Di hadapan Shinbi yang lahap memakan makan siangnya, Yerin hanya bisa menatap makanan miliknya. Entah kenapa dia tiba-tiba tak selera makan.
"Kenapa nggak makan? Sekarang lo pilih-pilih makanan?" tanya Shinbi, sambil memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya tanpa sekalipun menatap Yerin di depannya.
Yerin menggeleng pelan meski tahu Shinbi tak akan melihat. "... Gue gak nafsu makan," di akhir kalimatnya dia menghela.
Baru setelah mendengar helaan panjang itu, Shinbi berhenti makan dan menatap Yerin, "Udah ngilang selama seminggu, gak ada kabar selama dua minggu, telepon gue gak diangkat sama sekali, pesan-pesan gue gak ada yang lo baca. Dan sekarang gue juga yang harus bikin first move. Tapi, lo malah bilang gak selera pas makan bareng gue."
Yerin gelagapan, dia membuat Shinbi bicara lebih dari lima suku kata. Luar biasa dan parah sekali. Dia mungkin tidak akan sanggup menghadapi Shinbi yang pemarah ini daripada Shinbi yang pendiam.
"Eng-enggak! Bukannya gak selera pas makan sama lo. Gue cuma ... gak ngerasa laper aja." Di akhir kalimatnya, Yerin berkata lemah dan menunduk lesu.
Shinbi yang melihat tingkah aneh sahabatanya itu pun hampir saja hilang kendali untuk tak bertanya apapun pada Yerin. Sejak awal dia melihat Yerin di gerbang masuk, Shinbi menahan diri untuk tidak menyapa dulu. Dan ketika melihat gadis itu di lorong, Shinbi tidak bisa lagi melihat Yerin sendirian. Gadis itu terlihat kerepotan, bingung, dan sedih. Persis seperti seorang anak yang baru saja ditinggal oleh ibunya.
Seperti saat di lorong, Shinbi sangat ingin tahu bagaimana kondisi Yerin dengan mengajaknya bicara dulu. Dia ingin Yerin cerita tentang apa yang terjadi di rumahnya. Apakah seburuk itu hingga Yerin harus menghilang dari pandangannya selama seminggu, lalu terkurung selama seminggu lagi?
Shinbi bingung sendiri. Sekarang dia harus menjambak rambutnya sendiri dan mengusap wajahnya. "Maaf," kata Shinbi tiba-tiba. Yerin mendongak, memasang wajah penuh pertanyaan atas ucapan tiba-tiba sahabatnya itu, "maaf karena gue gak terlalu perhatian sama lo."
Atas pernyataan manis yang baru saja Shinbi katakan, wajah yang suram itu perlahan tersenyum lembut, ketenangan dan rasa dingin perlahan menjalar pada benak Yerin.
Dia menggenggam tangan Shinbi yang tergeletak di atas meja, lalu menggeleng, "Gak perlu minta maaf. Dari sekian banyak teman gue, cuman lo yang selalu perhatian dan tahu apa yang gue butuhin, bahkan sebelum gue minta."
"Tapi, gue sama sekali gak tahu, bahkan gak nyangka kalau Cha Eunwoo ngelakuin itu ke lo. Lo paham perasaan gue ke Eunwoo, tapi gue gak paham perasaan lo, Yer. Lo pasti merasa kesulitan selama ini, lo sendirian ngadepin ini semua. Gue ... gue ...."
Melihat Shinbi perlahan mengeluarkan air matanya, Yerin segera menempatkan tangannya pada bahu Shinbi dan mengelusnya. "Udah, Mbih ... Kenapa jadi lo yang cengeng? Kita tukeran peran, ya? Udah, ish! Semuanya juga udah selesai. Eunwoo ketangkap karena kelakuannya. Keluarganya juga kena imbas. Itu udah cukup buat bikin dia jera."
Shinbi semakin menunduk dan menutup kedua matanya. Untungnya mereka makan siang di gazebo belakang sekolah yang sepi, bahkan tempat mereka duduk tampak berkarat dan ditumbuhi ilalang, jadi tidak ada yang melihat si Dingin Shinbi menangisi fakta bahwa dia adalah sahabat yang payah. "Gue seharusnya dengerin perkataan lo soal Eunwoo yang gak sebaik itu ..."
Yerin sudah tidak asing dengan menangisnya Shinbi. Gadis itu selalu menangisi hal yang membuatnya sangat-sangat menyesal. Dan Yerin bersyukur apabila Shinbi menyesali ketidakacuhannya pada nasihat Yerin tentang Cha Eunwoo. Setidaknya Yerin merasa dianggap.
Namun dalam benaknya yang terdalam, Yerin merasa hina. Seharusnya dia yang meminta maaf pada Shinbi.
"Shinbi, selama ini gue ...." Ucapan tiba-tiba itu segera Yerin hentikan ketika Shinbi sudah kembali menatapnya. Merasa sehina apapun, Yerin merasa harus tetap menjaga hubungannya dengan Shinbi. Setelah Chanyeol, dia tidak mau kehilangan Hwang Shinbi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth & Lies: War in Life (Ongoing)
Non-Fiction❝Dunia memang kejam, tapi aku percaya pada takdirku.❞ ❝Kalau kita hanya sebatas teman, lebih baik kita saling menjauh.❞ ❝Aku hanya takut kehilangan orang yang kusayang. Apa itu sebuah dosa besar?❞ ❝Menyesakkan rasanya, saat tahu bahwa orang terdekat...