20 • Janji dan Aku Iblis

3.1K 471 125
                                    

Dilarang keras untuk melakukan plagiasi pada cerita ini. ⚠️

> OED <
> 20 • Janji dan Aku Iblis <
2k words

Tubuh kecil itu terlihat gemetaran takut kala ia sendirian berada di hamparan luasnya salju, suara cabikan terdengar seakan terus mengejarnya, coba gapai dirinya yang berlarian seorang diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tubuh kecil itu terlihat gemetaran takut kala ia sendirian berada di hamparan luasnya salju, suara cabikan terdengar seakan terus mengejarnya, coba gapai dirinya yang berlarian seorang diri.

"Hentikan ini," takutnya dengan suara purau.

Sampai terasa wajahnya diciprat anyir buat ia menegang sesaat sebelum ia berteriak kencang.

Nafasnya terengah, rakus mengais udara. Peluh dingin membanjiri pelipisnya. Kara remat kain yang sebelumnya menyelimuti dirinya.

Dia kembali ke kastil Daimon.

"Reo!?" Pekik Kara lantang memenuhi seisi kastil. Ia pun tergesa beranjak dari sana.

Hidungnya menyeruak perih, air mata pun mengumpul lagi. Isakan keluar darinya seraya beranjak dari kamar yang ia tempati tadi. Memanggil nama 'Reo' berulang kali, ia harap kejadian darah kemarin hanya bunga tidurnya.

Kakinya yang tak beralas melangkah kesana-kemari tak tentu arah berusaha gapai pintu keluar. Sudah lama ia berdiam di sana, namun Kara sama sekali tak ingat seluk beluk denah kastil iblis itu.

Asanya yang ingin temui pintu kebebasan justru temukan beluk lainnya yang sebelumnya tak pernah ia jamah tempatnya.

Ia lihat sosok familiar yang sangat ia ketahui siapa gerangan itu yang tengah memandang kebun bunga yang seperti lautan anyir.

"Daimon," sebut si empu bibir kecil seraya ia mendekat. Sebutan nama tadi pun buat empunya melirik tanpa menoleh.

Kepalan tangan Kara mengerat kencang, layangkan pukulannya sekuat tenaga pada punggung tegap milik iblis yang sedang berdiam diri itu.

"Aku bermimpi atau kau sungguh membunuh seseorang terdekatku, Daimon?" Getirnya berusaha tahan isaknya buat suaranya gemetar.

Daimon tak bergeming, matanya masih memandang kumpulan bunga merah menyala di depannya tanpa riak.

"Sungguhan. Kau kan ada disana." Jawabnya kemudian dengan nyata adanya.

Pernyataan barusan pun buat isakan Kara lolos, sekuat apapun ia tahan tangisannya, pada akhirnya ia terduduk dan menangis keras.

Tak mungkin atensi Daimon tak teralihkan pada pria kecil itu. Dirinya pun ikut merendahkan tingginya dengan berjongkok agar tinggi mereka tak terpaut jauh.

"Bodoh sekali."

"Kau terlalu naif."

Cercah iblis itu bertubi menyinggung Kara. Tangannya terulur untuk hapus jejak air mata bak air sungai itu, "Berhenti menangisi orang yang inginkan kematianmu itu."

Odd El DestíTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang