Mengulik

7 1 0
                                    

Typo!



Senja membias semu dilangit barat. Meski sedikit redup, tapi rona kekuningan itu terlihat begitu cantik dengan awan-awan tipis yang menemaninya.

Jejak hujan masih jelas tertinggal, membuat dedaunan rimbun juga rumput pendek dihalaman rumah besar itu masih begitu basah. Siapa sangka hujan akan awet membasahi bumi sebelum berhenti beberapa jam yang lalu.

Atmosfer di ruangan dengan dominasi warna pastel itu sepi, hanya terdengar suara helaan nafas dan gesekan kuas warna pada kanvas.

Anan sesekali akan tersenyum atau mencebikkan bibirnya melihat hasil karyanya sendiri, merasa ada beberapa warna yang kurang cocok disana, membuat Anan meletakkan kuasnya dan menyandarkan punggung. Moodnya tidak terlalu bagus, tapi tangannya gatal ingin mencurahkan warna.

Kelopak matanya terpejam, merasakan rasa nyaman di kesendirian ini. Hanya saja, pintu kamarnya kini diketuk pelan membuat Anan membuka matanya dan menoleh ke arah pintu.

“Iya? Masuk aja-“ ucap Anan santai. Setelahnya pintu terdorong pelan, kepala Eksa menyembul dari sana.

Eksa tersenyum hingga memperlihatkan deretan giginya, “Gue mau ganggu bentar, boleh ya Nan?”

“Boleh, masuk dulu deh Bang” sambut Anan hangat hingga Eksa bergerak masuk dan berjalan mendekat, “Kebetulan banget, Anan mau nanya- ini, menurut Bang Eksa mana warna yang kurang cocok?” lanjutnya sambil menunjukkan lukisannya yang masih basah.

Eksa yang sudah duduk pun mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah goresan kuas itu. Meletakkan jarinya diatas bibir, Eksa pun berkata, “Udah bagus banget ini, tapi kalau warna gedungnya di gelapin dikit bakal tambah bagus, jadi ada kesan sendu” responnya serius.

Kanvas berukuran setengah meter persegi itu, mencetak pemandangan sebagian sisi gedung yang tengah dibasahi hujan dari balik jendela kaca. Dan bagi Eksa, goresan sederhana itu memiliki kesan hampa dan sendu. Anan benar-benar pelukis handal.

“Bener deh. Oke, nanti Anan benerin. Eh? Bang Eksa bilang mau ganggu, ada urusan apa Bang?” tanya Anan yang kini beranjak untuk duduk di samping Eksa.

“Gini, sebentar lagi sepupu gue ada yang ulang tahun, gue bingung mau kasih hadiah apa. Lo ‘kan punya kakak perempuan, jadi gue mau minta pendapat lo Nan” jawab Eksa sembari menggaruk pipinya yang tidak gatal.

Anan menarik bibir, bukan tersenyum. Hanya sebuah mimik sebelum menghela napas pelan. “Sebenernya sekarang kita udah gak terlalu deket dan Anan juga belom pernah kasih hadiah yang bagus” lirihnya dengan pandangan yang menunduk.

“Dari kecil kita emang akrab banget. Buat Anan, Kak Lea itu segalanya- temen main, temen cerita, tampat keluh kesah- tapi beberapa tahun terakhir ini hubungan kita gak baik. Bahkan sejak kuliah Kak Lea mutusin buat tinggal sendiri dengan alasan supaya lebih deket ke kampus, itu Cuma alasan. Anan tau Kak Lea ngehindar. Sekarang kita udah sama-sama gak dirumah, makanya kesempatan ketemu jarang. Terakhir, liburan semester lalu” tutur Anan panjang.

Rasa sedih tiba-tiba menyelinap dihatinya, hubungan harmonis keduanya seperti berhenti begitu saja membuat Anan selalu bertanya-tanya apa masalahnya. Hingga tak ada satupun jawaban dan itu membuat Anan kecewa.

“Anan, sorry- gue nggak tau soal itu” ucap Eksa merasa bersalah membuat Anan mengangkat wajahnya, menggeleng cepat dan terseyum.

Semua hal tentang kakak perempuannya adalah cerita panjang, Anan sudah seperti mesin otomatis yang langsung memutar cerita-cerita itu apabila sedikit saja tombol on miliknya ditekan. “Nggak apa-apa kali Bang, santai aja. Lagian udah lumayan lama, jadi Anan juga udah terbiasa”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KITA dan SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang