🌟🌟🌟
Menjadi dewasa memang tidak gampang. Sehingga, kita harus menjalaninya sebaik mungkin. Meskipun, banyak rintangan menghadang. Akan tetapi, percayalah akan ada masa depan indah setelahnya. Jadi, lakukan segala hal sebaik mungkin untuk bisa mendapatkan sebuah kesuksesan serta kebahagiaan.
🌟🌟🌟
"Apa nih bawa-bawa nama gue? Kalian lagi gosipin gue, ya? Gue tau, gue ganteng tapi--"
Berlian serta Banyu menoleh ke arah orang yang baru saja datang.
"Ya ampun pede-nya bisa dikurangin nggak, sih, Kak? Nyebelin banget liat muka tengil Kak Hasta." Berlian merasa sedikit kesal, tiap melihat rasa percaya diri Hasta yang terlalu berlebihan. "Lagian, kita ngomongin kemampuan Kak Hasta main basket yang di bawah rata-rata. Jadi, nggak usah kepedean gitu-lah."
"Sembarang kalo ngomong, permainan basket gue lumayan kok. Cuma, emang nggak sejago Banyu aja. Dan, kalian bisa-bisanya ngomongin hal itu di belakangan gue." Hasta sedikit tak terima dengan perkataan Berlian. Adiknya.
Banyu tersenyum, melihat interaksi Kakak beradik yang ada di depannya itu. Meskipun, hampir tiap hari melihatnya. Namun, Banyu tak merasa terganggu. Bahkan, kadang ia ingin terlibat dalam perdebatan yang ada diantara kakak beradik itu.
"Ngaku juga kan kalo permainan basket lo jelek, Kak." Berlian tertawa ringan, seraya meledek serta menggoda Hasta. Kakaknya. Walaupun, itu hanyalah candaan yang sering terjadi diantara mereka.
Hasta menghela napas, seharusnya ia lebih pintar dalam mengeluarkan kata-kata. Agar, Berlian tidak meledeknya berlebihan. Meskipun, ia tak marah kepada adik kesayangannya. Namun, tetap saja ia menjadi insecure dengan kemampuan basketnya yang masih lemah dibanding Banyu.
"Nggak boleh gitu ke Kak Hasta, Ly. Semua butuh proses belajar, kok. Jadi, wajar kalo sekarang Kak Hasta belum terlalu jago tapi udah lumayan sih menurut gue." Banyu berusaha sedikit membela Hasta. Tahu, bila semua hal di dunia ini memang butuh waktu untuk bisa berkembang lebih baik.
Hasta tersenyum, senang mendapatkan pembelaan dari Banyu. "Tuh... Dengerin apa kata Banyu. Jadi, jangan ledekin gue mulu, ya, Dek."
"Tetap aja kemampuan basket lo masih lemah." Berlian masih saja meledek Hasta. Kakaknya. Karena, ia senang melihat Kakaknya terpancing amarahnya.
Hasta menghela napas, berusaha tetap sabar meladeni segala perkataan Berlian. Adiknya. Yang terpenting, adik semata wayangnya bisa terus tersenyum. Walaupun, ia menjadi objek godaan gadis itu.
"Oke. Oke. Gue kalah. Lo puas, kan, Dek? Sahabat lo ini, memang paling jago basket." Hasta sembari menunjuk Banyu.
Banyu tersenyum, tapi tetap saja merasa tak enak hati dengan Hasta. Karena, Hasta lebih tua beberapa tahun darinya. "Jangan didengerin omongannya Lily. Lagipula, dia pasti bercanda, Kak."
"Gue tau, kok. Santai aja, gue nggak marah." Hasta tersenyum sembari menepuk bahu Banyu. Sahabat dari Berlian.
🌟🌟🌟
Di sisi lain, River sudah pulang ke apartemennya setelah pergi bersama anak dari produser-nya. Ia sedikit merasa lelah.
Baru saja, River ingin memejamkan mata untuk beristirahat. Ada seseorang memencet bel apartemennya. Terpaksa, ia mengurungkan niat untuk beristirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Syndrome [SELESAI]
Teen Fiction"Mari kita berjuang untuk mendapatkan sebuah senyum kebahagiaan yang abadi." Bagi Berlian, rasa kecewa takkan mudah dilupakan. Terlebih, itu dirasakan sedari kecil. Di saat dirinya, selalu mendapatkan kenangan indah. Senyumannya hilang, karena sebua...