Membebaskan Rembulan

93 27 12
                                    


"Ini dia, seperti biasa."

Mata Aurora yang terpejam, kini terbuka begitu mendengar suara Derrick yang khas, bersamaan dengan aroma kopi tubruk dan roti bakar harum yang menenangkannya. Aurora tersenyum. Rasa lelah setelah berkuliah seharian telah menyita seluruh sisa energinya.

Untungnya pahit kopinya mengembalikan kesadaran Aurora. Gadis itu mengamati kedai roti bakar yang menjadi tempat favoritnya sejak berkuliah dua tahun lalu. Ia selalu suka tawa ringan para pengunjung lain di penghujung hari. Raut lelah yang tadinya ia lihat, sedikit demi sedikit tersingkir dengan raut tenang dan bahagia.

Dalam hati, ia bersyukur walaupun hidupnya terkesan monoton, ia masih dapat merasakan damainya hal kecil semacam ini.

"Permisi, Mbak Rora," panggil Derrick–pemilik kedai.

Aurora menoleh dengan alis terangkat.

"Karena Mbak sudah menjadi pelanggan di sini, kami punya hiburan kecil untuk Mbak Rora."

Derrick menyerahkan sebuah buku dengan ballpoint yang tersemat di sampul depannya.

"Ini buku khusus untuk pelanggan kami. Siapapun bisa menulis dan membalas pesan yang di sana. Mbak Rora juga bisa menulis ulasan, pesan, atau membaca tulisan dari pelanggan lain."

Aurora menerima buku itu dengan sedikit tertarik. "Terima kasih, Derrick."

Untuk beberapa lama, Aurora dengan pesan acak dari buku itu. Pesan-pesan yang menarik mulai ia balas secara acak. Beberapa tampak menggelitik, beberapa lagi tidak terlalu jelas tujuannya untuk Aurora. Lucu sekali rasanya, mengingat pesan ini datang dari pelanggan yang sering mendatangi tempat ini.

Hingga akhirnya Aurora melihat pesan itu ...

'Dicari loker untuk laki-laki 17 tahun. Hubungi: Chandra.'

Aurora mengernyit begitu membuka halaman selanjutnya. Pesan itu tertulis di halaman terakhir, bersih dari pesan lain.

'Bukankah kamu masih SMA? Kenapa ingin bekerja?'

Spontan, Aurora membalas pesan itu.

Aurora menutup buku. Semua pesan telah selesai dibaca. Tak ada yang bisa Aurora dilakukan lagi selain menunggu.

Aurora pikir, menunggu balasan dari orang asing akan membuatnya sedikit antusias, tetapi sebaliknya, Aurora seperti masuk ke dunia baru dengan suasana yang tak diduganya.

'Aku ingin membawa adikku pergi dari rumah. Sejauh mungkin, secepat mungkin.'

Aurora termenung membaca balasan Chandra. Iya, laki-laki itu membalasnya dengan cepat. Baru satu hari berlalu, Aurora sudah mendapat jawaban. Tapi, pertanyaannya ...

'Mengapa?'

Aurora membalas pesan Chandra lagi. Rasanya ia ingin bertemu langsung dan mengobrol bersama anak itu.

Hal pertama yang Aurora lakukan keesokan harinya adalah langsung menagih buku itu kepada Derrick. Chandra sudah memberikan balasan!

Sekilas, Aurora merasa senang saat melihat balasan yang panjang. Namun itu tak bertahan lama kala Aurora membaca isinya.

'Orangtuaku jahat! Mereka terus memukul kami. Aku sudah terbiasa dengan pukulan mereka, tetapi belakangan ini mereka mulai memukul adikku. Dia masih kecil. Aku tidak sanggup mendengar tangisannya setiap malam.

Aku hanya ingin kami berdua terbebas dari siksaan ini. Kami harus pergi, tapi aku tidak bisa pergi begitu saja. Bagaimana dengan hidup kami setelah itu? Begitu mendapat pekerjaan, aku ingin segera membawa adikku pergi.

Apakah kamu bisa memberiku pekerjaan? Aku bisa melakukan apapun dari pukul dua hingga lima sore. Apapun. Kumohon, bantu kami.'

Aurora termenung setelah membaca balasan Chandra. Pandangan matanya kosong, meratapi tulisan itu. Kopi dan roti bakarnya juga sudah dingin.

"Mbak?"

Derrick tiba-tiba saja sudah ada di samping Aurora, terlihat khawatir. Diliriknya buku yang terbuka di tangan Aurora.

"Oh, jadi anak laki-laki itu bertukar pesan dengan Mbak Rora? Setiap sore dia datang membeli dua roti bakar. Dia sangat kurus dan pendiam, tidak ingin berbicara denganku. Kupikir buku ini bisa membantunya, tapi ternyata dia mengalami keadaan seperti itu," ujar Derrick perihatin. Ia melanjutkan, "Lebam di tangannya juga semakin banyak."

Sebagai seorang mahasiswi hukum yang menjunjung tinggi keadilan, dia tidak bisa membiarkan hal ini berlangsung lebih lama. Aurora harus melakukan sesuatu.

Tanpa pikir panjang, Aurora membalas pesan Chandra dengan yakin.

'Mari kita bertemu besok. Bawa juga adikmu. Aku janji akan membantumu.'

Sebenarnya, Aurora tidak memiliki pekerjaan untuk Chandra, tetapi ia bersedia menawarkan tempat tinggal untuk mereka berdua. Ada satu kamar kosong tak terpakai di rumah sewaannya. Ia bisa membantu Chandra mencari pekerjaan, setelah Chandra lulus SMA.

Yang terpenting, ia harus memastikan keamanan mereka berdua, sembari mulai mengumpulkan bukti-bukti untuk menjerat kedua orangtua mereka ke ranah hukum.

Setelahnya, Aurora tak bisa fokus di kelas. Ia tidak bisa berhenti memikirkan Chandra dan adiknya. Bahkan saat jam kuliah berakhir, ia segera berlari keluar tanpa menunggu dosennya lebih dulu.

Sampai di kedai, Aurora langsung menghampiri Derrick yang tengah sibuk di balik mesin kasir.

"Apa Chandra sudah ke sini?" tanya Aurora langsung. Napasnya bahkan masih memburu setelah berlari dari gedung kampusnya.

"Chandra? Belum, Mbak. Saya juga heran kenapa dia belum datang."

Bahu Aurora merosot mendengarnya.

Kemana Chandra? Bukankah anak itu sangat ingin keluar dari sana?

Dalam hati, Aurora mulai merasa tak tenang. Apakah tawarannya membuat Chandra ketakutan dan mencurigainya? Aurora hanya berniat untuk membantunya bebas dari siksaan itu.

Hari itu, Chandra tidak datang.

Berhari-hari berlalu, Aurora tetap datang ke sana, menanti kedatangan Chandra.

Sayangnya, tetap tak ada tanda-tanda kedatangan Chandra dan adiknya.

Tidak ada balasan di buku. Tulisan Aurora masih menjadi penutup yang janggal.

Pagi ini, Aurora kembali ke kedai roti itu. Baru sampai di pintu masuk, Derrick sudah menggeleng pelan saat melihatnya. Aurora melanjutkan langkahnya yang terasa berat.

Saat masuk, matanya tertuju pada koran lokal yang tergantung di samping pintu masuk. Satu headline berita berhasil menarik perhatiannya.

'PASANGAN SUAMI ISTRI KABUR SETELAH MEMBUNUH KEDUA ANAKNYA'

Di bawahnya terpajang foto keluarga beranggotakan empat orang; Ayah, Ibu dan sepasang anak berinisial C dan S. Entah perasaan dari mana, Aurora berjalan terburu-buru menuju Derrick.

Ia menunjukkan foto itu dengan tergesa. "Katakan padaku kalau dia bukan Chandra!"

Derrick yang sedikit kaget, mengamati foto yang ditunjuk Aurora. Matanya membulat kala melihat sosok familiar yang beberapa hari ini ia tunggu-tunggu.

"I--itu ... Itu Chandra, Mbak."

Suara ramainya kedai menghilang dalam sekejap. Segalanya hening.

Pikiran Aurora kosong saat itu juga.

Rasa sesak menguasai hatinya. Aurora tidak tahu apa yang ia sesalkan. Perasaan bersalah itu cukup menyiksanya.

Chandra, remaja laki-laki yang menginginkan kebebasan itu telah tiada, begitupun dengan adik yang ingin diselamatkannya.

Di foto keluarga itu, kedua anak itu terlihat ceria dengan senyuman tulus dan indah. Seharusnya mereka berdua masih bahagia, tertawa seperti anak-anak lain. Seharusnya, hidup mereka masih panjang.

Namun sayang, harapan dan keinginan itu harus lenyap, selamanya. 

Star CrossedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang