Tiga

113 29 337
                                        

Saka

"Oy boleh minggir nggak cewek gue mau duduk!" gue menegur salah satu adek kelas cowok yang duduk tenang di kursi bus. Gue kenal dia, dulu Rama pernah ngebuli dia. Iya, Rama memang dulu tabiatnya bosok, suka ngebuli orang apalagi adek kelas. Dulu bosok, sekarang masih. Gue sih nggak ikutan sumpah kalau Rama mulai ngebuli orang, cuman nonton biasanya.

Lagian kursi di bus juga udah terisi penuh, dia satu satunya cowok yang duduk makanya gue suruh minggir.

Gue menyengir ke arah Hana, lalu mengedipkan mata iseng. Seperti biasa cewek itu membuang muka dengan sebal.

Adek kelas tadi menurut berdiri, lalu dengan pelan gue tarik Hana untuk duduk. Tumben, dia nggak banyak protes. Tapi gue lihat sih mukanya agak pucet, maksudnya dia emang biasanya pucet tapi hari ini lebih. Apa karena habis olahraga ya?

Nggak lama setelah bus jalan, dia mulai nggak memperdulikan gue lagi.  Tapi dia emang nggak pernah peduli sih. Dia bersandar di kursi lalu memejamkan mata. Gue masih berdiri di samping bangkunya, memperhatikan wajahnya lamat lamat.

Kalau dilihat lihat dia cakep juga ternyata. Mulai dari alisnya yang terpahat rapih, hidungnya yang mungil, sampai bibirnya yang tidak tebal tapi tidak juga tipis. Kulit wajahnya juga terlihat halus sampai gue penasaran mau menyentuh. Kalau dia bersanding di samping gue dia nggak akan kebanting. Maksud gue kalau dia cakep, gue ini cakep banget (berdasarkan menfes sekolah ya ini). Maksud gue cantiknya tuh nggak yang cantik banget, tapi ya nggak bisa dibilang jelek juga. Wajahnya tipe yang bisa buat orang betah memandanginya lama lama.

Gue lihat dahinya mengerut saat cahaya matahari mulai menyorotnya, sore hari begini matahari juga nggak tau kenapa malah makin nyala terang. Pelan, gue halangi cahaya matahari dengan tangan gue sampai kerutan di dahinya hilang.

Bentar, buset kenapa wajahnya kecil banget? Cuman selebar telapak tangan gue anjir! Kalau dibandingkan dengan gue yang sering panas panasan, kulitnya juga jauh lebih putih dan pucat. Efek anak aksel kali ya belajar terus di kelas nggak pernah keluar olahraga.

"Ngapain lo!" Yah padahal kalau nutup mata wajahnya tuh damai banget, beda lagi kalau buka mata gini.

"Melindungi lo lah." Gue mengedipkan sebelah mata.

Dia menepis tangan gue, lalu menegakkan duduk. Nggak lama dia berdiri lalu berteriak "Kiri mang!"

Gue membuntutinya turun. Seumur hidup gue baru sekali ini naik bus. Dari kecil gue selalu dijemput Mamah kalau nggak bawa kendaraan pas sekolah, kalau Mamah nggak bisa pun pasti ada Om Andi yang jemput gue. Cuman demi dia nih gue rela desak desakan naik bus.

"Lo ngapain ikut turun?"

"Oh ini gang rumah lo ya? Gue pernah sih sekali kesini."

"Sampe sini aja anternya, Ayah gue galak," ancamnya.

Yaelah diblokir kartunya, disiram air, diplorotin sarungnya di lapangan aja nggak buat gue menyerah. Apalagi bapaknya, nggak takut gue!

Paham kalau gue malah tertantang dia akhirnya menyilangkan tangan di dada. "Kalau lo masih ikutin gue, gue nggak akan pulang!"

Gue ikut menyilangkan tangan di dada. "Masa habis nganter anak gadis nggak pamit ke ortunya."

"Justru itu masalahnya!"

"Dimana sih? Gue nggak ngerti apa yang lo permasalahin."

"Gue nggak mau bawa cowok ke rumah kalau dia bukan siapa siapa."

"Anggap aja gue calon pacar?"

"Lo pikir gue sudi?" Dia beneran nepatin ucapannya. Bukanya jalan masuk ke gang cewek itu malah menepi untuk duduk di depan warung gubuk depan gang yang tak berpenghuni.

Seribu Harapan Hana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang