4. Undangan

10 1 0
                                    

Langit senja berwarna jingga saat aku melangkah masuk ke rumah. Ada aroma masakan yang sedap menyambutku begitu aku masuk ke dapur. Ibu sedang sibuk mempersiapkan makan malam, dan wajahnya berseri-seri ketika melihatku pulang.

"Hai, sayang. Bagaimana harimu?" tanya ibu sambil tersenyum lembut.

"Hai, ma. Hariku sangat menyenangkan."

"Oh ya, ngapain aja emangnya"

"Banyak lah"

Ibu mengangguk, wajahnya penuh dengan kebanggaan.

"Kamu sudah dapat teman dekat nih ceritain lagi dong"

"Kita belum terlalu dekat sih tapi kita mempunyai kesamaan yang banyak-"

Kami pun duduk bersama di meja makan, aku menceritakan tentang Ethan ke ibu selagi menikmati hidangan yang lezat yang disiapkan ibu. Udara hangat dan nyaman memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang menyenangkan.

Setelah makan malam selesai, aku menarik napas lega saat aku merebahkan diri di sofa favoritku di ruang keluarga. Rasanya begitu menyenangkan bisa bersantai setelah seharian penuh aktivitas.

Beberapa minggu kemudian. Aku pergi ke sekolah menggunakan sepeda ku. Mentari pagi yang cerah menyinari perjalananku, dan aku merasa energik untuk menghadapi hari yang baru. Berharap hari ini adalah hari yang menyenangkan dan semua berjalan dengan baik.

Namun, ketika aku memikirkan jadwal pelajaran, aku merasa kecewa. Jam pelajaran pertama adalah olahraga, sebuah pelajaran yang selalu membuatku merasa tidak nyaman. Aku bukanlah tipe orang yang pandai dalam olahraga, dan sering kali merasa kerepotan di lapangan.

Setelah memasuki lapangan olahraga, suasana hatiku mulai memburuk saat coach olahraga memberikan instruksi kepada kami. "Baiklah, anak-anak, hari ini kita akan bermain permainan tim. Aku ingin kalian memilih tim kalian masing-masing. Mari mulai dengan memilih kapten tim."

Semua mata tertuju padaku karena aku tahu pasti akan menjadi pilihan terakhir. Aku mencoba tersenyum lemah, berharap bisa menyembunyikan kecemasan yang kurasakan di dalam hati. Saat teman-teman sekelasku mulai memilih kapten tim, aku merasa semakin tegang.

Namun, seperti yang kuduga, ketika giliranku tiba, hanya ada sedikit suara yang terdengar. Aku berdiri di sana, merasa hampa, berpura pura untuk terlihat masa bodoh. Ketika akhirnya salah satu teman sekelas dengan ragu mengangkat tangannya. "Baiklah, aku akan memilih Jordan," ujarnya dengan nada rendah. Aku mencoba tersenyum terima kasih kepadanya, meskipun aku tahu bahwa aku hanya dipilih karena tidak ada pilihan lain. Hatiku terasa berat, tetapi aku berusaha untuk tetap tenang. Aku tahu aku harus menghadapi tantangan ini dengan kepala tegak.

Kami mulai bermain, tetapi aku merasa seperti aku tidak sepenuhnya termasuk dalam tim. Aku sering kali ditinggalkan di belakang, dan bola jarang sekali melewati daerahku. Rasanya seperti aku hanya menjadi beban bagi tim. Meskipun demikian, aku mencoba untuk tetap berusaha. Aku tidak ingin menunjukkan kekecewaanku atau membuat situasi menjadi lebih buruk. Aku hanya berharap bahwa suatu hari nanti, aku akan memiliki kesempatan untuk membuktikan diriku dan menjadi bagian dari tim yang sesungguhnya. Apa yang Ethan lakukan jika ia bersama ku disini.

"Hey, Jordie" sapanya saat aku tengah mengambil baju di loker.

Aku melirik ke arahnya dan menjawab dengan suara yang rendah, "Yea hai..."

Kemudian, Ethan menangkap ekspresi wajahku yang kurang bersemangat.

"Kenapa kau? Kau terlihat sedih," tanyanya dengan penuh perhatian.

Aku menghela napas ringan sebelum menjawab,

"Ya, aku hanya capek saat olahraga. Tidak ingin membicarakannya sekarang."

Ethan mengangguk memahami, lalu mengarahkan pandangannya padaku dengan simpati.

"Oke, kalau begitu. Tapi jika kapan-kapan kau ingin berbicara tentang itu, aku di sini, ya. Temanmu selalu siap mendengarkan."

Aku tersenyum menghargai tawarannya.

"Terima kasih, Ethan. Aku akan ingat itu."

"Yo Ethan, Ayo tandingan akan dimulai" suara panggilan teman-teman Jordan memanggilnya

"Ya aku datang!" Ethan jawab.

Saat itu, ketika Ethan hampir hendak pergi dengan teman-temannya, tiba-tiba ia berbalik ke arahku.

"Eh, Jordan," panggilnya, membuatku menoleh padanya dengan heran.

"Aku akan mengadakan pesta di rumahku besok malam. Kamu ingin datang?" tawarnya dengan senyuman ramah. Setelah Ethan mengundangku untuk datang ke pesta di rumahnya, aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya lebih lanjut.

"Siapa saja yang akan datang?" tanyaku dengan rasa ingin tahu.

Ethan menggaruk kepalanya sebentar sebelum menjawab,

"Nanti akan ada sekelompok temanku yang akan datang. Kau tahu, teman-teman yang sering kubicarakan sebelumnya."

Aku merenung sejenak, merasa sedikit ragu. Teman-teman Ethan yang sering disebutnya sebelumnya adalah orang-orang populer di sekolah. Aku tidak terlalu akrab dengan mereka aku bahkan tidak menyukainya, dan pikiran itu membuatku agak ragu untuk datang.

"Aku akan memikirkannya, Ethan. Terima kasih atas undangannya," jawabku, mencoba menyembunyikan keraguan yang kurasakan.

Ethan mengangguk pengertian. "Tentu, tidak masalah. Aku harap kau bisa datang, tapi aku mengerti jika kamu memiliki pertimbangan."

Aku tersenyum padanya, tetapi di dalam hatiku masih terdapat kebingungan. Sementara itu, pikiranku dipenuhi dengan pertanyaan tentang bagaimana caranya untuk merasa nyaman di antara teman-teman Ethan yang populer.

Sampai di rumah dan langsung beristirahat di kasur, membiarkan pikiranku melayang-layang. Aku menatap langit-langit kamarku, merenungkan apakah sebaiknya aku ikut dalam pesta itu atau tidak.

Pikiranku tidak berhenti berputar putar . Di satu sisi, aku merasa tertarik untuk menghadiri pesta tersebut. Ini bisa menjadi kesempatan bagiku untuk lebih dekat dengan Ethan dan mungkin juga dengan teman-temannya yang populer. Tapi di sisi lain, aku merasa cemas dan tidak nyaman dengan ide tersebut. Aku tidak terlalu akrab dengan lingkungan mereka, dan aku khawatir akan menjadi canggung atau tidak bisa menyesuaikan diri.

Selain pertimbangan-pertimbangan lain, ada satu lagi pikiran yang mengganggu: jika aku ikut, ada kemungkinan Ethan akan sibuk dengan teman-temannya dan melupakan keberadaanku. Aku khawatir akan terdiam sendirian di pojokan, terlihat seperti orang aneh yang tidak memiliki siapa-siapa di pesta itu. Pikiran itu membuatku merasa tidak nyaman, bahkan saat aku memikirkannya menjelang pesta yang akan diadakan besok malam.

Tapi aku tahu, hidup terkadang membutuhkan kita untuk mengambil risiko. Aku tidak bisa terus-terusan berada dalam zona nyamanku. Mungkin, jika aku tidak mencoba, aku tidak akan pernah tahu apa yang bisa terjadi. Dengan pikiran itu, aku berusaha menenangkan diri, siap untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi di pesta besok malam.

Esok sore, tepat sebelum matahari terbenam, pesan masuk dari Ethan di ponselku.

"Hey, apakah kau akan ikut?" bunyi pesannya.

Aku menatap layar ponsel sejenak, berpikir keras. Ini saatnya untuk mengambil keputusan. Sementara hatiku berdebar, aku mulai membalas pesannya.

"Yup, aku jadi ikut haha " aku balas

"Akhirnya, keputusan yang bagus Jordie, kita akan bersenang senang sepanjang malam"

"Yayy, omong omong alamat rumah kamu dimana ya?"

"Jangan khawatir, Jordan. Ada yang akan menjemputmu sekarang. Segeralah bersiap-siap," jawab Ethan.

Aku sedikit terkejut dengan responnya. Siapa yang akan menjemputku? Aku pun bergegas menyiapkan diri. Tak lama kemudian, terdengar suara mobil di depan rumahku. Ketika aku melangkah keluar, aku disambut oleh seorang supir yang sudah menunggu di depan mobil limosin mewah.

"Apa apaan ini?!" gumam ku heran, menatap mobil mewah tersebut. Apakah ini mobil yang dimaksud Ethan untuk menjemputku? Rasanya aneh dan tidak biasa bagiku, aku tidak menyangka bahwa Ethan sekaya ini.

PtolemaeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang