🅾︎🅽︎🅴︎

9 4 1
                                    

░▒▓█ Happy Reading █▓▒░





"Cuma ranking dua? Kamu harus belajar lebih sungguh-sungguh lagi."

"Kamu bisa tingkatin nilai, kan, Na? Ayah sama ibu cuma minta kamu jadi ranking satu."

"Jangan kecewakan kami, Ayana."

Cewek bernama lengkap Ayana Gresha Almira itu membiarkan kertas hasil ujiannya dilahap sang jago merah. Biarkan saja kertas itu dibakar. Toh pengorbanannnya juga tak pernah terlihat.

Ia duduk di kursi di sebuah bangunan tak berpenghuni. Tempat ini memang hanya bangunan yang sudah tidak beroperasi. Kerap kali juga jadi tempat orang membakar sampah.

Ia menatap kobaran api itu dengan tatapan kosong. Sedang kedua tangannya meremat ujung rok erat. Hatinya amat sakit dan dongkol berkepanjangan. Orang tuanya seperti tak tahu caranya bersyukur dengan terus-terusan menginginkannya jadi nomor satu tanpa dukungan yang sepadan.

"Ayo, Ay. Kita pulang."

Seseorang datang dan membawanya pergi. Dan Ayana tak menolak ajakan itu.

■■■

Blam!

Pintu itu ia banting kencang. Biar saja. Tak akan ada ibu yang meneriakinya maupun ayah yang menegur. Ia sedang sendiri di rumah.

Drttt

Ia menjawab panggilan telepon itu.

"Feel better, huh?"

"Nope. Gak ada perubahan sama sekali."

"Biasanya kamu agak mendingan kalau udah ke tempat tadi."

"Tapi ini beda, Than. Aku bener-bener marah. Mereka gak pernah kasih apresiasi sama hasil yang aku capai. Aku muak."

"It's okay, Ay. Tapi jangan keterusan ya."

"Makasih, Than."

Tuttt

Ia bangkit menuju meja belajar lalu mengambil buku tebal berisi latihan soal. Persetan dengan rasa kesalnya, ia harus tetap belajar.

■■■

Pagi menyambut Ayana dengan cerahnya mentari. Namun suasana sarapan ini tak secerah pemandangan di luar sana. Sebuah meja makan yang diisi lima orang itu tak diselimuti atmosfer hangat.

Selepas makan, Ayana membawa alat makannya ke wastafel dan bergegas ke sekolah. Ia juga tak berpamitan dengan yang lain. Untuk apa juga, kan orang tuanya sedang kesal padanya.

Kini ia sampai di gedung sekolah. Kelasnya ada di lantai tiga, lantai paling atas. Ia menaiki anak tangga satu persatu.

"Capek banget ya tiap hari naik tangga ginian. Nasib kelas akhir. Huft...."

Ayana menatap ke depan. Ia menyunggingkan senyum sedikit mendengarnya. Wajar sih kalau banyak yang mengeluh kecapekan karena harus melewati dua lantai untuk sampai ke kelas. Tapi ada untungnya juga sih. Karena lab komputer berada di lantai empat, yang artinya lebih dekat untuk diakses anak kelas dua belas.

"Ayanaaaaa!"

Ia menoleh. Menemukan Kalika—teman dekatnya berlari kearahnya.

"Kenapa sekolah gak nyediain lift, ya, Na? Gue ngos-ngosan ngejar lo dari gerbang tau gak!" misuh Kalika.

Can U Be My Savior?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang