»»---->Have Fun Guys<----««
"Pertemuan singkat, pembawa luka lama. " -Rio.
.
.
.
.
.
.
."SUDAH HENTIKAN HUWAAAA!!! "
Saat Meli hendak melayangkan sabuk, Gina secara tiba-tiba datang dan memeluk kaki wanita itu. Dia menangis, memohon agar Meli menghentikan tindakannya, Gina memeluk erat kaki Meli. Sedikit mengintip melalui celah kaki wanita itu, dia melihat Rian yang sudah pingsan dengan luka lebam di beberapa sisi. Gina menutup mulutnya, menangis dan memohon agar Meli menghentikan tindakannya itu.
"UNTUK APA KAMU DI SINI, HAH?! " Bentaknya, kemudian melepaskan paksa pelukan itu.
Gina masih memeluk erat kakinya. Gina mendongak dan menatap Meli. "Kalau ibu berhenti, Gina mau nurut. " Ucapnya sebagai penawaran, yang entah bagaimana bisa membuat Meli benar-benar menghentikan tindakannya.
Meli berjongkok, mengangkat dagu Gina, mengecup keningnya pelan. "Bener? " Tanyanya memastikan, mimiknya yang menakutkan kini berubah menjadi sebuah senyuman manis.
Gina mengangguk pelan, menunduk lesu. "Singkirkan dia dari hadapanku! Bawa dia ke Rubanah, dan kunci pintunya sampai besok! " Titahnya pada salah seorang penjaga pribadi yang selalu menemaninya ke mana-mana.
Meli berdiri, dan menggandeng tangan Gina. Menuntunnya menjauh dari kerumunan tersebut, samar-samar pandangan gadis itu tertuju pada Rian. Tatapan iba, sekaligus perasaan ingin melindunginya meningkat.
"Diam kamu di sini! " Bentak penjaga itu melempar Rian pada ubin dan meninggalkannya sendirian di sana.
Sesaat sebelum dia mengunci pintunya, Rui berlari dari tempatnya bersembunyi. Ikut masuk ke dalam rubanah itu. Sampai pintunya benar-benar terkunci.
Rui menangis melihat Rian, dia menyentuh lembut luka lebam di lengan Rian. Dia yakin, pasti rasanya sangat menyakitkan. Seharusnya bukan Rian, seharusnya dia yang mengalami hal ini. Rui menyalahkan dirinya sendiri, memukul-mukul kepalanya dan terisak pelan.
Anak itu mengedarkan pandangan dan menemukan tumpukan kardus di pojok ruangan. Mengambilnya satu, dan meletakkan kardus itu di sebelah Rian. Menggulingkan tubuh Rian tepat di atasnya. Rui mengambil kain tipis jahitan Dahlia yang biasanya akan ia gunakan untuk selimut.
Rui berbaring di sebelah Rian, memeluk kakaknya erat. Menyelimuti tubuh mereka berdua. Kemudian terlelap.
***
"Aduh gara-gara dia aku jadi lupa kalau ada tugas. " Gerutu Rui di meja belajarnya, yang penuh dengan tumpukan buku dan kertas yang berserakan.
Dirinya mendumel setiap beberapa menit sekali, tidak seperti Rui yang sebelumnya. Tadi Bu Hana memberikan tugas essay bertema 'kesehatan mental' yang harus sudah diserahkan besok pagi. Siapa sangka gadis gila itu datang dan meminta pertanggungjawaban tidak jelas padanya. Anehnya juga Rui menyetujui permintaannya.
Rui tersenyum tipis, jika dipikir-pikir tema yang diambil Bu Hana ini sangat cocok dan sesuai dengan gadis gila itu. Mungkin dia bisa memberikan sebuah surat untuk dibaca Aya nanti.
Ceklek!
Pandangan Rui beralih, melihat Rian menuruni tangga. Tatapan mereka sempat bertemu, sebelum Rian memutuskannya terlebih dahulu. Rian berlalu tanpa perkataan apapun. Meletakkan jaketnya dan masuk kamar mandi.
Rui segera menyelesaikan essay itu, dan berniat tidur agar tidak mengantuk di sekolah besok.
Rian keluar dari kamar mandi, melihat Rui yang sudah terlelap di atas tikar yang entah dia dapat dari mana. Mungkin dari gudang sebelah. Rian melihat jam pada dinding, menujukan pukul dua dini hari. Bagaimana bisa seorang pelajar bisa begadang seperti ini, pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Nuts! || LEO
General Fiction|18+| "Rui?" [Lupakan saja, tidak pernah ada kata romansa dalam kamusku. Katakan saja itu hanya cinta sesaat dan khayalan semata. Salahkan saja dia yang membuat semuanya menjadi tampak membosankan bagiku.] Alur mereka berubah sejak kedatangan gadis...