Clover itu maknanya keberuntungan, bukan?
Aku berjongkok di antara keramaian, menyamarkan diri. Lututku berdarah, tanganku terkilir, tetapi bukan itu yang membuatku sesenggukan.
Tidak ada kata beruntung di kamusku. Sejak kecil, aku selalu dibayang-bayangi kegagalan. Patah hati adalah kawan. Namun, kali ini, bukan sekadar patah.
Hatiku remuk redam.
Senyum lelaki itu membayang, tetapi hanya sakit yang kurasa. Mikael namanya, kupanggil Kael. Teman cerita, bertukar kegelisahan, membasuh kesedihan, kekasih. Semua dimulai dari pertanyaan itu.
"Clover itu maknanya keberuntungan, bukan?"
Aku, yang sedang berjaga di counter kafe, mengerjap bingung sebelum menyadari bahwa ia membaca nametag-ku. Aku tersenyum rikuh. "Kurang lebih."
"Kalau begitu, apa yang harus kubayar biar keberuntungan bisa jadi milikku?"
Aku minim pengalaman romansa. Masa sekolahku suram. Semua pertemananku kandas. Cinta? Boro-boro. Sampai kemarin, aku hanya bisa gigit bibir ketika menonton drama Korea. Mengapa mereka bisa tersipu? Mengapa mereka malu-malu? Seperti apa rasanya mencintai? Dicintai? Aku buta.
Hari itu, Kael muncul, aku belajar apa itu cinta.
Dialah laki-laki terbaik yang kutahu. Dia mendengarku ketika yang lain mengabaikanku. Dia kupercaya akan kisahku: hidup pas-pasan, tentang masa sekolah yang tidak menyenangkan, dan patah hati terbesarku: gagal kuliah.
Begitulah bagaimana aku bisa menjadi barista di kafe ini.
Kael tercenung setelah kuceritakan semua. "Clover. Nama itu mengandung doa. Kamu itu pekerja keras, punya harga diri untuk bekerja di kafe, bukan pekerjaan rendahan. Bukankah itu termasuk beruntung?"
Aku mengerjap. "Kamu tahu apa."
"Maaf, bukan maksud menyinggung." Kael berdeham kagok, sepertinya merasa bersalah. Ia menoleh padaku, lalu tangannya menepuk pucuk kepalaku.
"Kamu tahu, Clo? There's 'love' in 'Clover'. Kamu bukan cuma keberuntungan. Kamu juga cinta."
Gombal memang laki-laki satu ini. Namun, aku mendadak merasa jadi wanita yang sangat beruntung. Mungkin, masalah laluku ada karena aku akan mendapat hadiah sebaik Kael.
Namun, suatu hari, Kael menghilang, tak bisa dihubungi. Seminggu aku kalang-kabut. Saat sedang mempersiapkan diri untuk patah hati lagi, sebuah chat tiba-tiba masuk, mengaku sebagai Kael, berkata akan menjemputku nanti. Aku tak mau langsung percaya, tetapi Kael sungguhan muncul. Menyapaku, lalu berkata akan memesan snack untuk acara. Kuarahkan ia ke manajer, kubiarkan mereka bicara. Begitu selesai shift, aku langsung memeluknya.
"Maaf," bisiknya sambil memelukku. "Ada hal urgen kemarin. Kamu kosong malam ini?"
Aku mengangguk heboh.
"Ayo ke festival."
Senyumnya masih sama. Namun, aku merasa ... dingin, ketika menggandengnya.
Perasaan apa ini?
"Ada yang mau aku sampaikan," ujar Kael, di antara letupan petasan warna-warni.
"Y-ya?" Aku mendadak gugup. Astaga, apa ini? Suaranya begitu serius, pasti bukan main-main.
"Kalau Tuhan berkehendak, aku rasanya ingin kamu ada di sampingku sampai mati."
Entah mengapa, bukannya terisi kehangatan, hatiku malah terasa membeku.
"Clo."
Jeda diberikan begitu terdengar suara kembang api yang menggelegar, seperti menjadi tanda, bahwa akan ada yang patah—
"Kita cukup sampai sini aja ya."
"Oh."
Hanya itu yang kuucapkan, tetapi apa dia tahu? Rasanya, petasan bukannya terlontar ke langit, melainkan hatiku.
Ketika kulihat cincin itu di antara gemerlap petasan, kubayangkan perempuan mana yang beruntung itu—bukan orang dengan nasib terburuk sepertiku. Rasa dingin yang kurasakan saat menggenggam tangannya tadi ternyata berasal dari sana.
Kael menatapku sendu. "Clo, seminggu aku berargumen dengan keluarga, tapi aku kalah. Maaf. Aku akan ... tetap membantumu ...."
Perasaanku tercabik. "Snack yang kamu pesan itu ...."
Kael tersenyum getir. Tangannya bergerak, hendak mengusap air mataku yang luruh, tetapi aku berkelit. Aku berpaling, menyelinap di antara keramaian, menjauh.
Pernahkah kamu merasa harapanmu dilambungkan tinggi-tinggi hanya untuk diempas ke dasar jurang? Aku sering. Dan kali ini, sepertinya bukan sekadar jurang, melainkan langsung kerak bumi.
"Ah!"
Aku jatuh, bergulingan di aspal. Keramaian mengabaikanku. Aku beringsut pelan, berjongkok sambil menangis.
Keberuntungan memang tidak pernah memihakku. Clover, aku benci namaku.
***
Gedung pertemuan itu tampak mewah. Melihatnya saja sudah membuatku megap-megap. Mengapa mereka tidak menularkan keberuntungan itu padaku?
Aku menghela napas sebelum keluar dari taksi yang mengantarku, lalu mengabari penjaga yang ada untuk membantuku mengeluarkan dan membawa snack pesanan mereka ke dalam.
Orang-orang modis berpakaian rapi dengan tuksedo dan gaun cantik terlihat begitu menjejakkan kaki di dalam. Seketika, aku merasa salah tempat.
Buru-buru aku beralih pada meja santapan di pinggir ruangan. Kutata pesanan kue di bagian meja yang kosong, dibantu penjaga tadi. Meski tanganku sibuk, mataku terus melirik sekitar. Aku iri. Remuk hatiku masih terasa.
Kalau nasibku buruk, orang lain juga harus mencicipinya. Bolehkah setidaknya kutinggalkan kejutan bagi mereka, sebelum sosok yang tidak signifikan sepertiku ini pergi dari sini? Mungkin dengan membalikkan meja di hadapanku ketika acara pertunangan berlangsung?
Di tengah rencana gila tersebut, pandanganku terpaku pada sosok lelaki yang sangat mencolok di antara orang-orang. Bukan hanya karena menggunakan setelan tuksedo yang berbeda warna, melainkan karena ... itu Mikael.
Kualihkan pandangan ke bagian depan ruangan, terpampang sepasang nama di sana.
Engagement Day Mikael & Dita.
Benar, ini acara pertunangan mereka. Sementara, aku yang seorang pekerja kafe, hanya menyumbang makanan untuk memeriahkan acara.
Kupandangi sosok Mikael dari jauh. Pesonanya tidak pernah hilang. Namun, bisa kutangkap guratan tegang pada wajah itu. Sesekali gestur tubuhnya terlihat canggung dan gelisah. Kulihat pula sosok pria paruh baya di tak jauh darinya, mungkin itu ayahnya. Mereka berbincang dengan rekan, sesekali justru terlihat seperti hubungan bisnis yang membahas pekerjaan alih-alih pertemanan hangat.
Ah, Kael, kamu begitu penurut. Rasanya, kamu terlalu baik untuk menjadi manusia. Dikepung oleh pihak-pihak yang mendesakmu untuk melakukan ini-itu. Ternyata, kamu tidak seberuntung yang kukira.
Aku tersenyum miris, menunduk dalam. Bagiku, Kael mungkin satu-satunya keberuntungan di antara nasib buruk yang menimpa. Namun, kusadari, dia juga manusia yang dituntut untuk melakukan hal yang tidak dia inginkan. Mungkin, membuatku mengalami patah hati terbesar tidaklah pernah menjadi rencana lelaki sebaik dia.
"Mbak? Kalau sudah, silakan keluar, ya. Sebentar lagi, acaranya mau dimulai," ujar sang penjaga yang rupanya sudah selesai menata hidangan di meja.
Ya, aku harus keluar.
Aku mengangguk, lalu beranjak sebelum kembali memandangi sosok Mikael dari kejauhan. Kisah kami nyatanya tidak pernah istimewa, tidak pernah disatukan oleh benang merah takdir yang didambakan orang-orang.
Lupakan semua rencana gila yang sempat aku canangkan di kepala. Saat ini, aku hanya ingin mengikhlaskan malaikat itu pergi dari radarku.
Kamu tahu, Clo? There's 'love' in 'Clover'. Kamu bukan cuma keberuntungan. Kamu juga cinta.
Aku tersenyum masam. Beruntung? Cinta?
Aku hanya orang yang gagal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Star Crossed
Short StoryStar-Crossed adjective. (of a person or a plan) thwarted by bad luck. Tidak selamanya segala hal berjalan mulus. Finalis 8 besar Turnamen NPC 2024 akan memperlihatkan bagaimana nasib buruk menuntun dan mempengaruhi para karakter pada setiap cerita. ...