"Kak Harsa ada di sini. Besok sorean flight ke Bandung kata Nathan–"
"Gak terbiasa banget dengar Jo dipanggil Nathan." Komentar Zea memotong.
Valerie berdecak, "denger dulu apa."
"Iya iya, apa kata Jo?"
"Kata Nathan, Kak Harsa ada proyek di Bandung."
Zea mengangguk mengerti, gadis 25 tahun itu menyesap secangkir teh yang disuguhkan Valerie setelah temannya itu memaksa Zea untuk singgah ke dalam.
"Kok respon lo kayak gitu doang?" Tanya Valerie.
"Gue harus gimana?" Tanya Zea sambil mengedikkan bahu.
"Oh iya, Ce, gue mau kasih kabar baik nih." Raut wajah Zea tiba-tiba berubah, gadis dewasa itu kini mengubah hadapnya menghadap Valerie.
"Apa? Apa?" Tanya Valerie tak kalah antusias.
"Gue...."
"Gue dapet beasiswa spesialis yang pernah gue ceritain sama lo!"
"Akhirnya! Selamat ya, Ze. Impian lo akhirnya satu-persatu mulai terwujud, ya?" Balas Valerie senang. Ia tau sejak SMA Nazea memimpikan menjadi seorang dokter spesialis penyakit dalam. Sayangnya temannya itu tidak pernah mau mengambil program spesialis dengan uang orangtua, katanya Zea akan pusing bagaimana mengembalikan uang orangtuanya sendiri.
"Ngomong-ngomong lo sama Jo gimana?" Nazea menyandarkan punggungnya di sofa, namun matanya masih menatap Valerie menunggu jawaban.
"Ya gitu."
"Belum ditembak?"
"Lo mau gue mati?"
"Ce, serius dong. Lo mah ga bisa serius."
"Eh Ze, daripada lo nanyain gue, lo sendiri gimana? Masih berharap sama crush tiga belas tahun lo itu?"
"Ga usah dibahas deh, Ce," Zea berdiri, meraih tas nya di atas meja, "eh, gue cabut ya. Besok pagi gue flight."
"Hmm, kalau udah sampe Bandung, kabari gue."
"Dih? Macem lo penting aja."
"Pergi deh lo, tai!" Teriak Valerie seraya melemparkan bantal sofa hingga mengenai bokong Nazea. Sedangkan Zea melempar bantal itu lebih jauh lagi.
"ZEA LEMPAR BALIK, GA?!"
"GA!"
Zea tanpa sadar tertawa kecil di atas kursi kemudi mobilnya. Dipikirannya hanya betapa bahagia ia hari ini. Bertemu dengan pasien yang baik di pagi hari, makan siang bersama Valerie, mendapatkan kabar bahwa ia mendapat beasiswa impiannya, ah rasanya Zea tidak mau malam ini berganti pagi esok.
Harapan tetaplah menjadi harapan, matahari dan bulan akan tetap beredar sesuai garis edarnya.
Pagi ini Zea sudah siap dengan kopernya. Ia berangkat ke bandara sendiri menggunakan taxi online yang ia dapat dengan harga promo.
Seorang bapak duduk di samping tempat duduk Zea. Jika Zea tujuannya untuk bekerja, bapak tersebut tujuannya untuk pulang sehabis bekerja dan dari yang Zea tanya-tanya, beliau ini asli suku Sunda yang menetap di Kota Bandung.
Baru dua puluh menit mengudara, namun Zea dan Pak Andi itu sudah akrab seperti tetangga lama yang baru bertemu kembali. Zea memang cepat akrab dengan orang tua.
Jika gadis lain bepergian sendiri dan duduk tepat disebelah bapak-bapak mungkin akan was-was dan berjaga, kalau-kalau orang tersebut sedang masa 'puber kedua', tapi berbeda dengan Zea yang terus melayani obrolan Pak Andi tentang anak kembarnya yang baru mau ujian masuk perguruan tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Ending
ChickLit"Lo mau bunuh gue, hah?" Wanita yang baru saja mencengkram erat kerah kemeja pria di depannya itu membiarkan map berisi surat cerai yang dibawanya terjatuh begitu saja di lantai. Pria itu tersenyum tipis, "gue gak suka!" Ia melepaskan cengkraman di...