Pain That We Could Never Explain

1.3K 121 9
                                    

Lembaran kertas foto copy disebar merata. Isinya sederhana dan cukup mainstream bagi keluarga besar Wijaya yang duduk diam di ruang tamu: tentang hasil check up dan tagihan rumah sakit yang melangit. Tak satu pun di antara mereka bersuara, terlebih saat melihat dokumentasi pada lampiran terakhir.

Ada empat foto yang paling menohok: saat dokter menusukkan jarum pungsi lumbal ke bagian punggung bawah si anak, saat seluruh rambutnya dipangkas untuk kedua kali, saat ia muntah-muntah tanpa henti gara-gara kue ulang tahunnya sendiri, dan saat ia berfoto dengan adiknya yang memenangkan kompetisi bulu tangkis tahun lalu. Meski tak bergerak, memori-memori itu memuat rasa yang mudah diresapi tapi juga sulit dipahami, dan menimbulkan berbagai macam efek samping yang menyesakkan.

Aruna mengusap tengkuk dan menelan ludah. Sesekali ia melirik dan memperhatikan reaksi saudara-saudaranya itu. Sulit diartikan. Di satu sisi ia tak berharap banyak kalaupun berakhir dengan penolakan atau sekadar doa-doa yang tak menyembuhkan. Namun, di sisi lain ia ingin menjadi si tak tahu diri dengan mengharapkan uluran tangan mereka. Ibu ini hanya mengemis simpati dan mengusahakan apa pun yang memperpanjang umur putranya, Raga.

"Kata dokter emang gimana, Run?" tanya kakak perempuan tertua Aruna.

"Masih harus kemoterapi lagi, Mbak."

"Yang terakhir kemarin hasilnya apa?"

Aruna menggeleng. Bukan karena tidak tahu, melainkan tidak ada. Kemudian para saudaranya terdiam dan tak ada percakapan lagi. Mungkin takut salah bicara, takut menyinggung, takut menyakiti, atau takut berlagak si paling tahu atas yang mereka rasakan.

Aruna tak mau makin memupuk kecanggungan itu. Ia lantas pamit dan beranjak ke dapur, hendak menyuguhkan makanan yang sudah ia siapkan. Namun, fokusnya teralih saat tak sengaja mendengar seruan dari taman samping. Ia pun mendekat, mengintip dari celah jendela. Ada lima anak sedang bermain monopoli di tengah halaman dan hanya beralaskan tikar piknik tipis. Raga terlihat bangga karena dua sepupunya terus-terusan singgah ke negaranya. Ia antusias menagih uang mainan itu dan menertawakan kesialan mereka.

Degup jantung Aruna seketika terpacu. Ada sensasi perih di ulu hatinya. Ia lekas berbalik, mengusap air mata yang tiba-tiba runtuh. Lemah, memang.

"Ma?"

Aruna terperanjak. Raya, putrinya, menatap bingung dan menyentuh lengannya khawatir. Ia pun berdeham dan tersenyum tipis. "Iya, Ra. Kenapa?"

"Mama yang ngapain ke sini?"

"Oh, iya, lupa. Mama cari kamu, mau minta tolong bawain minuman dan stoples kue keringnya ke depan. Nggak apa-apa, Nak?"

"Oh, oke."

Raya yang masih mengerutkan kening pun mengangguk. Awalnya ia ingin ke kamar mandi, tapi jadi ia urungkan kalau sudah seperti ini. Tanpa mengucap 'terima kasih' dan hanya mengusap kepalanya lembut, mamanya kembali ke ruang tamu, sementara Raya langsung ke dapur. Aruna memang seringkali begitu, Raya tidak heran lagi. Ia pun mengambil nampan di etalase dekat wastafel dan melakukan apa yang disuruh dengan senang hati.

"Mohon maaf banget, Mas, Mbak, karena niat kami di sini selain menjaga silaturahmi, juga mau cari pinjaman buat pengobatan Raga." Sayup-sayup suara Bima di ruang tamu dapat Raya dengar seiring langkahnya yang makin dekat ke arah papanya itu.

"Maklum, kok, Bim. Nggak usah sungkan. Kita juga orang tua, pasti mau yang terbaik untuk anak. Insyaallah Mas ikhlas, nggak usah dikembalikan."

"Iya, Bim, Run, Mbak juga. Toh nominal yang kami kasih nggak seberapa, tapi semoga bisa meringankan kalian."

"Makasih, Mbak, Mas."

Raya menggigit bibir. Ia sampai di tempat dengan kikuk. Ia tak berniat mendengarkan itu semua, tapi apa boleh buat. Ia pun menurunkan satu per satu stoples ke meja setelah mengucap 'maaf' dan 'permisi'. Namun, tiba-tiba salah satu tantenya menatap lekat lalu menghela napas, seolah ia objek yang amat memprihatinkan di sini. Bahkan, omnya juga sempat menepuk-nepuk punggungnya yang membungkuk, seakan ia perlu ditabahkan. Gadis berambut panjang itu pun tersenyum tipis dan mengulang perjalanannya untuk mengambil minuman.

Every Pain We Ever Feel ✔ [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang