Meski mataku rabun dan wajah orang selalu terlihat pudar juga kabur, tapi aku terpaku pada senyum tipis yang terukir jelas itu. Ini bukan tipe dejavu yang menyesakkan hanya saja rasanya senyum itu benar benar tak asing.
Tapi di mana aku pernah melihatnya?
Dan kapan pula aku bisa mengingat lekuk senyum yang pasaran itu?
Aku segera menggelengkan kepala, menghabiskan roti yang tadi aku beli bersama gina di kantin. Perutku rasanya mual, roti ini tak lagi terasa enak seperti beberapa saat sebelumnya.
Apa karena tadi efek lapar sehingga aku memakanya dengan begitu nikmat?
"Oit," aku mengangkat kepalaku, menatap gina yang tengah menatapku dengan kening berkerut heran, "kenapa? Rotinya ga enak, ya?" Tebak gina mencoba mencaritahu alasan aku tak lagi memakan roti itu selahap tadi.
Kepalaku menggeleng, berniat mengungkapkan apa yang baru saja membuatku bengong tanpa alasan. Baru saja aku hendak berbicara, niatku terhenti. Gina pasti akan memarahiku kalau aku memikirkan lelaki lain disaat pacarku tengah absen karena sakit.
"Gapapa, gin. Tadi perutku mual dikit." Benar. Aku tidak berbohong. Dan sesuai dugaan, ekspresi gadis itu melembut, bahkan sekarang terlihat sedikit bersalah. "Roti yang aku beli terlalu pedes, ya? Maaf. Soalnya tadi waktu aku tanya kamu bilang mau yang gurih, jadi aku kepikiran beliin itu soalnya lagi rame."
Aku tertawa kecil sembari memasukkan sisa roti itu ke dalam kantong sampah yang sengaja disediakan gina di atas meja, dia merasa bersalah. "Gapapa kok gin, aku mual paling gegara telat makan. Kamu tau kan tadi aku telat bangun terus ga sempet sarapan?" Ujarku mengingatkannya tentang apa yang kuceritakan beberapa jam yang lalu.
Regina, gadis itu mengangguk lesu. Aku jadi merasa bersalah memberitahunya hal yang tidak seharusnya ia tahu.
Harusnya aku katakan saja secara jujur, tapi mungkin aku akan kena ceramah lagi kalau menyebutkan perkara lelaki lain di hadapannya yang bernotabe sebagai sepupu dari pacarku, aksa.
"Pr matematika yang dikasi bu rima udah jadi atau belum?" Tanya gina setelah acara makan itu berakhir. Bibirku cemberut, "belum, maaf. Semalem aku streaming mv-nya enhypen ku sayang."
Gadis itu menelisik wajahku selama beberapa saat, "enhypen? Bukannya belum comeback, ya?" Aku mengangguk membenarkan. "Emang. Cuma lagi kangen aja liat mereka." Gina berdecih, tapi berbanding terbalik dengan ekspresinya yang menyebalkan itu, dia menyodorkan padaku buku latihannya yang penuh dengan rumus.
Aku tersenyum malu lalu meraih buku itu, "hehe, makasih loh ya."
Regina mengedikkan bahunya, "udah, buruan ditulis. Keburu bu rima dateng, nanti kamu malah ketauan nyontek." Dia selalu tahu kebiasaanku yang ngaret dalam masalah matematika.
"Oh, iya, isa." Panggilan itu membuat aku dan regina sontak menoleh, mengahadap kiri mendapati jihan yang tengah menatap kami berdua secara bergantian. "Kemarin soal bahasa inggris itu kamu udah kerjain?" Aku spontan mengangguk.
"Aku juga udah serahin ke...zara."
Kening jihan berkerut. Bibirnya terlihat menggumamkan sesuatu yang langsung dapat aku tebak meski tak mendengarnya langsung, "kok zara, sih?."-"maaf ya, ji." Ujarku takut-takut.
Pasalnya, hubungan zara dan jihan itu bukan suatu hubungan yang bisa dibicarakan baik-baik atau secara kekeluargaan. Mereka itu bertolak belakang, seperti magnet kutub utara dan selatan. Selalu bertentangan. Aku merasa bersalah. Sebab pelajaran bahasa inggris kali ini terdiri atas tiga orang dalam setiap kelompok.
Dan atas dasar kesialan apa, aku, jihan dan zara masuk dalam satu kelompok yang sama. Tentu saja dalam kasus kali ini aku harus menjadi penengah yang bijak meski diantara mereka aku lah yang paling sering diledeki dengan sebutan anak kecil yang belum dewasa.
"Nanti bisa diambil, ga? Soalnya aku juga belum ngerjain yang bagian ke dua." Pinta jihan setengah memelas setengah jengkel. Aku tersenyum tipis.
Setelah pembagian kelompok saat itu, aku memutar otak untuk mencari cara bagaimana agar mereka berdua tetap bekerja meskipun tak pernah saling ingin menyapa. Dan otakku yang hampir buntu ini menemukan cara yang tidak efektif, yakni dengan membagi tugas menjadi tiga bagian. Dimana zara yang mengerjakan bagian pertama, jihan bagian kedua dan zara bagian ketiga.
Dengan syarat dan ketentuan bahwa semua soal yang mereka jawab harus mempunyai keterangan cara menjawabnya. Ya meskipun terdengar sedikit tidak bermutu untuk sebuah kerja kelompok. Tapi aku tidak bisa menyatukan mereka berdua.
Musuh yang jauh sebelum sekolah dasar sudah menjadi musuh bebuyutan, bagaimana bisa aku yang hanya pendatang di kehidupan SMA ini menyatukan mereka?
"Bisa. Tapi hari ini zara ga masuk, kan?"
"Hah? Masa sih?" Gina menyahutku lebih cepat dari jihan. Mata gadis itu menunjukkan keterkejutannya yang bukan main. "Loh? Zara ga ngabarin, ya?" Aku bertanya balik. Aku kira zara akan mengabari teman sekompleknya itu lebih dahulu dibandingkan aku yang ia tunjuk sebagai ketua kelompok bahasa inggris yang tidak ada hubungannya sama sekali.
Jihan menyipitkan mata. "Tapi kok isa dikabarin duluan?" Dia menuntut jawaban yang aku sendiri tidak tahu bagaimana menjawabnya. "Mungkin karena kemarin kami abis ngobrol?" Tebakku dengan petunjuk yang ada.
Memang benar aku dan zara kemarin sempat mengobrol. Entah apa yang membuat gadis misterius itu tiba-tiba memintaku untuk menceritakan awal mula aku bertemu aksa. Baik, itu memang bukan sesuatu yang memberatkan dan aku yakin ia pasti heran kenapa aksa mau berpacaran dengan gadis seperti aku.
Semua orang berkata aku tidak pantas bersanding dengan aksa. Alasannya mudah, karena aku gadis yang biasa saja dan aksa sebaliknya.
"Jangan banyakin ngomong sama dia deh, lo." Sahutan itu membuatku menoleh. Tentu bukan aku saja menoleh, tapi juga jihan dan regina. "Kenapa emang?" Tanyaku mengernyitkan alis. Bukannya berteman dengan zara itu akan berdampak baik?
Berhubung gadis itu juga adalah juara dua berturut selama dua tahun di kelas ini. Dia juga orang yang baik. "Gitu deh, nanti juga tau sendiri." Ujarnya menjawab pertanyaanku dengan ambigu. "Gue mana tau kalau lo ga ngabarin." Aku membalas sedikit kesal.
Laura menoleh, menghentikan gerakan tangannya yang tadi sibuk menyontek pr matematika dari buku milik jihan. "Kalau yang ngomong gue, lo ga bakal percaya, isa." Setelah itu, laura beranjak menuju deretan bangku belakang. Aku terenyuh, menyadari kesalahanku pada laura. Tidak seharusnya aku berbicara dengan nada kesal seperti itu.
"Udah, gapapa. Mending kamu balik duduk aja deh, nanti bu rima dateng. Masalah tugas bahasa inggris sama zara, nanti kita bicarain baik-baik." Jihan menepuk pundakku.
Gadis itu tersenyum tipis, "laura emang gitu. Jangan dibawa pikiran."
"Buruan, isa. Salin tugas itu." Regina menambahkan. Kedua gadis itu memasang senyum, seakan meyakinkanku bahwa semuanya pasti baik baik saja.
Tapi ada satu hal yang masih menjanggal di pikiranku. Siapa lelaki pemilik senyum itu?
🎀.
Gale.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Things To Do Is Cry
Novela JuvenilDan meski kini kita berubah, perasaanku padamu tetaplah sama.