3. Lawan Erza

29 2 1
                                    

Paginya gue joging sama Aarav, sekalian liat-liat kampus Sawada Mardaya. Sebenarnya sekalian ngolah otot-otot gue buat gelut entar sore sih.

Gue ngelirik Aarav, yang lari di samping gue. Meski kakinya panjang dan bisa lebih cepat, dia seakan tetap mengimbangi dan gak mau duluin.

Saran gue sih, cewek-cewek kalo nyari cowok spek Aarav aja.

"Lo udah liat belum tempat duel nanti?" Gue yang lagi curi-curi pandang kedia, otomatis langsung buang muka saat Aarav natap gue.

"Belum, letak gedungnya aja gue gak tau."

"Mau liat?"

"Nanti aja ah, nanggung satu puteran lagi." Jawab gue yang energinya masih banyak. Padahal udah lari muter empat kali, dan di Inget lagi Sawada Mardaya itu luas.

"Wah, lo emang kecil-kecil cabe rawit ya. Tapi sayang mukanya cantik."

"Apa hubungannya deh perasaan. Lagian gini-gini, gue bisa kok lawan sepuluh orang." Lama-lama gue muak juga sama omongan tenang muka gue yang feminim.

"Contohnya kayak Mang Emril ya?" Tanya Aarav sambil menaikkan salah satu alisnya.

"Ya gak segitu juga dong." Bibir gue maju, kesel banget rasanya tuh pen nonjok muka ganteng Aarav.

Mang Emril itu yang nganterin gue kemaren, alis si petugas asrama dan badannya gede banget. Sebasta pun kalah kayaknya.

Aarav ketawa, "Kalo lo nanya hubungannya apa ya karena lo cantik. Makanya Erza gak suka,"

Tuhkan itu lagi pembahasannya.

"Emangnya apa hubungannya sih?"

"Di sini, cowok cantik bakal di cap cowok boti. Udah berapa mahasiswa di gituin sama Erza. Kalo lo sampe kalah lo bakalan pindah kamar asrama.

"Hah?!" Sontak gue berhenti sambil melotot menatap dia, "Kok sampe pindah sih? gue aja gak boti!" kata gue sambil berpose dua jari.

"Iya gue percaya. Tapi yang lain gak. Dan cuma bisa kejawab nanti kalo lo bisa menang lawan Erza."

"Gue pasti menang kok!"

Aarav mengangguk, "Iya tau." Sambil mengepalkan tangan keatas, "Semangat!"

Gue gak bisa nahan senyum, liat kelakuan dia. Tapi gue teringat sesuatu, "Lah, emangnya gak apa-apa ya duel di kampus? Masa kalah juga gue bisa pindah asrama."

"Semua bisa kalo di tangan Erza."

"Kok gitu? Emang kampus nenek moyangnya apa." Cibir gue dan Aarav cuma geleng-geleng.

"Lebih tepatnya punya bapaknya."

"HAH?!" ini udah dua kali gue syok gara-gara si Erza-Erza itu. Anjir, cowok setengil itu ternyata anak pemilik kampus.

"Yang bener lo?!" Tanya gue lagi untuk memastikan.

Dan Aarav malah ketawa kenceng, dia nunduk sambil megang perut. Setelah itu ngomong hal yang bikin gue darah tinggi, "Boong, anjir. Lo gampang amat dah gue tipu." Abis itu dia langsung ngacir menjauh.

"WAHHH! kurang ajar lo Aarav! Mau gue sleding?" Teriak gue nyaring sambil ngejer dia yang lari duluan.

Kita udah kaya anjing dan kucing kejar-kejaran. Mana tuh cowok larinya cepet banget buset, gue rasanya mau sakaratul maut saking sesak pernapasan gue.

"Dasar kampret!" Hardik gue masih ngos-ngosan.

Sedangkan Aarav udah tiduran di lantai gedung yang gue duga tempat gelut nanti.

Gue nyenggol kakinya, sedikit menendang. "Bangun! jelasin yang bener kenapa boleh duel di sini."

Dengan aktingnya yang sangat natural, cocok deh jadi aktor. Aarav mengerejap sambil mengusap wajahnya, abis itu tersenyum miring.

HonestlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang