Pain That We Wish Never Happened

558 59 8
                                    

Setelah seminggu dirawat dan mengantongi lampu hijau dari dokter, Raga diperbolehkan pulang. Flunya sudah mendingan dan ia tak lagi demam. Meski begitu, Raya tetap kurang percaya. Melihat betapa lemas dan pucat kakaknya itu sekarang seolah-olah asupan tidur dan infus berhari-hari masih belum cukup. Namun, mau bagaimana lagi. Sesering apa pun Raga mengatakan 'baik-baik saja', ia akan tetap geleng-geleng dan meragukan segala hal. Menurut Raya, kata-kata semacam itu hanya frasa yang belum ada buktinya hingga saat ini.

"Lo bisa diem nggak, sih? Biar gue yang beresin."

Belum ada lima detik masuk ruang rawat Raga, Raya sudah berkacak pinggang dan berjalan cepat ke arah kakaknya yang sedang menata baju. Ia telat datang dari perjanjian mereka karena harus mengurus administrasi kepulangan lebih dulu. Mamanya juga kelamaan tarik uang di ATM minimarket yang superantre, jadi semuanya serbalambat. Mood Raya makin berantakan karena Niki terus-menerus mengirim pesan. Setelah ini ia harus ke tempat latihan. Secepatnya.

Raga beringsut-ingsut menuju sofa, ngeri sendiri dengan ekspresi adiknya. Gadis itu memasukkan baju secara tak sabaran sampai-sampai lipatannya buyar tak karuan. "Ya da-daripada nganggur nungguin lo, kan."

"Mending nganggur," jawab Raya ketus sambil menutup ritsleting tas

Akhirnya mereka tak berbicara lagi. Raya segera memapah Raga seperti biasa dan tangan kirinya menjinjing tas lelaki itu. Sopir suruhan Bima yang sudah menunggu di depan lobi pun melambaikan tangan dan mendekat.

"Eh, eh, nggak usah, Pak. Saya bisa sendiri." Raya menggeleng saat lelaki paruh baya itu hendak membantu.

"Nggak apa-apa, Neng. Saya aja. Ayo, masuk."

"Makasih ya, Pak."

Setelah mendapat anggukan, Raga masuk lebih dulu dan duduk di belakang. Raya refleks mengangkat tangan dan menghalangi benturan di atas kepala lelaki itu sambil terus memegangi pintu. Ia kemudian duduk di samping kakaknya dan membiarkan Raga bersandar di pundaknya sepanjang perjalanan pulang.

Pandangan Raya terpaku pada kemacetan lalu lintas di balik jendela. Ia meraba kaca yang sedikit buram itu lalu menurunkannya sedikit, memberi ruang udara untuk masuk karena mobil tua ini tak ber-AC. Ia butuh udara segar setelah naik turun tangga dan mencium bau obat-obatan. Namun, Jakarta tetaplah Jakarta dengan asap kendaraan yang bisa membunuh kakaknya.

"Sori, sori," ucapnya pelan saat mendengar Raga terbatuk.

"Santai aja."

Gimana mau santai kalau lo begini?

Raya mendengkus. Mendengar tarikan napas kakaknya yang berat dan patah-patah selalu memberi dua kesan yang kontras dan menyiksa: tenang karena setidaknya Raga masih ada di sisinya, juga resah karena rasanya kapan saja lelaki itu bisa pergi. Pertanyaan-pertanyaan gila pun terbersit di benaknya. Bagaimana jika kekhawatiran itu berubah menjadi doa yang tak ingin ia amini? Seketika Raya menggeleng dan menampar pipi. Genggamannya pada Raga pun menguat. Keringat di sekitar tengkuk juga tiba-tiba bermunculan. Ia segera mengusap wajah dan mengucir rambut sebahunya, mengenyahkan pikiran yang terlalu liar.

"Sudah sampai, Neng."

Seruan tersebut membuat Raya tersentak sadar. "Oh, iya. Makasih, Pak."

Dengan pelan, Raya mengusap lengan Raga dan sedikit menepuk-nepuknya. Ia menghindari bekas infus kakaknya itu yang membengkak dan kemerahan. Setelah diberi tahu beberapa kali, Raga terbangun lalu jalan sendiri ke ruang tamu, sementara Raya dan sopir menurunkan barang.

"Eh, lo sendirian nggak apa-apa, kan? Gue mau cabut latihan, udah ditungguin Niki dari tadi. Mumpung Pak Luki nawarin tumpangan," tanya Raya usai menaruh tas Raga di kamar.

Every Pain We Ever Feel ✔ [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang