🆃︎🅷︎🆁︎🅴︎🅴︎

7 4 0
                                    

░▒▓█ Happy Reading █▓▒░





Tuttt

Nathan menutup sambungan teleponnya dengan seseorang. Cowok itu berjalan ke tempat tadi ia nongkrong, yaitu di warung pinggir jalan. Saat ia sampai, gumpalan asap nikotin menyebar di sekitarnya. Ia duduk di samping si perokok.

"Eh, Bang. Habis teleponan sama siapa, tuh? Gebetan ya?" goda seorang bocah SMP. Namanya Riky.

"Heh! Bang Nathan tuh udah punya cewek. Jadi ya pasti dari ceweknya lah!" jawab yang satunya lagi, Tara namanya.

Nathan tersenyum menanggapi mereka. "Bukan kok. Bukan sama cewek gue."

Kedua bocah tadi mengangguk-angguk saja.

"Mas Nathan kok ke sini gak sama pacarnya? Udah lama gak mampir," kata ibu pemilik warung.

"Lagi gak bisa ke sini, Bu. Lain kali kalau ada waktu senggang saya ajak lagi."

Ibu warung itu hanya mengangguk saja.

"Bu, pacarnya Bang Nathan mana suka nongkrong di warung-warung gini. Biasanya mereka lebih suka nongkrong di mall atau cafe-cafe estetik. Selera cowok sama cewek beda, Bu. Ya, gak, Tar?" Riky menyenggol lengan Tara.

Tara mengangkat pandangannya. "Iya. Kebanyakan dari mereka kurang suka nongkrong di warung pinggir jalan."

"Oh, gitu ya?"

Nathan segera menyela pembicaraan barusan kala melihat ekspresi murung tercetak di wajah ibu itu. "Gak kok. Kalau pacar saya gak ke sini bukan berarti gak suka, tapi lagi gak bisa aja."

Pemilik warung pun bernapas lega begitu mendengarnya.

"Jangan kebanyakan ngerokok, Rik. Gak baik. Lo juga masih muda banget buat kenal benda itu," kata Nathan.

"Gapapa, Bang. Lagian orang tua Riky aja gak larang."

Dasar bocah ingusan. Diberi tahu malah mencari alasan. Nathan saja belum pernah merasakan benda yang kaum lelaki bilang sebagai 'surganya dunia'.

Melihat Riky membuat Nathan teringat Ayana. Yang Nathan ketahui, latar belakang keduanya agak sama. Orang tua Riky adalah pengusaha sukses yang super sibuk. Menjadikan sang anak kurang mendapat perhatian. Bedanya Riky masih sesekali diperhatikan ibunya, tidak seperti Ayana yang hampir tidak pernah Nathan lihat saling bertegur sapa.

Pletak!

"Rik, kalau abangnya ngomong dilaksanain," tegur ibu warung.

"Aduh, Bu. Iya-iya."

Nathan terkekeh melihat bocah yang baru saja mendapat karma instan.

■■■

Ayana memasukkan mozarella sebagai sentuhan terakhir dari mie yang ia buat. Tangannya sibuk membawa sekaleng soda dan sepanci mie menuju kamarnya. Benar, Ayana tak memindahkan mienya ke mangkuk dulu.

Saat tangannya hendak menekan tombol lift ke lantai tiga, seseorang berlari tergesa sebelum pintunya tertutup.

"Tunggu dulu, Na."

Pria paruh baya itu berjalan ke dalam lift dan menekan tombol menuju lantai tiga. Saking besarnya rumah Ayana, lift pun ada di sini. Setelah sampai di lantai tiga, di lantai yang sama dengan keberadaan kamarnya, Ayana keluar tanpa bicara apa-apa.

Pintu kamar yang dipasangi smart door lock itu terbuka setelah Ayana masukkan pin.

Karena sekolah belum berjalan intensif, ia berniat menonton beberapa series yang belum sempat ditonton.

Ia fokus menonton sambil sesekali menarik ingusnya saat sedang memakan mie. Pedasnya mie bercampur suhu panas membuat keringatnya keluar. Padahal AC sudah ia atur ke suhu terendah.

Drttt

Ponselnya bergetar, Ayana mengambilnya sejenak dari nakas.

"Ay, kamu kenapa?" tanya Nathan begitu mendapati wajah merah padam Ayana.

"Gapapa, Than. Habis makan mie yang pedes aja. Tapi udah ditambahin moza kok, jadi berkurang pedesnya."

Di layar sana Nathan geleng-geleng kepala. "Jaga kesehatan ya, Ay. Jangan berlebihan makan pedes."

"Enggak, kok, Than. Aku juga gak tiap hari makan ini."

"Iya, Ay. Aku tau. Eh, aku tutup ya teleponnya, bunda manggil."

"Iya."

Tuttt

■■■

Ayana menyimpan sisa peralatan makannya di wastafel. Tungkainya berjalan menuju kulkas dengan maksud mengambil susu untuk meredakan pedas yang masih bersarang di mulut. Tanpa sengaja sudut matanya menangkap sosok seseorang.

"Kak Varo balik ke kosan gak ngabarin Rara!"

Ternyata benar dugaannya kalau sosok punggung yang ia lihat adalah sang kakak sulung.

"Maaf ya. Waktu itu kakak buru-buru. Sebagai permintaan maaf, ini kakak bawain sesuatu buat kamu," tangannya merogoh tas dan mengeluarkan sebuah kotak merah.

"Woahhh, ini apa, Kak?"

"Buka aja."

Rara membuka kotak itu dengan tak sabaran. Sedangkan Varo hanya diam menunggu reaksi sang adik. Ia harap Rara menyukainya.

"AAAAA!" anak itu berteriak heboh.

"Gimana? Suka?"

Rara hanya mengangguk antusias dengan senyum merekahnya.

"Woahh, kamu dapet apa, Ra?" Ayana jadi penasaran dengan apa yang kakaknya beri hingga Rara berisik sekali.

"Aku dapet tas, Kak. Cantik ya?"

"Ih cantik banget!" ia mengambil alih sling bag merah muda itu dari genggaman adiknya.

"Iya kan, Kak!"

"Kado buat aku gak ada, Kak?" Ayana beralih pada Varo. Rara juga ikut menatap cowok itu.

Senyum yang tadi tercetak di wajah cowok itu perlahan turun dan sirna begitu saja lalu digantikan raut canggungnya.

"Kakak cuma beli satu, Na."

Ayana memang sudah menduga akan jawaban barusan. Ia tak kaget sama sekali.

"Oh, kakak cuma ingat Rara aja."

"Maaf, Na. Kakak gak tau kamu sukanya apa."

Bullshit!

Mereka sudah kenal dari kecil. Keduanya tumbuh di lingkungan yang sama dan sudah saling tahu kesukaan satu sama lain. Toh apa pun yang orang kasih akan Ayana terima dengan tangan lebar.

"Oh," hanya itu yang menjadi jawaban sang adik.

"Next time kakak kasih kamu juga ya," Varo berjanji akan melakukan hal yang sama di lain waktu. Ia jadi tak enak sendiri.

"Gak usah. Ngerepotin."

Ia berlalu dengan secangkir susu di genggaman. Kejadian barusan membawanya pada satu kenyataan pahit yang mulai terasa sepanjang waktu berjalan.

"Sadar, Ayana. Kak Varo perlahan berubah."





░▒▓█ To Be Continue █▓▒░

Can U Be My Savior?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang