2. Kita Bertemu Disaat yang Brengsek.

1 1 0
                                    

Keesokan harinya, zara masuk sekolah seperti biasa. Kemarin dia memang sengaja tidak mengatakan apapun pada regina sebab dia merasa bahwa ketidakhadirannya itu bukanlah hal yang penting. Lagipula, regina tidak akan rugi meski ia absen sampai beberapa hari kedepan, begitu katanya.

Meskipun benar begitu adanya, bukannya dia harus memberitahu seseorang tentang alasan ia absen? Bukan hanya mengatakan bahwa dirinya tidak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas?

"Isa, ini tugas bahasa inggrisnya udah selesai. Yang nomor terakhir jawabannya aku tempel pakai stick note kuning." Ujar jihan seraya meyodorkan padaku buku berisi tugas yang kemarin sempat aku perdebatkan. "Oh, makasi banyak. Nanti dikumpulinnya lewat arya kan?"

Alis jihan terangkat sebelahnya, "yoi." Ia menjawab ala kadarnya lalu kembali menuju kursinya di deretan bangku terbelakang. Gadis itu berjalan gontai. Seakan beberapa menit yang lalu ia tidak pernah adu mulut dengan zara.

Pertemanan yang rumit. Dan sekarang aku jadi memikirkan ucapan laura kemarin.

Sejak pagi tadi aku mulai memerhatikan zara. Lalu tak lama kemudian aku menyadari bahwa gadis itu ternyata menjadi rundungan sosial. Memang tidak ada yang menyindirnya atau memukulnya. Tapi tidak ada satupun orang diantara teman sekelasku yang menyapanya dengan baik kecuali regina dan bianca.

Chelsea juga menyapanya dengan lembut karena gadis itu memang terlahir dari keluarga harmonis yang mempunya etika baik pada semua orang tanpa terkecuali.

Aku penasaran. Kesalahan apa yang dilakukan zara sampai semua murid perempuan tidak memedulikannya. Dia memang beruntung karena wajahnya cantik. Jadi semua siswa tertunduk patuh padanya. Tapi para siswi?

Entahlah. Akupun jadi ikut merasakan getir saat tadi melihatnya ditubruk tanpa permintaan maaf setelahnya.

"Isa. Tugas kelompok lo mana?" Arya datang seperti preman yang hendak memalak targetnya. Lelaki itu memperbaiki posisi kacamatanya sejenak sebelum menarik kursi dan duduk di bangku sebelahku yang ditinggalkan pemiliknya menuju ruang BK. "Kenapa?" Tanyaku heran.

Tumben sekali wajah ketua kelas ini serius. "Aksa masi sakit?" Aku mengangguk membenarkan. "Duh, terus kudu gimana?" Keningku berkerut bingung. Belum menangkap maksud dari pertanyaannya. "Maksud gue itu, perlu dibesuk atau gimana?" Jelasnya karena aku tak kunjung memberikan jawaban.

Aku membulatkan mulut isyarat memahami ucapannya tadi. "Kata aksa lusa udah bisa masuk sekolah. Jadi untuk meminimalisir pengeluaran, mending ga usah." Aku tidak berniat jahat. Hanya saja sungguh rugi bila nanti aksa masuk sehari setelah kami pergi membesuknya.

"Yaudah. Tugasnya mana?" Tanganku terjulur, menyodorkannya buku berwarna pink yang tadi diserahkan jihan, berisi jawaban yang kami kerjakan secara terpisah. "Aduhhh! Ini kenapa ada tempelan sih?" Arya protes.

"Biarin aja! Bilang sama miss daya kalau itu punya kelompok gue!" Suara jihan meninggi, menyahuti pertanyaan arya dari kursinya di belakang. Arya memnutar bola matanya kesal. "Mentang-mentang kesayangan guru!" Gerutunya sebelum pergi meninggalkan kelas. Aku tertawa saja karena adu mulut mereka terdengar lucu.

Triinggg...

Ponselku berdering. Sontak membuatku langsung mencaritahu siapa yang menelfon saat jam sekolah masih berlangsung seperti ini. "Ayah?" Gumamku pelan. Jariku bergerak otomatis menjawab panggilan itu lalu dengan cepat mengheningkan panggilan. "Bi, abi."

Yang aku panggil menoleh, mengangkat kepalanya dari ponsel yang ia mainkan. "Ayah gue nelfon." Ujarku setengah berbisik. Beruntung lelaki itu cepat mengerti.

Dia memberi isyarat dengan menganggukkan kepalanya sekali. Matanya layu sekali seperti hendak tertidur. Lelaki dengan sleep eyes seperti itu memang selalu menarik perhatian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Little Things To Do Is CryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang