0,015

566 32 0
                                    

Galuh perlahan membuka matanya, kepalanya masih terasa berdenyut akibat pukulan tadi. Ia melihat langit-langit saung yang sederhana, dan samar-samar mendengar suara gemerisik dedaunan di luar. Ia merasa ada yang memegang tangannya dengan lembut. Saat pandangannya mulai jelas, ia melihat wajah Ratih yang penuh kekhawatiran.

"Galuh, kamu sudah siuman," ucap Ratih dengan suara bergetar, campuran lega dan kekhawatiran. "Bagaimana perasaanmu?"

Galuh tersenyum tipis, meski kepalanya masih terasa berat. "Aku... aku baik-baik saja, Ratih."

Pak Parman dan Pak Tatar yang berdiri di dekat pintu saung menatap Galuh dengan prihatin. Mereka mengangguk pada Ratih, seakan memberikan isyarat bahwa mereka perlu pergi. "Ratih, kami pamit dulu ya. Sudah mendung dan sepertinya akan turun hujan. Kami harus buru-buru pulang, padi di rumah sedang dijemur," kata Pak Parman.

Ratih mengangguk sambil tersenyum tipis. "Terima kasih, Pak Parman, Pak Tatar. Hati-hati di jalan. Kami juga akan segera pulang setelah Galuh merasa lebih baik."

Kedua pria itu mengangguk, lalu berjalan keluar saung dengan langkah cepat. Ratih kembali menatap Galuh, lalu mengelus kepalanya dengan hati-hati. "Ini pasti sakit sekali. Maafkan aku, Galuh. Karena aku, kamu jadi terluka."

Galuh menggenggam tangan Ratih yang mengelus kepalanya, menatap dalam-dalam mata gadis itu. "Tidak apa-apa, Ratih. Kemarin kamu yang merawatku, mulai sekarang giliran aku yang akan melindungimu."

Kata-kata Galuh membuat jantung Ratih berdegup lebih kencang. Wajahnya bersemu merah saat menatap balik ke mata Galuh yang penuh ketulusan. Mereka terdiam sejenak, hanya suara rintik hujan yang mulai turun mengiringi keheningan di antara mereka.

"Galuh," bisik Ratih, "Kamu tidak perlu merasa begitu. Aku yang seharusnya berterima kasih padamu."

Galuh menggeleng pelan, senyum lembut terukir di bibirnya. "Kita saling menjaga, Ratih. Itu yang penting."

Hujan semakin deras, membuat suasana di saung itu menjadi lebih intim. Galuh perlahan duduk dengan bantuan Ratih, mengabaikan rasa sakit di kepalanya. Ia merasakan hangatnya sentuhan Ratih yang penuh perhatian, dan ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia tidak akan pernah membiarkan gadis ini terluka lagi.

"Kalau begitu, kita pulang saja sekarang. Aku tidak mau kamu kedinginan di sini," ujar Ratih dengan suara lembut namun tegas.

Galuh mengangguk, mengerti bahwa mereka harus segera mencari tempat yang lebih aman dan hangat. Mereka berdua berdiri dengan perlahan, Galuh masih merasakan sedikit pusing tapi ia mencoba untuk kuat.

Dengan perlahan, mereka berjalan keluar saung, menembus hujan yang semakin deras. Ratih mengapit lengan Galuh, memastikan bahwa ia tetap stabil. Meski hujan deras dan keadaan serba sulit, keduanya merasa ada kekuatan baru yang muncul dari kebersamaan mereka.

POV Ratih

Aku dan Galuh tiba di rumah dengan tubuh basah kuyup. Hujan deras tadi benar-benar membuat kami kebasahan. Aku menggandeng Galuh yang terlihat lelah dan sedikit pucat, membawanya masuk ke dalam kamar.

“Galuh, kita harus ganti baju dulu. Kamu bisa sakit kalau tetap pakai baju basah begini,” kataku sambil membantunya duduk di tepi tempat tidur. Galuh hanya mengangguk pelan, matanya setengah tertutup karena kelelahan.

Aku mengambilkan baju ganti untuknya. “Ini, pakai baju ini dulu. Aku juga mau ganti baju,” ucapku sambil menyerahkan pakaian kering. Dia menerima baju itu dan mulai berganti, sementara aku bergegas ke kamar mandi untuk mengganti pakaian yang basah.

Setelah berganti baju, aku kembali ke kamar dan melihat Galuh yang sudah berpakaian kering, duduk di tepi tempat tidur dengan rambut yang masih basah. Aku mendekat sambil membawa handuk.

“Sini, aku keringin rambut kamu dulu,” ujarku sambil mengusap rambutnya dengan handuk. Galuh menatapku sejenak, lalu mendongak dan tiba-tiba memelukku. Aku terkejut, tapi kemudian tersenyum melihat tingkahnya yang manis.

“Masih sakit, hmm?” tanyaku dengan lembut, mengusap rambutnya dengan penuh kasih sayang.

Galuh mengangguk pelan, kepalanya tenggelam di perutku. Rasanya hangat dan penuh keakraban. Aku mengusap lembut kepalanya, berharap bisa mengurangi sedikit rasa sakit yang dia rasakan.

“Kamu tunggu di sini ya. Aku mau ambil air hangat buat ngompres memar di kepala kamu, sama mau ngambil makanan. Kamu pasti belum makan kan?” tanyaku sambil memandangnya dengan penuh perhatian.

Galuh hanya mengangguk lagi, kali ini dia melepaskan pelukannya perlahan saat aku bersiap pergi ke dapur.

Aku berjalan keluar kamar, perasaan hangat bercampur khawatir memenuhi pikiranku. Setiap kali aku melihat Galuh terluka, rasanya hatiku ikut tergores. Aku segera menyiapkan air hangat di dapur, lalu mencari makanan yang bisa kuberikan padanya. Pikiranku kembali pada saat di sawah tadi, bagaimana Adikara memperlakukan kami. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.

Setelah beberapa saat, aku kembali ke kamar dengan semangkuk air hangat dan makanan. Galuh masih duduk di tepi tempat tidur, menatapku dengan mata yang penuh rasa terima kasih.

“Ayo, aku bantu kompres dulu ya,” kataku sambil mendekat dan mulai mengompres kepalanya dengan hati-hati. Aku bisa melihat dia sedikit mengernyit menahan sakit, tapi dia tetap diam dan membiarkan aku merawatnya.

POV Galuh

Setelah Ratih selesai mengompres memar di kepalaku, aku merasa sedikit lebih baik. Dia menatapku dengan cemas, tapi aku mencoba tersenyum untuk menenangkannya. Meskipun kepalaku masih terasa berdenyut, aku tahu Ratih lebih khawatir daripada aku.

"Ratih, kamu juga belum makan dari tadi siang, kan?" tanyaku, mencoba mengalihkan perhatiannya dari lukaku. Aku tahu dia selalu memikirkan orang lain lebih dari dirinya sendiri.

Ratih terkejut sejenak, lalu tersenyum kecil. "Iya, tapi kamu dulu yang harus makan. Biar cepat pulih."

Aku menggeleng, meraih piring makanan yang dia bawa. "Kita makan sama-sama, ya. Kamu duduk di sini," ujarku sambil menarik kursi di sebelah tempat tidur.

Dia menurut, duduk dengan tatapan masih penuh perhatian padaku. Aku menyendokkan makanan dan menyuapinya. Awalnya dia menolak, tapi aku memaksa dengan penuh kasih. "Ini aaaaa, biar kamu kuat. Kan tadi kamu juga kerja di sawah seharian," ucapku, tersenyum.

Ratih tertawa kecil, akhirnya menerima suapanku. "Kamu ini, padahal kamu yang sakit," katanya, matanya berkilat lembut.

Kami makan bersama, saling menyuapi satu sama lain. Rasanya aneh, tapi juga penuh kehangatan. Ada sesuatu yang tak terucapkan antara kami, sebuah ikatan yang semakin kuat setiap harinya.

Setelah selesai makan, Ratih berdiri dan merapikan piring kotor. "Kamu istirahat dulu, ya. Aku mau simpan piring ini ke belakang," katanya, mengambil piring-piring itu dengan hati-hati.

Aku mencoba berdiri untuk membantunya, tapi dia menahanku dengan lembut. "Sudah, Galuh. Kamu masih harus banyak istirahat. Biar aku yang urus ini."

Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk, merasa hangat oleh perhatiannya.

Dia tersenyum lagi, lalu berjalan keluar kamar membawa piring-piring kotor itu. Aku berbaring di tempat tidur, mencoba meredakan rasa sakit di kepala.

Saat dia kembali, aku hampir tertidur. Namun, kehadirannya membuatku merasa tenang. Dia duduk di tepi tempat tidur, memandangiku dengan penuh kasih sayang.

"Bagaimana, masih sakit?" tanyanya lembut.

Aku menggeleng pelan. "Sudah mendingan. Terima kasih, Ratih."

Dia mengangguk, lalu membelai rambutku dengan lembut. "Istirahatlah. Aku di sini kalau kamu butuh apa-apa."

Aku menutup mata, merasakan sentuhan lembutnya. Meskipun hari ini penuh dengan kejadian yang melelahkan, aku merasa aman dan terlindungi.

Kekasih Terlarang (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang