Winter Rain🥀

151 30 21
                                    

Satu minggu telah berlalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu minggu telah berlalu. Aku tidak lagi menemukanmu di sekelilingku. Kau tidak lagi hadir setelah malam itu. Menghilang di telan semesta. Menyisakan harum tubuhmu yang tertinggal di permukaan bajuku.

Jika aku tahu malam itu aku akan kehilanganmu, aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi jauh diriku.

.

.

.

Pagi hari seperti biasa, Devano pergi ke kantor setelah berbincang sejenak bersama Ananta di meja makan. Gadis itu bilang, bahwa ada seorang pendonor jantung untuknya. Tetapi, orang itu ingin identitasnya tidak pernah diketahui. Devano setuju. Jika Ananta tidak menguatkannya, Devano akan selalu ketakutan. Takut, jika ia tidak bisa selamat lalu meninggalkan Ananta sendiri.

Ananta menyemangatinya, memeluknya hari itu dan mengucapkan serangkaian kata-kata dan senyuman yang terasa lebih manis dari senyumannya yang dulu membuat Devano merasa semakin tenang ketika bisa melihat lagi senyuman itu. Ananta bilang, jika gadis itu akan selalu ada bersamanya saat Devano di meja operasi.

Tanpa tahu, bahwa pagi hari itu adalah pagi terakhir dirinya bisa memeluk tubuh ringkih Ananta. Gadis itu pergi tanpa berisik, tanpa kata-kata yang membuat Devano keberatan. Ananta memang menemaninya di meja operasi, gadis itu terus menggenggam tangannya saat Devano dalam keadaan tak sadar. Terus merapalkan permintaan maaf untuknya.

Devano tidak tahu, seberapa sakit Ananta menahan kesakitannya selama ini. Tanpa ia tahu, bahwa Ananta lah yang lebih menderita. Gadis itu sudah kehilangan harapannya, semua yang ia mimpikan tak pernah ada yang terwujud. Cita-citanya, kebahagiaannya, cinta yang ia miliki di hancurkan berkeping-keping. Bahkan, kehidupannya pun ikut meninggalkannya.

Ananta mengorbankan hidupnya yang tersisa satu minggu lagi. Menulis semuanya di dalam buku, beserta selebaran foto hasil USG. Gadis itu tak pernah lagi membuka matanya sejak hari itu.

.

.

.

Aku membuka kedua mataku meski terasa memberat. Menghalau cahaya lampu ruangan yang begitu menusuk retina. Berkedip pelan sampai kedua mataku bisa melihat sosok dokter dan perawat yang sudah membantuku di meja operasi. Dokter itu tersenyum ke arahku seraya berbicara dengan ramah.

"Bagaimana perasaan anda, tuan Devano?" Memijat kening sejenak, aku mengangguk.

"Apa sudah berhasil?" Aku tidak berniat menjawab pertanyaan dari dokter Martin, karena aku harus segera memberitahu kekasihku. Bahwa penyakit yang ku derita sudah menghilang dari tubuhku penyakit yang membuatnya selalu khawatir akan kesehatanku. Kini, aku bisa bernafas dengan lega. Tidak terasa sesak lagi, tapi, dimana Anantaku? Apa dia sedang menungguku diluar?

"Saya masih harus memantau detak jantung anda, tuan. Selain dari itu, semuanya baik-baik saja."

"Dimana tunanganku?" Dokter Martin diam sejenak, pria baya itu menahan bahuku sesaat setelah aku hendak bangkit dari ranjang pesakitan. Pasalnya, gadis itu berbohong. Sebab, Ananta sudah berjanji akan menemaniku hingga keluar dari ruangan operasi.

Dear Ananta {SHORT STORY}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang