Masalah beruntun

1 0 0
                                        

"Hah? Apa yang terjadi?"

Ketika Lucy kembali sadar, dia terkejut menemukan dirinya terbaring di tempat yang sama di mana dia akan diculik. Anehnya, para preman yang mengikutinya tadi telah menghilang entah ke mana. Meskipun kebingungan masih menyelimuti pikirannya, kekhawatiran untuk adiknya yang sedang sakit langsung terbesit. Tanpa ragu, dia langsung berlari secepat-cepatnya menuju rumahnya, melintasi jalanan gelap dan becek yang masih basah oleh hujan.

"ELYS!" panggilnya panik saat dia membuka pintu rumah gubuk yang sudah usang tersebut dengan tergesa-gesa.

Elysia ternyata masih berada di tempat yang sama terbaring lemah di ranjang, menoleh pelan dengan mata sayu namun dengan senyum yang bahagia walau dia kesusahan untuk melakukannya. "Selamat datang, Kak. Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat pucat?"

Melihat Elysia yang terbaring, Lucy menghela napas lega dan langsung menurunkan nada bicaranya. "Syukurlah kau baik-baik saja. Kita sudah menemukan seseorang yang akan mengobati kamu, lho. Kita harus bersiap-siap sekarang."

Elysia mengangguk pelan, senyum kecil muncul di wajahnya. "Benarkah, Kak? Aku senang mendengarnya."

Lucy mengangguk dengan semangat, meskipun rasa lelah dan cemas masih terasa di hatinya. "Ya, benar. Ayo, kita harus segera berkemas. Kita harus pergi sekarang."

Lucy tau ia akan diculik kembali atau bahkan masalah yang lebih besar akan datang cepat atau lambat. Dengan pikiran lucy yang masih muda dan encer ia pasti akan menyadari bahwa rumah kecilnya tersebut sudah tidak aman.

Elys masih tidak tahu dengan kejadiannya dan barusan dan dia tidak akan memberitahukannya. Lucy sangat menyayangi adiknya dan tidak akan membiarkan kondisinya menjadi lebih buruk karenanya.

Lucy kemudian memasukkan barang-barang yang diperlukan adik dan dirinya ke dalam tas tas dan mena. Dia lalu mengenakan jubah bertudung yang menetupi seluruh tubuhnya kemudian dia menggendong adiknya dari ranjang. "Maafkan aku Lys, tapi kita harus cepat, sebentar saja tolong bertahan."

Setelah Lucy mengunci pintu dia kemudian bergegas dari rumah kecilnya, Sebelumnya Lucy, Elys, dan kedua orang tuanya tinggal di sebuah rumah sewa. Setelah kedua orang tuanya meninggal, Lucy membangun tenda di tepi kota. Lucy berhasil membeli rumah tersebut dengan bekerja sebagai buruh kasar lalu mengumpulkan gajinya untuk membeli rumah seharga 10 koin emas.

Setelah beberapa menit terus berlari, terlihat sebuah Mansion yang diberikan kepada Solo sebagai hadiah dari raja kepadanya yang kini ia jadikan penginapan. Bangunan utama yang menjulang tinggi memiliki pintu kayu besar dan lobi luas dengan lantai marmer. Puluhan jendela dengan bingkai kayu yang dipoles sedemikian rupa menengadah keluar dengan dinding kusam dan berlumut, bangunan itu memang sudah lama tidak ditinggali dan bagian luar dan tamannya sangat kotor, aku berpikir bahwa aku masuk ke bangunan yang berbeda begitu aku pertama kali masuk ke situ.

Setelah melewati halaman yang luas lalu membuka pintuu Lucy dan Elys akhirnya tiba.

"Permisi, Master Solo," kata Lucy sambil membuka pintu mansion tersebut.

Solo, yang mengenakan kemeja putih dengan vest abu dan celana hitam, duduk membaca dengan tenang sambil menyesap kopi. Pandangannya beralih ke arah Lucy yang menggendong Elys di punggungnya, yang masih dalam keadaan demam tinggi.

"Masuklah," kata Solo singkat. Dia segera memanggil pelayan untuk mengantarkan mereka ke kamar yang telah disiapkan.

Lucy dan Elys diberikan sebuah ruangan nyaman di dalam mansion tersebut. Mereka juga mendapatkan baju bersih dan keperluan lainnya. Setelah mandi dan berganti pakaian, mereka merasa jauh lebih segar. Solo kemudian memanggil dokter untuk memeriksa Elys.

Royal innWhere stories live. Discover now