3. Tawanan Hujan Sore-Sore

35 2 0
                                    

Hari-hari setelah pemakaman tidak juga ada yang mengesankan. Waktu hanya seperti bola ping-pong yang terus berpindah cepat dari sisi kanan ke kiri atau sebaliknya. Senin ke Selasa, kemudian Rabu, tiba-tiba Jumat, lalu sekarang sudah Sabtu. Dan hujan pertama di awal November akhirnya jatuh. Deras dan berangin. Guntur meraung beberapa kali, menambah kengerian.

"Bro, lo sadar nggak sih akhir-akhir ini banyak banget makanan kucing berserakan di trotoar?"

Saya mengikuti pandangan Ben yang terarah pada makanan kucing beralaskan daun di dekat tong sampah di pojok pelataran kedai—telah berubah menjadi bubur berkat hujan.

"Ini gue ketinggalan tren apa lagi nih," dia buru-buru merogoh ponsel dari kantung celana jeans sobek-sobeknya, jempolnya mulai sibuk. "Emangnya lagi ada kampanye buat ngasih sedekah ke kucing jalanan ya?" racaunya.

Entah apa pentingnya makanan kucing bagi kelangsungan hidup manusia, tapi saya mengakui apa yang dikatakan Ben ada benarnya. Saya pun memang merasa ada semakin banyak kucing liar yang bermunculan di daerah ini, terkadang saya temukan berkerumun di pojok-pojok trotoar, di dekat-dekat tong sampah, di bawah pohon-pohon. Kalau bukan karena ada makanan untuk mereka di sana, ya buat apa?

Tapi saya tidak akan sampai repot mencari tahu atau ambil pusing selama saya tidak terlibat kontak fisik dengan makhluk-makhluk berbulu itu. Maksud saya, hidup masing-masing saja.

Merasa hujan tak juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, saya memutuskan mengeluarkan jas hujan plastik dari ransel, mengenakannya kemudian beranjak menaiki sepeda.

"Eh, mau ke mana lo?" Menyadari saya telah lenyap dari sebelahnya, Ben akhirnya meninggalkan layar ponselnya.

"Pulang."

"Lah, masih hujan gini,"

"Wujudnya masih air."

"Si anying!"

Entah apa lagi yang laki-laki itu katakan, saya telah melesat meninggalkan pelataran kedai, menerobos hujan yang bulirnya mungkin sebesar kacang polong—menimbulkan sedikit rasa sakit di tubuh ketika terkena.

Hari-hari setelah kepergian Bang Ragi dan Bapak, tidak ada yang mengesankan. Saya pikir akan seterusnya begitu. Tidak sampai saya menemukan seorang gadis berjongkok di hadapan tong sampah besar tepat di depan tembok pagar rumah. Tidak ada mantel atau payung, tubuhnya yang membelakangi jalan itu dibiarkan basah kuyup seolah hujan sederas ini tak ada artinya. Hari ini saya kembali mendapat shift dini hari di minimarket, karena itu saya putuskan pulang setelah kerjaan di kedai beres.

Saya selalu percaya setiap orang di muka bumi ini punya urusan masing-masing dan setiap orang yang memilih untuk tidak ikut campur dengan urusan orang lain tidak perlu mendapatkan label "orang apatis" atau "orang tidak berperasaan" atau sejenisnya, karena mereka pun punya hak untuk memilih sikap. Berpegang pada itu, saya menaikkan sepeda ke trotoar, mendorong pintu pagar. Namun mungkin darah Bapak mengalir terlalu banyak di dalam tubuh saya sehingga kaki saya malah menancapkan diri alih-alih melenggang memasuki halaman rumah. Saya kembali melempar pandangan ke arah gadis kuyup itu. Bertanya-tanya, apa yang sebenarnya dia lakukan di sana. Dari penampilannya, dia tidak mungkin gelandangan atau pengemis.

Lalu saya melirik jas hujan yang membungkus tubuh. Kalau dari atas langit yang muram ini Bapak melihat saya hanya diam saja di situasi ini, mungkin saya akan berakhir berlari mengelilingi lapangan sepak bola besok pagi-pagi buta.

Akhirnya saya menurunkan standar sepeda, melepaskan jas hujan, menghampiri si gadis kuyup.

"Permisi," ucap saya di antara deras hujan, entah dia dapat mendengarnya atau tidak. Tapi sepertinya... tidak. "Permisi!" Saya bersuara sekali lagi dengan volume yang lebih besar. Dia tidak juga menoleh. Saya mendesah, mulai menyesali keputusan ini. Seharusnya sekarang saya telah menikmati guyuran air hangat dan bukannya hantaman air hujan segede kacang polong begini.

Satu Titik Dua KomaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang