2. Kantin Asrama

29 1 0
                                    

Fasilitas yang di miliki Sawada Mardaya seusai banget sama harga yang dikeluarkan buat masuk sini. Makanya gak salah kalo menjadi kampus favorit.

Untuk jatah makan tiap mahasiswa itu tiga kali sehari, udah mana makannya enak-enak. Sumpah deh, bikin betah. Di tambah kantinnya super luas dan super bersih.

"Duh!" Pekik gue gara-gara kedorong cowok yang beridiri di belakang gue, bukan Sebasta ataupun Aarav. Ya jelas karena mereka udah menikmati makanan dan duduk santai.

Sedangkan gue harus bersabar nunggu makanan gue. Sambil di buat pusing karena orang yang ngantri pada rusuh.

Gue noleh kebelakang, dengan wajah sinis.

"Bisa sabar gak?"

Sedangkan cowok itu tersenyum miring, "lah lo sendiri bisa cepet gak?" Nadanya terdengar songong.

Akibatnya temen-temennya pun mengudara kan tawa mereka.

"Kalo bisa juga gue gak bakal berdiri disini kali."

"Siapa suruh berdiri." Kata dia dengan ekspresi datar, rasanya tuh pen gue tampol itu mulut.

Tapi dalam hati gue meringis, kenapa spesies mahasiswa di sini pada bening-bening. Rasanya tuh mata gue kaya seger terus. Mana pada tinggi-tinggi. Gue jadi berasa kecil banget.

Akhirnya gue cuma berdecih, "Susah kalo ngomong sama hewan!" Cibir gue sebelum berbalik dan mengambil makanan.

Ternyata, cowok-cowok di sini pada ngeselin ya. Gue padahal gak ngerusuhin mereka apalagi berbuat ulah. Tapi, tetep aja kena.

Gue menghela nafas, sambil duduk di kursi di samping Aarav sedangkan Sebasta duduk didepannya. Terpaksa gue duduk sini, karena kalo udah jam makan malam kantin pasti rame. Sisa kursi yang masih kosong tuh pada jauh, dari pada kelaparan mending duduk sama mereka.

Aarav sama Sebasta cuma melirik singkat. Mereka kalo makan emang berubah pendiem. Syukur deh, kuping jadi gak panas lagi.

Namun, baru juga satu suap. Gerombolan cowok-cowok tadi malah bergabung duduk di sini. Walaupun cuma nambah tiga orang, tapi kerasa banget ramenya.

Salah satunya duduk di samping gue, alias cowok yang adu mulut sama gue tadi. Sedangkan sisanya duduk sama Sebasta.

"Oh, ternyata temen sekamar kalian." Ujar cowok adu mulut itu, nama panggilan sementara karena gue gak tau namanya.

Dia liatin gue dari atas sampe bawah, seakan menilai. Mana abis itu sudut bibirnya keakat, gak sopan!

Aarav mengangguk, abis itu nih cowok samping gue ngomong lagi, "Kecil banget ya, cocok nih jadi kacung." Alhasil cowok-cowok lain pada ketawa sambil liatin gue.

Kesel tau kalo di giniin. Gue pun langsung natep dia tajem, sambil nunjuk tuh cowok pake sendok,"Ngomong apa lo barusan?"

"Ow, ow. Galak banget sih boy." Intonasi suaranya terdengar meremehkan.

Dia tiba-tiba menarik tangan gue, lalu mendekatkan wajahnya, "lah, muka lo di liat-liat cantik juga anjir."

Deg!

Oke, ini udah dua kali gue di puji. Seperti di awal, kata cowok itu sebenarnya cemoohan tapi gue nangkepnya pujian. Jadinya yang awalnya gue emosi pengen gue bogem tuh wajah ganteng malah jadi pengen gue usep-usep. Emang selemah itu ya cewek?

Sebasta yang sedari tadi bersemedi akhirnya buka suara, "Iyakan, Za, gue juga mikir gitu."

Gue menepis tangan cowok di samping gue, lalu beralih menatap sinis Sebasta. "Tapi gini-gini gue bisa lawan lo ya!" Ujar gue mengingatkan kejadian di kamar.

HonestlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang