Pagi terbangun dengan awan kelabu yang merata, membuat semburat kekuningan yang biasa terhampar di langit timur tak terlihat untuk kali ini.
Peringatan cuaca pada ponsel memprediksi hujan akan turun dalam kurun waktu setengah jam. Udara pun berhembus dingin, menyelinap diantara tujuh anak laki-laki yang kini tengah duduk menyantap sarapan.
"Kita bolos aja kali ya Bang?" celetuk Arga dengan pandangan di arahkan keluar, mendung semakin gelap.
Anan yang berada di samping melirik julid, "Lo sebenernya niat sekolah gak sih Ga?" sinisnya tak tahan. Pasalnya Arga ini memang gemar memprovokasi mereka untuk bolos.
"Enggak, sebenernya gue sekolah itu terpaksa. Kalau bukan permintaan mama, males banget sekolah. Ngapain? Gue gak suka belajar" balas Arga santai seolah memang itu adalah kenyataannya.
Anan memutar bola matanya, "Ini nih Bang, pemikiran anak SMP-" ia menatap Mahen yang juga melirik padanya. Kemudian melanjutkan, "Emang harusnya masih SMP, lo itu sekolahnya kecepetan"
Atensi Arga tertarik penuh, tubuhnya pun menghadap Anan, "SMP? Ga liat gue sekarang pake seragam apa? Orang syirik emang gini Bang-" ucap Arga sambil menyapukan pandangannya ke tiga anggota yang lebih tua di hadapannya.
"Bilang aja iri karena gue paling tinggi disini, ngaku lo Bang" Arga memajukan dagunya ke arah Anan yang kembali memberinya tatapan julid.
Dan kalimatnya itu berhasil mengundang seluruh atensi mereka, terutama Danu dan Eksa. Duo itu merasa hatinya tercubit, tak masalah jika yang mengatakannya adalah Mahen atau Raja. Tapi ini Arga, manusia menyebalkan yang lebih muda tiga tahun dari mereka? Itu tidak bisa diterima begitu saja.
"Lo kalau sehari aja gak bahas tinggi badan kenapa sih Ga? Demam?" Danu berucap datar.
"Belom aja gue lakban mulut lo" Eksa menimpali.
Arga yang merasakan tekanan dari mereka pun menyatukan tangan dan menunduk, "Maaf Bang kalau tersinggung, gak sengaja" ucapnya sedikit mengejek.
"Sialan lo! Gue-" Eksa memukul meja pelan, tersulut juga emosinya karena tiba-tiba juga mengingat rasa kesal tadi malam yang belum sepenuhnya hilang. Eksa pun beranjak untuk berdiri, tapi suara santai Mahen menghentikannya.
"Udah, sarapan yang bener. Lo juga Ga, jangan mancing kerusuhan pas makan gini, jaga sikap. Gak malu sama gelas susu lo itu?" ucap Mahen dengan pandangan jatuh pada gelas susu milik Arga yang ukurannya lebih besar dari ke enam anggota lainnya.
Arga meringis dan mengangguk paham, kemudian beralih menyesap susunya sambil diam-diam melirik pada Eksa yang masih nampak kesal, bibirnya pun tersenyum sedikit dibalik gelas.
"Eh? Itu pelipis Bang Eksa kenapa? Kok luka?" Bian yang sedari tadi memperhatikan Eksa pun akhirnya bertanya karena penasaran.
Raja yang duduk di sampingnya sontak bergerak cepat dan menyibak rambut Eksa yang sedikit panjang. Benar saja, segaris luka dengan memar merah menghiasi pelipis itu.
Eksa pun segera memundurkan kepalanya, menjauh dari jemari panjang Raja yang masih menyentuh rambutnya.
"Lo kenapa?" tanya Raja datar dengan alis tebalnya yang mengerut. Tangannya pun ditarik kembali dan beralih meminum air putih.
Luka kecil itu berada di pelipis kirinya, dan Eksa sengaja menata rambutnya yang sedikit panjang demikian untuk menutupi. Tapi siapa sangka Bian begitu memperhatikannya.
Eksa pun menjadi pusat perhatian, teman-temannya itu menatap lamat meminta jawaban membuat Eksa merasa gugup karena akan berbohong.
"Em— semalem gu-gue jatoh dari tempat tidur, terus kepentok pinggiran meja belajar" Eksa menjawab sekenanya.