Malam itu, Eksa tidur dalam kegelisahan.
Otak pintarnya terus saja mengingat tentang artikel itu, bahkan skenario pembunuhan tiba-tiba terbayang jelas saat kelopak matanya tertutup. Dan pada akhirnya Eksa menyerah.
Eksa bangkit dari ranjang, dengan cepat menyambar ponsel serta jaket yang tergantung dibalik pintu kamarnya. Eksa juga mengenakan sepatu sebelum melangkah keluar. Gerakannya sangat hati-hati.
Rumah ini terdiri dari dua lantai dengan setiap ruangan yang cukup besar, di mana lantai pertama memiliki tiga kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tengah dengan mini bar yang terhubung, dapur, satu ruangan besar kosong yang mungkin dulunya adalah ruang penyimpanan, serta ada garasi.
Sedangkan lantai dua terdiri dari empat kamar tidur, dua kamar mandi, dan perpustakaan sederhana di tengahnya.
Eksa meringankan langkah kakinya saat melewati pintu kamar milik Bian dan segera menuruni tangga.
Jam besar yang menempel di dinding ruang tengah menunjukkan pukul setengah satu. Eksa takut, tapi rasa penasaran yang besar telah mendorong nekatnya.
“Mau ke mana Bang?”
Suara itu membuat Eksa terkejut hingga menghentikan langkanya, ia menoleh dan menemukan Arga yang sedang menyembulkan kepala dari balik sofa. Arga menatap Eksa penasaran.
“L-lo ngapain disini?” balas Eksa terbata.
“Gak tau. Arga gak bisa tidur, barusan selesai makan mie instan. Bang Eksa mau ke mana?” tanya Arga lagi sebelum melirik curiga pada kaki Eksa yang terbungkus sepatu, menandakan jika Eksa akan pergi keluar bukan sekedar cari angin.
Eksa menghela napas, dirinya kesal karena tidak pandai berbohong. Dan dengan curiga, Arga akan terus mendesaknya.
“Sekolahan” jawabnya pelan, Eksa memilih jujur.
“Sekolahan?!” sahut Arga dengan suara yang cukup keras, hingga Eksa dengan spontan bergerak maju dan membekap mulutnya.
“Jangan berisik!” bisik Eksa memperingati. Ia menoleh pada kamar Mahen yang kebetulan berada dekat dengan ruang tengah.
Setelah Arga mengangguk, Eksa baru melepaskan bekapannya.
“Mau ngapain Bang?” bisiknya kemudian.
“Ada sesuatu yang harus gue periksa” ucap Eksa seadanya.
“Gaslah Bang, Arga temenin. Ambil sepatu dulu ya—“
“Gak! Lo gak perlu ikut” sela Eksa menghentikan Arga yang bergerak bangkit. “Lo di asrama aja. Setelah gue keluar kunci lagi pintunya, nanti pas pulang gue telfon. Lo bantuin gue buka pintu ya?“
Arga berdiri tegak menghadap Eksa, tatapannya meragukan, “Yakin Bang? Gelap loh, mending Arga temenin. Masalah pintu gampang, Arga punya alternatif lain” ucap Arga sedikit merayu.
Eksa yang mendengar kata gelap kemudian merasa sedikit menciut, “Tapi—“
“Udah Bang tenang aja, aman kalau sama Arga, bentar!”
Kemudian Arga bergerak cepat naik ke kamarnya, meninggalkan Eksa yang kembali menghela napas.
Setelah beberapa saat Arga sudah siap dengan sepatu dan juga mengganti kaos hitamnya menjadi hoodie, Arga meringis dan menunjukkan kunci motornya.
“Pake motor Arga aja Bang, yok!” ucap Arga bersemangat. Pada dasarnya Arga memang remaja yang sangat aktif dan sangat menyukai tantangan, tidak heran jika dirinya memaksa ikut dalam misi ini.