Aku sedang duduk di ruang tamu ketika tiba-tiba teringat bahwa aku belum memasak apa pun. Galuh pasti lapar. Kejadian tadi dan hujan deras yang turun membuat kami lupa waktu. Aku bangkit dengan cepat, menyadari bahwa waktu sudah hampir sore."Astaga, aku baru ingat kalau kita belum makan. Kamu pasti lapar," kataku sambil bergegas menuju dapur.
Galuh yang duduk di sofa menatapku dengan senyum lelah. "Biar aku bantu, Ratih. Aku bisa membantu memotong sayuran atau apa pun yang bisa kulakukan."
Aku menggeleng dengan tegas. "Nggak, Galuh. Kamu masih belum sembuh betul. Duduk saja di sana, biar aku yang masak. Kamu bisa melihatku saja dari sini."
Galuh tampak ingin protes, tapi akhirnya dia menurut dan tetap duduk. Aku mulai memotong sayuran, mencoba fokus pada tugas sederhana ini. Aku tidak ingin Galuh melihatku sebagai orang yang tidak bisa diandalkan.
Namun, dalam keburu-buruan dan mungkin karena masih sedikit gugup, tiba-tiba aku merasa sakit di jari. Pisau yang kupakai mengiris sedikit ujung jariku. Aku meringis pelan, darah mulai keluar sedikit.
"Awshhhh"
"Ratih!" Galuh sudah berdiri di sampingku sebelum aku sempat berkata apa-apa. Dia mengambil tanganku dengan cepat, dan tanpa pikir panjang, dia memasukkan jari yang terluka ke dalam mulutnya, membersihkan darahnya dengan lembut.
Aku terkejut dan tidak bisa bergerak. Rasanya aneh tapi juga menenangkan. Setelah itu, Galuh menarik jari keluar dari mulutnya dan mulai meniup-niupnya dengan hati-hati. Setiap tiupan anginnya terasa sejuk di kulitku yang perih.
"Bagaimana, apa masih sakit?" tanya Galuh dengan suara lembut, matanya penuh perhatian.
Aku hanya bisa mengangguk pelan, masih tercengang oleh tindakannya. Wajahku mulai memerah, merasakan kehangatan yang aneh di pipiku. Galuh begitu dekat, dan tindakan kecilnya membuat jantungku berdebar lebih kencang.
"Makasih" bisikku akhirnya, mencoba mengalihkan pandanganku dari matanya yang tajam.
Galuh tersenyum, tapi tidak melepaskan tanganku. "Kamu harus hati-hati, Ratih. Aku tidak ingin melihatmu terluka."
Aku mengangguk lagi, merasa bodoh karena kata-kataku hilang di tenggorokan. "Maafkan aku. Aku akan lebih berhati-hati."
Galuh mengangguk dan akhirnya melepaskan tanganku, meski masih berdiri dekat. "Kalau begitu, biar aku yang bantu memotong sayuran. Kamu bisa memasak yang lainnya."
Aku ingin protes, tapi melihat ketulusan di matanya, aku menghela napas dan mengalah. "Baiklah, tapi hanya memotong sayuran. Jangan terlalu banyak bergerak."
Galuh tersenyum puas, dan kami mulai bekerja bersama di dapur. Rasanya aneh tapi menyenangkan, dan setiap kali aku melirik ke arah Galuh, hatiku berdebar lebih cepat. Aku tahu bahwa ada sesuatu yang berbeda hari ini, sesuatu yang mungkin bisa mengubah segalanya.
Kami menghabiskan sore itu dengan cara yang sederhana namun penuh makna. Meski luka di jariku masih terasa sedikit sakit, kehadiran Galuh di sampingku membuat semuanya terasa lebih baik. Dan aku tahu, selama dia ada di sini, segala sesuatu akan baik-baik saja.
🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️
POV sariAku duduk di meja dapur, menatap kosong ke luar jendela. Hujan deras sejak pagi seakan mencerminkan perasaanku yang penuh kecemasan. Galuh, putri kami, belum ditemukan sejak insiden paralayang itu. Setiap detik penantian rasanya seperti selamanya, dan aku terus berharap ada kabar baik dari tim pencari.
Dengan tangan gemetar, aku meraih telepon dan menghubungi suamiku, Arya, yang saat ini bersama tim SAR di lokasi pencarian. Setiap nada tunggu rasanya seperti menambah beban di dadaku.
"Hallo, mas," sapaku dengan suara yang berusaha tenang meski hatiku bergemuruh. "Bagaimana perkembangan pencarian Galuh?"
Arya menghela napas panjang sebelum menjawab. "Sayang, kami masih mencari. Tim sudah memperluas area pencarian hingga ke perbukitan di sekitar lokasi insiden. Tapi sampai sekarang, belum ada tanda-tanda keberadaannya."
Aku merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. "Mas, aku khawatir. Apa yang harus kita lakukan? Aku merasa tidak berdaya di sini."
Arya, meski suaranya terdengar lelah, berusaha memberiku kekuatan. "Sayang, kita harus tetap kuat. Galuh adalah gadis yang kuat. Aku yakin dia akan bertahan. Kita tidak boleh kehilangan harapan."
Aku mengangguk meski tahu Arya tidak bisa melihatnya. "Iya, kamu benar. Tapi, aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang mungkin terjadi padanya. Apakah dia terluka? Apakah dia kesepian?"
Ada jeda panjang sebelum Arya menjawab lagi, kali ini dengan nada yang sedikit berbeda. "Sayang, tadi salah satu anggota tim SAR menemukan sesuatu. Mereka menemukan handphone Galuh."
Hatiku melonjak, campuran antara harapan dan ketakutan menguasai diriku. "Handphone Galuh? Di mana mereka menemukannya?"
"Di sebuah area yang cukup terpencil, di bawah bukit yang curam. Handphonenya masih utuh, meski baterainya sudah habis. Kami sedang mencoba untuk melacak jejak lain di sekitar lokasi itu."
Air mata yang kutahan akhirnya mengalir. "Setidaknya itu berarti Galuh pernah ada di sana. Itu pertanda, kan?"
Arya mencoba menenangkan diriku, meski aku tahu dia juga berjuang dengan kecemasannya sendiri. "Iya, Sayang. Itu pertanda bahwa kita mendekati tempat di mana dia berada. Kita harus tetap kuat dan berharap."
Aku mengangguk meski dia tak bisa melihatnya. "Terima kasih, Arya. Terima kasih sudah berusaha sekeras ini. Tolong, jangan menyerah. Aku tahu kamu lelah, tapi aku butuh kamu."
"Sayang, aku tidak akan pernah menyerah. Kita akan menemukan Galuh. Kamu juga harus kuat di rumah. Jaga dirimu, dan tetap berdoa."
"Iya, mas. Aku akan mencoba. Hati-hati di sana. Jangan lupa untuk makan dan istirahat."
"Aku akan berusaha. Aku akan segera mengabari jika ada perkembangan baru. Udah dlu ya Sayang."
"Iya, mas. Semoga Tuhan melindungi kita semua."
Aku menutup telepon dengan hati yang sedikit lebih tenang, meski kekhawatiranku masih sangat nyata. Aku kembali duduk di meja dapur, memandang ke luar jendela lagi. Hujan masih turun deras, seolah langit pun ikut merasakan kesedihanku.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Aku harus tetap kuat, seperti yang dikatakan Arya. Galuh membutuhkan kami untuk tetap tegar dan penuh harapan. Dengan doa yang khusyuk, aku memohon perlindungan dan bimbingan.
"Ya Tuhan, lindungi putri kami," bisikku dengan tulus. "Berikan kekuatan padanya, dan tunjukkan jalan agar dia bisa kembali ke pelukan kami."
Dengan doa itu, aku merasakan sedikit ketenangan mengalir dalam diriku. Aku harus percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Galuh adalah gadis yang kuat, dan kami akan melakukan segala cara untuk menemukannya dan membawanya pulang. Hujan mungkin masih turun deras, tapi harapan kami tidak akan pernah padam.
Bersambung......
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih Terlarang (GXG)
RandomKisah cinta terlarang antara seorang wanita desa dengan gadis kota yang ditolongnya saat terjatuh dari paralayang. Akankah mereka bersatu? "Galuhh... Aku nyata"-Ratih