2. Sendiri

17 1 0
                                    

Semakin rendah posisi matahari, semakin ramai pengunjung yang berdatangan. Meja-kursi hampir penuh. Seperti biasanya, didominasi oleh para pelajar dan mahasiswa dengan segudang tugas sekolah dan kuliah mereka. Mata-mata itu tampak serius menatap layar laptop, sesekali muncul kerutan di kening, alis mengernyit, jemari yang sibuk menggaruk kepala, gerakan tangan yang gelisah, kaki mengetuk-ngetuk lantai, gelas kopi yang terasa jauh lebih menarik. Sungguh terlalu jelas mereka menunjukkan kekusutan itu. Namun tentu saja tidak semua penghuni kafe ini berada dalam gelembung neraka itu. Tidak sedikit pula yang tidak terlalu mengambil pusing urusan duniawi semacam itu, hanya ingin menikmati secangkir kopi dengan damai atau berbincang-bincang santai.

Pelanggan terakhir dari rentetan pelanggan yang berdatangan satu jam terakhir, akhirnya selesai saya layani. Ben dari balik mesin espresso terdengar melenguh panjang.

"Kalimat 'kok sepi' emang keramat, nyesel gue ngomong gitu tadi. Mendadak jadi rame gini, gue berasa habis dikeroyok warga." Dia melempar serbet ke meja lalu menoleh ke saya. "Makan dulu kali ya kita?"

Saya pura-pura tidak mendengar.

"Nggak usah sok budek gitu deh, basi."

Saya menghela napas. "Saya belum laper."

"Belum laper bukan berarti nggak butuh makan kan, My Bro?" Dia menyeluk kantung celananya, mengeluarkan ponsel. "Lo mau makan apa? Gue pesenin, kita pake ojol ajalah biar nggak ribet."

Alih-alih menjawab pertanyaannya, saya memilih menghampiri tempat sampah di bawah meja yang sudah tampak sesak. Sudah waktunya dikosongkan. Saya pun melepaskan plastik hitam yang membungkus tempat sampah, mengikatnya erat sebelum kemudian menuju pintu keluar.

"Woy, ini gue harus pesen apaan? Malah kabur." Ben yang baru menyadari kepergian saya, sayup-sayup berseru dari dalam. Saya masa bodoh, tetap melanjutkan langkah menuju sisi jalan, mendekati tong sampah besar yang terletak tepat di pojok kiri pelataran kafe.

Seharusnya urusan membuang sampah jadi hal yang mudah dan singkat. Namun tidak ketika mata saya tidak sengaja terarah ke teras lantai dua. Sesuai dugaan saya, gadis bercelana kodok itu akan menempati meja yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Saya bisa melihat raut serius serta tangannya yang tampak sibuk mengerjakan sesuatu yang entah apa. Beberapa helai rambut cokelat gelapnya yang hanya mampu menyentuh bahu itu tampak berkibar-kibar terhantam angin. Tapi dia bahkan tidak terlalu peduli.

Dengan cepat saya menarik pandangan ketika tiba-tiba saja dia bangkit dari kursinya. Kresek berisi sampah yang sedari tadi masih menggantung di tangan, segera saya cemplungkan ke tong sampah. Entah kenapa saya merasa seperti maling yang nyaris tertangkap warga. Urusan membuang sampah tuntas, saya pun hendak kembali ke dalam. Namun sebelum tangan saya berhasil meraih gagang pintu, pintu lebih dulu terdorong dari dalam, membuat saya otomatis bergeser untuk memberi ruang siapa pun yang akan keluar.

"Terima kasih, jangan lupa mamp ...."

Terdengar Ben tidak menuntaskan kalimat ramah-tamahnya ketika gadis bercelana kodok itu, seperti biasa, menyelonong ke luar dengan langkah-langkah cepat tanpa berniat memerhatikan apa pun yang ada di sekitarnya. Bahkan saya sangsi dia akan menyadari keberadaan saya yang lima detik lalu baru saja dia lewati. Sesaat saya menatap punggungnya yang kian menjauh kemudian menghilang ketika dia berbelok di trotoar.

Saya dengan cepat melupakan perangai pelanggan kami yang satu itu, memutuskan masuk yang segera saja disambut oleh muka masam Ben.

"Kalau ini kafe punya gue, itu cewek bakal gue blacklist seumur hidup!"

~

Pukul sebelas malam, jadwal shift saya di kafe akhirnya selesai.

Nona dan Tuan KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang