IV - Baik dan Buruk

9 3 3
                                    

Aku masuk kampus, pada keesokan harinya. Aku lihat, teman-teman se-asramaku, kuliah menggunakan sepeda. Aku memutuskan untuk meminjam sepeda di sana.

Di sini tidak ada yang namanya ospek di bentak-bentak. Di sini ospeknya kalem, pengenalan diri dan tanya-jawab yang gampang.

Dosennya juga ramah, mungkin masih semester muda.

"Hello, kenalkan aku Rene, aku dari Prancis. Senang bertemu denganmu." Seseorang memperkenalkan dirinya kepadaku.

"Bonjour Rene, aku Raven dari Indonesia. Senang bertemu denganmu juga." Aku senyum.

"Oh, kamu pakai kata 'Bonjour'? Makasih." Rene senang memakai bahasanya.

"Ah, sama-sama," Jawabku.

"Hello, saya juga mau memperkenalkan diri boleh?" Seorang di samping mejaku ikut mengobrol juga.

"Ah, boleh. Biar aku tebak, kamu orang Arab bukan?" Aku menebaknya.

"Iya, aku orang Arab. Namaku Saif," Jawab seorang di samping mejaku.

"Ah nama yang bagus habibi." Aku tersenyum ramah.

"Ah, habibi hanya di peruntukan orang yang di kasihnya, seperti istrinya. Haha." Dia menjelaskan sedikit.

"Oh, maaf hehe." Aku tersenyum

"Tidak apa-apa."

Mata kuliah hari ini sudah sampai jam dua belas. Berencana untuk pulang saja deh. Tapi boong, hayu. Aku pergi ke supermarket, untuk membeli bahan makanan, dan kebutuhan pribadiku.

Aku mengambil secarik kertas, berisi daftar belanjaan.

Mungkin terlalu sedikit sisanya, ya menyusul, seperti minyak, dan lain-lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mungkin terlalu sedikit sisanya, ya menyusul, seperti minyak, dan lain-lain.

Sesudah memilih barang. Aku ke kasir untuk membayar. Sesudah membayar aku memasukkan semuanya itu ke totebag aku.

Aku mengayuh sepedaku, ya ada asap sedikit dari industri, tapi itu tidak masalah bagiku.

Aku mengayuh sepeda, segerombolan anak-anak sekolah dasar pada pulang, di sini jam pulang sekolah dasar setara dengan setara dengan SMP di negaraku. Pukul tiga sore, itupun di tambah dengan ekskul.

Aku mengayuh sepeda lagi, ternyata lumayan jauh dari asramaku, tetapi itu tidak menggangguku untuk berhenti mengayuh. Di sini ada juga MRT, tapi aku belum ada kartu pembayaran. Maka dari itu, aku harus registrasi kartu, di bank.

Aku sudah sampai di asramaku, sedang sepi rupanya. Aku masuk ke kamarku.

Aku melepaskan sepatuku, lalu telepon berbunyi berdering.

"Eh-halo? Ini dari siapa?" Aku menanyakan, karena aku heran, kok tidak ada namanya?

"Selamat siang atau mungkin selamat malam. Ini dengan pihak kepolisian," Jawab seorang dari telepon tersebut.

"Iya, ada apa menelepon saya. Mohon maaf?"

"Turut berduka cita, atas meninggalnya ayah-ibu," Jawabnya.

Aku melongo tidak percaya, seakan-akan aku tidak percaya lusa kemarin ibuku meneleponku.

"Maaf, bapak sedang bercanda?" Aku mencoba untuk berpikir positif.

"Saya sedang tidak bercanda! Ayah-ibunda meninggal dunia, karena pembunuhan." Jawab polisi dengan tegas.

"A-a-apa? P-pembunuhan!?" Teriaku.

"Ya, betul. Kami sedang menyelediki kasus ini. Mungkin butuh beberapa waktu untuk memecahkan kasus ini."

Aku menangis, batinku saat itu hancur. Aku tidak tahu, kenapa? Kenapa bisa serumit ini. Aku tak tahu.

"Halo?" Terdengar dari ponsel itu.

"Ah, iya Pak, makasih infonya." Aku mengangkat telepon itu lagi dengan tangis menggebu-gebu.

"Makasih ananda atas teleponnya, saya berharap ananda semoga tetap tabah dalam menghadapi kasus ini. Saya dari pihak kepolisian, selamat siang atau mungkin malam. Dan sampai jumpa."

"Ah, iya." Aku menutup telepon itu.

Aku mengusap air mataku di pipi. Sudahlah, aku tidak akan menangisi lagi. Janjiku kepada Tuhan, jaga selalu ayah dan ibuku. Kenyataannya, tak pernah di kabulkan.

Walaupun begitu, aku tetap percaya dengan tuhan. Tuhan tak pernah salah, mungkin itu takdirnya. Aku pikir ini mimpi, tapi faktanya.

Lalu, berdering telepon lagi. Itu dari pihak beasiswa.

"H-halo sir." Aku mengangkat teleponnya.

"Halo, kenapa denganmu Raven? Seperti menangis?" Pengurus beasiswa itu keheranan.

"Ayah dan ibuku meninggal, karena pembunuhan. Sampai saat ini, pihak kepolisian sedang mengecek TKP," Jawabku dengan air mata berjatuhan di pipi.

"Aku turut berduka cita, atas meninggalnya ayah dan ibu. Semoga ayah dan ibumu tenang di sana."

"Makasih," Jawabku dengan sedikit tersenyum

"Mungkin aku ingin menyampaikan sesuatu, namun situasimu sedang memburuk. Aku akan menelepon besok. Apakah butuh libur besok hari?"

"Mungkin, aku butuh libur," Jawabku.

"Oke, kalau begitu aku akan memberitahu pihak kampus," Jawab Pengurus Beasiswa "Mungkin sampai sini saja teleponnya, aku akan ke sana menemanimu, aku akan membawakan makanan ke sana."

"Ah, tidak usah repot, aku lebih suka sendirian," Jawabku keberatan.

"Maka dari itu, aku harus ke sana. Supaya tidak terjadi apa-apa. Aku akan pergi, sampai jumpa." Pengurus beasiswa itu mematikan teleponnya.

Aku melamun lagi. Di dunia ini ada dua, baik dan buruk. Keduanya terjadi di dunia. Kabar baik, datang dari yang baik. Kabar yang buruk, mungkin dari buruk. Satu terang, satu gelap. Kabar baik dari terang, kabar buruk dari gelap.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Janji DukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang