3. Peterson's

7 1 0
                                    

Akhirnya aku mendapatkan kursi kosong walaupun banyak orang yang masih makan sendirian di mejanya aku memutuskan untuk tidak bergabung dengannya, entah mengapa. Aku memakan makanan ku yang sudah kubuat dari rumah dan memperhatikan orang orang sekitar. Dan aku melihat segrup cowok pemain baseball populer disekolah, aku berpikir "orang orang seperti inilah orang yang paling sok sok an di sekolah menyebalkan" aku sudah dari dulu benci dengan orang yang populer, mereka jahat, walaupun tidak semuanya seperti itu tapi pikiran itu sudah melekat di kepalaku. Brak! Seseorang menabrak salah satu anak populer itu, seperti biasa ia memarahi yang menabrak ia karena ia telah mengotori baju baju. Aku melihat mereka dari jauh dengan muka datar. Saat anak populer itu pergi untuk membersihkan baju nya dengan ekspresi menyebalkan, ada satu anak populer yang sekelas denganku membantukan bersihkan makanan yang berserakan di lantai. Aku kaget, ternyata masih ada orang baik disini.

Esok harinya aku memasuki ruangan kelas fotografi dan melihat dia anak populer yang baik. Aku tidak sadar kalau dia sekelas dengan ku. Dia bernama Ethan Peterson, ia adalah salah satu anak yang paling populer disekolah. Dia sangat tampan, baik dan senyum nya yang sangat manis. Tidak kaget mengapa perempuan-perempuan di sekolah sangat tertarik dengan Ethan. Jarang jarang loh seorang seperti dia memilih kelas fotografi, biasanya orang seperti dia kan tidak tertarik dengan sesuatu yang bersifat seni. Alasan aku memasuki kelas ini aku memang suka mengabadikan momen, itu yang paling penting karena siapa tau kita akan merasakan momen itu lagi. Aku sangat penasaran apa alasan dia memasuki kelas ini.

Di tengah pelajaran Matematika, suasana rutin mengalir saat aku melamun menatap keluar jendela. Mendadak, seorang teman di depanku menoleh ke arahku dan bertanya, "Maaf, bisakah kamu membantuku dengan soal ini?" Kejutan menyelinap begitu aku menyadari bahwa dia adalah Ethan Peterson. "Jangan panik, kamu pasti bisa membantunya, kan? Kamu mahir dalam mata pelajaran ini, jadi jangan ragu," gumam pikiranku. Dia memang menakjubkan! Aku sungguh berharap bisa menjadi temannya.

"Boleh banget, soal mana yang perlu aku bantu?" Tanyaku padanya. Setelah selesai memberikan penjelasan, dia menyampaikan terima kasih. Rasanya begitu memuaskan bisa membantunya, namun kemudian dia seolah-olah mengabaikan keberadaanku tanpa kesan. Sungguh, hal itu cukup mengecewakan.

Esok harinya, ketika bel masuk berdenting, aku memandang sekeliling kelas dengan harapan untuk melihat Ethan di antara kerumunan murid yang bergerak menuju kelas. Namun, ketika aku mencari-cari wajahnya, dia tampak sibuk tertawa-tawa dengan teman-temannya yang lain, tanpa sepatah kata pun kepada saya.

Selama beberapa hari berikutnya, aku terus mencoba mendekatinya. Setiap kali aku mencoba memulai percakapan atau sekadar memberikan senyuman ramah, dia tampak sibuk dengan hal-hal lain, seperti berbicara dengan teman-temannya yang lain. Meskipun aku merasa seakan diabaikan, aku tidak ingin membiarkan perasaan negatif menguasai diriku. Sebaliknya, aku memilih untuk tetap menjaga sikap positif dan berusaha tetap ramah, meskipun terus merasa di luar lingkaran Ethan.

Perasaanku berkecamuk antara keinginan untuk terus mengejar dan rasa putus asa akan ketidakpedulian yang terus menerus. Pada suatu titik, aku bahkan merenungkan apakah aku yang salah atau kurang menarik dalam pandangannya. Apa yang kupikirkan aku hanya seorang penyendiri. Tapi aku tak mau menyerah gitu saja, aku harus tetap berusaha.

Suatu hari, ketika kelas fotografi sedang berlangsung, aku mendapatkan kesempatan untuk bekerja sama dengan Ethan dalam proyek kelompok. Meskipun awalnya aku ragu-ragu, aku memutuskan untuk mengambil langkah maju dan mendekati Ethan dengan baik.

"Hey, Ethan, apa kabar? Aku berpikir, mungkin kita bisa bekerja sama untuk proyek kelompok ini. Kita bisa saling membantu dan mungkin kita bisa belajar banyak satu sama lain," kataku dengan nada ramah.

Ethan menatapku sebentar sebelum akhirnya tersenyum,

"Ya, tentu saja! Aku pikir itu ide yang bagus. Ayo kita bahas lebih lanjut setelah kelas selesai."

Aku merasa lega dan bahagia bahwa Ethan akhirnya bersedia bekerja sama denganku. Selama sesi kerja kelompok kami, Ethan dan aku mulai mengenal satu sama lain lebih baik. Kami berbagi minat dalam fotografi dan menemukan bahwa kami memiliki banyak kesamaan dalam hal hobi dan minat.

"Wait, Kau menyukai Chappell Roan?!" Aku terkejut saat aku bertanya musik favoritnya.

Itu kan musik yang sangat jarang, jarang banget orang seperti dia dengar.

"Iya kenapa kau sangat terkejut dengan itu" dia bilang

"PAKAI NANYA! Dia itu artis favoritku! Aku sangat musik dia yang sangat danceable dan campy" ucapanmu penuh antusiasme.

Selama proses bekerja sama dalam proyek kelompok kami, Ethan dan aku tidak hanya berbagi minat dalam fotografi, tetapi juga menemukan bahwa kami memiliki banyak kesamaan dalam hal hobi dan minat lainnya. Kami berdua suka menggambar, menonton film independen, dan menghabiskan waktu di alam terbuka. Ini adalah momen-momen di mana kami mulai membangun hubungan yang lebih dalam dan saling menghargai satu sama lain.

Setelah sesi kerja kelompok selesai, kami bahkan memutuskan untuk bertukar nomor telepon dan mengatur waktu untuk bertemu di luar sekolah. Kita berteman seolah olah sudah mengenalnya dari lama.

"Apakah kau mau bertukar nomor hp?" tanyanya.

"Tentu saja," jawabku dengan ekspresi yang tenang, tetapi sebenarnya, dalam hatiku, aku hampir tidak bisa menahan kegembiraan yang memuncak. Aku merasa seperti ingin meledak dari kebahagiaan, tapi aku berusaha untuk tetap tenang di luar.

Kami berencana untuk pergi ke pameran seni lokal bersama-sama dan bahkan merencanakan untuk membuat proyek fotografi bersama di akhir pekan.

Kami sangat menikmati waktu bersama saat mengunjungi pameran seni, mengulas karya-karya seni yang dipamerkan, dan berbagi pandangan kami tentang kreativitas. Melalui proses ini, kami semakin mengenal satu sama lain dan memperdalam ikatan pertemanan kami.

Pada akhir pekan, Ethan dan aku benar-benar terlibat dalam proyek fotografi kami. Kami memilih lokasi yang indah di luar kota dan menghabiskan sepanjang hari untuk menangkap momen-momen yang luar biasa dengan kamera kami. Saat kami berjalan-jalan dan mengambil foto-foto, kami tertawa, bercanda, dan berbagi cerita tentang kehidupan kami.

PtolemaeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang