduduk sambil memeluk lututnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Break a Bird's Wings
RomanceBagaimana rasanya jika Ketika Kamu bangun Kamu tidak mengenal siapapun? Lalu lelaki asing memberitahu bahwa Kau memiliki seorang Anak? Hal itu yang dirasakan oleh Kinara Adiruna Tanasoedibjo. Ia terbangun dalam kondisi tidak mengingat apapun, lalu N...