00,5

820 47 0
                                    

Pagi itu, cahaya matahari mulai merayap masuk melalui jendela bambu, mengisi kamar dengan sinar hangat yang lembut. Ratih membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan yang berbeda di sampingnya. Dia menoleh dan melihat Galuh yang masih terlelap di pelukannya, wajahnya tenang seolah semua beban telah hilang sementara.

Ratih tersenyum lembut, mengingat malam sebelumnya saat Galuh menangis di pelukannya. Mereka berbagi kehangatan dan kenyamanan dalam momen yang penuh emosi, dan melihat Galuh yang kini tertidur dengan damai, hati Ratih terasa hangat dan penuh kasih.

Dengan hati-hati, Ratih mencoba bergerak agar tidak membangunkan Galuh. Namun, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak memandangi wajah tenang Galuh yang masih terlelap. Ratih merasa bersyukur bisa berada di sana untuk menenangkan dan mendukung Galuh di saat-saat sulitnya.

Ratih mengingat betapa hancurnya Galuh tadi malam, menangis memikirkan orang tuanya yang pasti cemas. Ratih merasa simpati yang mendalam, mengerti betapa besar cinta dan rindu yang dirasakan Galuh. Dia sendiri pernah kehilangan orang tuanya, dan memahami betapa pentingnya kehadiran keluarga dalam hidup seseorang.

Ratih merapikan selimut yang menyelimuti mereka, memastikan Galuh tetap hangat. Dia kemudian bangkit perlahan, membiarkan Galuh beristirahat lebih lama. Pagi ini, Ratih bertekad untuk membuat sarapan yang hangat dan menenangkan bagi mereka berdua.

Di dapur, Ratih mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat bubur hangat. Sambil memotong sayuran dan mengaduk panci, pikirannya terus kembali pada Galuh. Ratih merasa ada ikatan yang semakin kuat antara mereka, sebuah perasaan yang tumbuh dari rasa peduli dan keinginan untuk membantu.

Saat bubur mulai matang, Ratih kembali ke kamar untuk memeriksa Galuh. Dia melihat Galuh masih tertidur lelap, wajahnya masih menunjukkan ketenangan yang sama. Ratih duduk di tepi tempat tidur, menunggu Galuh terbangun, menikmati momen tenang ini.

Tak lama kemudian, Galuh mulai bergerak, matanya perlahan terbuka. Dia melihat Ratih duduk di sampingnya, tersenyum lembut. "Selamat pagi, Ratih," ucap Galuh dengan suara serak karena baru bangun.

"Selamat pagi, Galuh," balas Ratih, masih dengan senyum di wajahnya. "Bagaimana perasaanmu?"

Galuh mengangguk pelan, merasakan tubuhnya lebih ringan meski masih ada sedikit rasa sakit. "Lebih baik, terima kasih. Maaf aku merepotkanmu."

"Kamu tidak merepotkan, Galuh. Aku senang bisa membantu," jawab Ratih tulus. "Aku sudah menyiapkan sarapan. Bagaimana kalau kita makan dulu?"

Galuh tersenyum, merasa bersyukur atas kebaikan Ratih. "Terima kasih, Ratih. Kamu benar-benar baik."

Ratih membantu Galuh bangkit dan membawanya ke meja makan. Mereka duduk bersama, menikmati bubur hangat yang penuh kasih dan perhatian.

Di tengah-tengah obrolan ringan mereka, Galuh melihat ada noda kecil bubur di sudut bibir Ratih. Tanpa berpikir panjang, dia mengusap noda kecil itu "ma.. maaf tadi ada sedikit bubur dibibir mu" ujarnya.

Ratih menghentikan gerakannya, lalu dengan cepat menyeka lagi bibirnya. Namun, dalam gerakan tersebut, mata mereka bertemu. Tatapan itu begitu intens, penuh kehangatan dan sedikit canggung. Galuh merasa jantungnya berdegup lebih cepat, sementara wajah Ratih perlahan berubah merah karena malu.

" Tidak apa-apa. Terima kasih, Galuh" kata Ratih pelan, matanya melirik ke bawah untuk menghindari tatapan langsung.

Galuh tidak bisa menahan senyum, merasa ada kehangatan yang aneh tapi menyenangkan di antara mereka.

🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌞🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️

sinar matahari yang hangat menyelimuti bukit tempat Arya dan Sari berdiri. Udara segar seolah menjadi kontras dengan kecemasan yang menyelimuti hati mereka. Para petugas penyelamat sudah berkumpul, bersiap untuk melanjutkan pencarian Galuh yang menghilang sejak kemarin.

Arya dan Sari bergabung dengan tim penyelamat, mencoba mencari putri mereka yang hilang. Arya dengan semangat memimpin pencarian, tidak mau menyerah meski tubuhnya mulai lelah. Sari, di sisi lain, merasakan kecemasan yang tak henti-hentinya, memikirkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Galuh.

"Sayang, kamu harus kuat," bisik Arya, menggenggam tangan istrinya erat. "Galuh membutuhkan kita."

Sari mengangguk, mencoba tersenyum meski hatinya hancur berkeping-keping. Mereka mengikuti tim penyelamat menyusuri bukit, memeriksa setiap sudut yang mungkin menjadi tempat Galuh terjatuh atau tersesat. Namun, seiring berjalannya waktu, tubuh Sari mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan.

"Sayang, kamu baik-baik saja?" tanya Arya dengan nada cemas saat melihat wajah Sari yang pucat.

Sari menggelengkan kepala, mengusap keringat yang mulai mengalir di dahinya. "Aku hanya sedikit pusing, mas. Aku tidak ingin menjadi beban."

Arya menghentikan langkahnya, menatap Sari dengan penuh kekhawatiran. "Kamu harus kembali ke rumah dan beristirahat. Aku tidak mau kamu jatuh sakit."

"Tapi, Galuh..." Sari mencoba memprotes, namun Arya segera memotongnya.

"Aku akan terus mencari Galuh. Kamu harus menjaga dirimu sendiri. Kita tidak bisa membantu Galuh jika kamu sakit," kata Arya tegas.

Dengan berat hati, Sari setuju. Arya memanggil seorang petugas dan meminta mereka untuk mengantar Sari pulang. "Tolong jaga istriku, pastikan dia sampai di rumah dengan selamat," pinta Arya pada petugas tersebut.

Sari merasa air mata mulai menggenangi matanya, tapi dia tahu bahwa Arya benar. Dengan hati yang berat, dia berbalik menuju mobil yang akan membawanya pulang, berharap bisa segera kembali dengan kondisi yang lebih baik.

Arya menatap kepergian Sari dengan hati yang penuh kecemasan, namun dia tahu bahwa dia harus tetap fokus pada pencarian Galuh. Dia kembali bergabung dengan tim penyelamat, memimpin mereka dengan semangat yang tidak pernah surut. Setiap langkah, setiap teriakan panggilan untuk Galuh, adalah cerminan dari cinta dan harapan yang dia pegang teguh.

Di rumah, Sari berbaring di tempat tidur, mencoba memulihkan tenaga sambil tak henti-hentinya berdoa. Dia memikirkan Galuh, bayangan wajah putrinya yang ceria terus muncul di benaknya. Meski tubuhnya lemah, semangatnya tidak pernah padam.

Sementara itu, di bukit, Arya terus berjuang. Matahari semakin tinggi, namun semangatnya tidak luntur. Dia tahu, di setiap semak belukar dan lembah yang dia lalui, ada harapan bahwa dia akan menemukan Galuh. Dengan kekuatan cinta seorang ayah, Arya tidak akan berhenti hingga putrinya kembali dalam pelukan keluarganya.

Kekasih Terlarang (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang