Chapter 2 : Sosok anomali

15 0 0
                                    

***

Perlu diketahui bahwa tidak semua hal itu harus diketahui. Terkadang beberapa hal lebih baik tetap tersembunyi pada tempatnya.

~Di bekas gedung olahraga~

Tess... tess..

Dahi bonyok itu mulai meneteskan darah.

"Tolong ampuni saya, Pak. Saya janji gak bakal bully teman lagi." Merasa tak sanggup menghadapi pria dihadapannya Yogi berlutut dengan wajah babak belurnya.

Yogi adalah anak SMA tahun ketiga yang merupakan salah seorang pembully paling keras disekolah. Tahun sebelumnya seorang murid terpaksa putus sekolah karena kaki nya patah akibat perbuatannya. Ia mendapatkan skors 1 bulan dan dipastikan mengulang kelas. Tapi itu tak cukup baginya.

Bahkan belakangan ini ia masih melakukan aksinya. Menyaksikan itu semua Victor Frankenstein, seorang guru muda berdarah Swiss tidak bisa membiarkan itu terus terjadi. Tapi yang akan ia lakukan sudah terlalu jauh daripada batas apa yang seharusnya guru lakukan

"Ampun? Kenapa kamu berpikir kamu masih punya kesempatan?"

Slaashhh.....

Sabetan pedang kecil tiba-tiba keluar menebas jari jemari Yogi. Jari-jarinya terpencar kesana kemari. Beginilah pendisiplinan pelaku bully yang seharusnya. mwehehe

Aaaaaaaaaaarrrgggh

Yogi berteriak histeris, nafasnya keluar masuk dengan cepat, tapi sayang sekali ujung horizon sudah menelan setengah matahari, para murid sudah pulang sejak 1 jam yang lalu.

Cahaya langit sore terpantul merah diantara cipratan darah yang membasahi lantai. Sementara itu Yogi heboh sendiri dengan tangan doraemon nya. Ia berguling-berguling kesakitan.

"Kamu punya ekspresi yang bagus." Victor menarik sebuah kursi kehadapan Yogi kemudian duduk dengan penuh keangkuhan. Dengan kaus tangan putihnya ia menarik dagu Yogi menuju area pandangnya, menatap makhluk malang dihadapannya dengan penuh intimidasi.

Dengan hanya beradu tatap saja Yogi yang mengerang hebat dari tadi seketika terdiam seribu bahasa. Ia menahan rasa sakit dengan menggiggit bibirnya hingga tertutup rapat tanpa suara.

"Kenapa diam? Mana mulut yang selalu merendahkan manusia layaknya binatang itu?" Tatapan Victor benar-benar tajam menggambarkan seolah sebilah pedang terhunus siap menebas leher musuhnya.

"Saya cuma jalanin perintah, Pak." Jawab Yogi gemetar. Mungkin sebentar lagi ia akan kencing dicelana.

"Kamu pikir aku peduli? Yang kutau kamu menganiaya Gery sampai masuk rumah sakit. Apakah alasan perintah membuatmu tidak bersalah?"

"Sebenarnya masalah Bapak apa sih? Saya bahkan gak pernah ganggu bapak sama sekali. Tapi lihat tangan saya. Masa depan saya sudah hilang" Yogi memberanikan diri bertanya tetapi kepalanya tertunduk kebawah. Sesekali ia tersedak menahan tangis.

Mungkin jika semua murid melihat pemandangan ini ruangan ini akan menjadi lapangan pertunjukan dengan tepuk tangan paling meriah.

"Masalahku apa? Hei boleh aku sedikit bertanya?"

"Apa?" Balas Yogi dengan suara bergetar.

"Jawab dengan jujur bagaimana rasanya saat melihat orang dihadapanmu tersungkur memelas dan memohon kepadamu untuk berhenti memukulinya?"

Yogi sedikit tersentak mendengar pertanyaan itu, mendengarnya membuatnya teringat sensasi menggairahkan yang ia rasakan pada momen-momen itu.

"Terasa seperti memandang makhluk lemah yang tak berdaya. Sekujur tubuh saya merinding, itu membuat saya berpikir ahh lihatlah mata itu. Memandangku seperti dewa yang akan berbelas kasih menyelamatkannya dari maut." Yogi tanpa sadar menjelaskan apa yang ia rasakan dengan bodohnya.

Segera ia menutup mulut dengan tangan doraemonnya. Tapi semua sudah terlambat.

Victor tertawa keras hingga menggema diseluruh ruangan. Kemudian kembali menatap Yogi, mulutnya menyeringai lebar.

"Dewa kah. Persepsimu sungguh menarik, aku jadi sedikit lega. Tapi ada satu hal yang kamu perlu tau." Victor membungkukan badan nya kedepan, mendekatkan mulutnya disamping telinga Yogi.

Ia bersuara dengan pelan

"Ini menarik karena sepertinya kita mirip."

***

Slurrrpp....

Victor tengah duduk santai dalam gedung kosong belakang sekolah -ruangan favoritnya- menyeruput secangkir jus merah kental ditangannya, itu memenuhi mulutnya hingga bocor menetesi kemeja putih dinasnya.

Sementara itu disisi lain Yogi terkapar mengenaskan dilantai dengan wajah tanpa kehidupan.
Ia sudah kehabisan energi untuk memberontak, bahkan saat ini ia tak mempunyai sesuatu yang dapat ia gunakan untuk lari atau pun melepaskan diri.
Kedua kaki dan lengannya sudah tak berada ditempatnya.

"Bapak ini sebenarnya apa?" Dengan susah payah Yogi membuka mulutnya untuk berbicara.
Ia sudah pasrah menonton Victor menyantap dengan lahap potongan lengannya.
Ya. Kamu gak salah baca.

"Puncak ekosistem." Jawab Victor singkat dengan mulut yang belepotan dengan darah segar.

"Bajingan sialan."

"Kalian pikir kalian manusia adalah puncak rantai makanan dibumi. Sungguh lucu. Katak dalam sumur tidak akan pernah tau luasnya lautan."

"Gimana monster sepertimu bisa ada?"

"Simpel. Dunia itu luas. "

Mendengar itu air mata yang Yogi tahan sedari tadi akhirnya berhasil mendobrak keluar. Ia menangis seperti bayi.
"Aku gak mau matii." Teriaknya.

Victor tergelak semaunya bagai binatang buas yang bermain-main dengan mangsanya
"Hahahahahaha. Ya benar seperti itu. Itu ekspresi yang kutunggu. Terima kasih sudah membuat hidangan yang spesial untuk ku"

Slashhhh......

Ia menebas leher seorang manusia tanpa ampun. Tak ada keraguan dalam ayunan pedangnya seperti hal yang sudah lazim ia lakukan...

***

Victor sudah selesai melahap sebagian besar tubuh yang ada dihadapannya. Hanya tersisa kepala yang utuh, bagian yang paling ia tak suka. Ia melemparnya sembarangan hingga sampai di pintu masuk.

Aaaaaaaaaaaaakkkhh

Tiba-tiba terdengar teriakan perempuan di balik pintu. Victor benar-benar terkejut dibuatnya. Ia sudah sangat yakin kalau semua murid sudah tidak ada disekolah. Lalu dia ini kenapa. Ketiduran di kelas? Dikunciin di wc?

Victor memicik kepalanya, ia tak pernah mengira akan ketahuan.

Dia udah liat kepala yogi. Kalo aku tinggal gitu saja masalah akan semakin besar karena dia akan melapor. Haruskah kubungkam dia.

"Hah, aku benar-benar kenyang. Kau mau beberapa?" Victor hanya berniat sedikit menakutinya. Ia berjalan perlahan dari kegelapan ruangan menuju cahaya sore yang terpancar kedalam melalui pintu.

Itu sangat mengejutkan. Mata victor membulat sempurna melihat sosok dibalik pintu itu. Wajah yang ia kenal.

"Clara?"

Belum sempat ia menghampiri Clara. cewek dihadapannya itu sudah sangat syok hingga tak sadarkan diri.

***

Note : Urutan pov Clara= Ch 1>sinopsis>ch 3

Death Is BetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang