00,9

610 34 0
                                    

Siang itu aku dan Galuh duduk di ruang tamu, menikmati secangkir teh hangat. Matahari memancarkan sinarnya yang lembut melalui jendela, menciptakan suasana tenang dan damai. Kami berbicara tentang banyak hal, mencoba melupakan sejenak semua kekhawatiran yang ada.

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan di pintu depan. Aku menoleh, merasa sedikit terganggu oleh interupsi yang tak terduga ini.

"Ratih, biar aku yang buka pintu," kata Galuh, mencoba bangkit dari tempat duduknya.

Aku segera menahannya. "Tidak, Galuh. Kamu duduk saja. Biar aku yang buka pintu."

Galuh mengangguk, dan aku berdiri, berjalan menuju pintu dengan hati-hati. Saat aku membukanya, di depan pintu berdiri seorang pria tampan dan gagah. Dia mengenakan pakaian yang rapi dan membawa seikat bunga di tangannya. Tapi aku tahu betul siapa dia, dan kehadirannya tidak membawa kabar baik.

"Kang Adikara," sapaku dengan nada datar, berusaha menyembunyikan kekhawatiran yang mulai menggelayut di hatiku.

Adikara menatapku dengan sorot mata angkuh. Senyum yang menghiasi wajahnya terlihat begitu dipaksakan. "Ratih, aku datang untukmu," katanya, mengulurkan bunga yang dibawanya. "Aku ingin kamu menjadi kekasihku."

Aku menatap bunga itu, merasa muak. Adikara bukanlah pria yang baik. Dia dikenal suka memaksa dan semena-mena. Selama ini, aku selalu berusaha menghindarinya, tapi dia terus mendekat.

"Maaf, Kang Adikara. Aku tidak bisa menerimanya," jawabku tegas, mencoba menutup pintu.

Namun, sebelum aku sempat menutup pintu, tangannya yang kuat mencengkeram pergelangan tanganku dengan kasar. Aku meringis kesakitan, berusaha melepaskan diri. "Lepaskan aku, Kang Adikara!"

Dia menarikku lebih dekat, wajahnya berubah menjadi lebih serius dan mengancam. "Jangan membuatku marah, Ratih. Aku tidak biasa ditolak."

Aku berusaha menarik tanganku, tapi cengkeramannya semakin erat. Rasa sakit menjalar dari pergelangan tanganku, membuatku hampir menangis. "Aku bilang lepaskan!" teriakku, mencoba terdengar kuat meski hatiku dipenuhi rasa takut.

Di dalam, aku mendengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Galuh muncul di ambang pintu, wajahnya penuh kekhawatiran. "Apa yang kamu lakukan? Lepaskan Ratih!"

Adikara menoleh ke arah Galuh, matanya menyipit penuh ketidaksukaan. "Siapa kamu berani-beraninya berbicara seperti itu padaku?"

Galuh, meskipun tubuhnya masih lemah, berdiri dengan tegak. "Dia sudah bilang tidak. Hargai keputusannya dan pergi dari sini."

Adikara tampak semakin marah, tetapi akhirnya dia melepaskan cengkeramannya. Aku segera menarik tanganku kembali, menggosok pergelangan yang terasa sakit.

"Kamu akan menyesali ini, Ratih," katanya dengan nada mengancam sebelum berbalik dan berjalan menjauh. Dia meninggalkan bunga itu tergeletak di tanah, sebuah simbol dari penolakanku yang jelas.

Aku menutup pintu dengan cepat, mengunci dan memastikan tidak ada lagi yang bisa masuk. Galuh menghampiriku, wajahnya penuh rasa khawatir. "Ratih, kamu baik-baik saja?"

Aku mengangguk, mencoba tersenyum meskipun masih merasa gemetar. "Ya, aku baik-baik saja. Terima kasih, Galuh."

Dia menatap pergelangan tanganku yang memerah.

POV Galuh

Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari pergelangan tangan Ratih yang memerah dan mulai membengkak. Rasa bersalah menyelinap di hati. Aku harus melakukan sesuatu untuk menolongnya. Dengan susah payah, aku bangkit dari tempat dudukku dan menuju dapur untuk mengambil kain bersih dan air hangat.

Kekasih Terlarang (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang