If I Were You

82 25 14
                                    

"Bun! Bando merahku mana,ya?"

"Sepatuku ilang satu, Bunda!"

"Sayang, lihat kunci mobil, nggak?"

Untung saja Mika–anak ketigaku–tidak terbangun gara-gara keributan itu. Dia baru saja terlelap setelah semalaman rewel.

Suami dan dua anak tertuaku terus memanggil. Padahal mereka hanya akan pergi ke mal, tapi hebohnya sudah seperti akan liburan ke luar kota. Ah iya, harusnya kami berenam memang berlibur ke Bandung kemarin. Aku sudah memesan hotel dan juga menyusun rencana perjalanan. Namun, liburan itu harus dibatalkan karena Mika mendadak demam tinggi.

"Hati-hati di jalan. Jangan jauh-jauh dari Ayah!" kataku saat mengantar Kayla dan Laras ke teras. Mereka tidak mengindahkan nasihatku dan langsung berlari ke mobil.

Jujur aku sedikit cemas. Sebenarnya, Mas Seno adalah ayah yang baik. Dia selalu berusaha meluangkan waktu untuk anak-anak kami, tetapi biasanya aku juga ikut mengawasi. Belum pernah aku melepasnya pergi sendiri dengan anak-anak. Apalagi Kayla, si sulung yang baru berusia tujuh tahun, sangat aktif dan suka berlarian ke sana kemari. Laras yang baru berulang tahun kelima juga bisa menjadi sangat keras kepala jika menginginkan sesuatu.

"Huaah! Bu-bu-bu. Huaaah!"

Aku buru-buru mengunci pintu sebelum tangis Noah kian kencang. Bisa-bisa Mika terbangun dan ikut beradu tangis dengan si bungsu.

Segera kuangkat Noah yang belum genap berusia dua tahun dari ranjang. Bau tidak sedap tercium dari celananya. Aku bergegas membawanya ke kamar mandi untuk mengganti popok.

"Mam-mam." Noah berulang kali menunjuk mulutnya. Ah, sudah waktunya dia sarapan.

Sepertinya aku harus menunda mencuci sprei dan baju yang terkena muntahan Mika. Kalau baru bangun begini, energi Noah masih melimpah. Aku tidak boleh lengah sedikit pun. Jika dibiarkan, dia akan merambati meja, kursi, dan lemari sambil menariki barang-barang yang terjangkau tangan mungilnya.

Saat menyiapkan makanan untuk Noah, aku berusaha tidak melirik tumpukan piring kotor bekas sarapan pagi tadi. Nanti saja kubereskan saat Noah tidur siang.

Usai menyuapi Noah, aku meletakkan bocah itu di karpet depan televisi. Kubiarkan saja dia menumpahkan seluruh isi kotak mainan. Aku tidak punya energi lagi untuk menegurnya. Yang penting, dia tidak rewel.

Aku berusaha mengabaikan koper-koper berisi pakaian yang masih teronggok di ruang tamu. Namun, perasaan kecewa itu tetap singgah. Rencana liburan ke Bandung sudah kususun jauh-jauh hari dan seharusnya menjadi liburan pertama kami sekeluarga sejak kelahiran Noah.

Tiba-tiba, ponselku bergetar. Ada telepon masuk. Dari Nana, sahabatku. Dengan sedikit enggan, aku menerima panggilan itu. Berbicara dengan Nana kerap kali mengingatkanku pada kehidupan yang harus kutinggalkan demi mengurus anak-anak.

"Ita! Kamu di rumah, kan? Aku ke sana, ya. Mau antar oleh-oleh sekalian jengukin Mika." Suara riang Nana menyapaku.

Oleh-oleh? Ah, kalau tidak salah, Nana baru pulang dari Labuan Bajo atau manalah itu. Saking seringnya Nana bepergian, aku sampai tidak hafal tempat mana saja yang sudah dia kunjungi. Berbeda denganku, Nana belum memiliki anak. Jadi, dia bebas saja mau melakukan apa dan pergi ke mana. Kariernya pun terus memelesat tanpa hambatan berarti.

"Iya. Ada," jawabku lirih sembari menekan perasaan iri yang tiba-tiba menyeruak.

***

"Nana, nanti langsung masuk aja ya. Pintu gak dikunci," ujar Lukita–sahabatku yang ada di seberang telepon.

"Ok," kataku sebelum mengakhiri pembicaraan. Namaku Fortuna, sedangkan Nana adalah nama kecil yang Ita berikan kepadaku ketika kami masih SD.

Aku ke rumah Ita hari ini untuk memberi oleh-oleh sekaligus menjenguk Mika yang sakit, padahal anak itu baik-baik saja beberapa hari yang lalu. Aku tahu karena memang suka mantengin story keseharian Ita. Keempat anaknya benar-benar menggemaskan dan sering membuatku tertawa dengan tingkah mereka.

"Permisi," kataku sembari membuka pintu rumah Ita. Yang kujumpai bukan Ita, melainkan Noah, si bungsu yang sedang asyik dengan mainannya yang berserakan di karpet ruang tamu.

"Halo Noah, mana mama?" tanyaku sambil membelai kepalanya.

Noah yang melihatku hanya mengoceh "Egim, egim," lalu menawarkan mainan es krimnya untukku.

"Wah, es krimnya enak sekali. Tante Nana makan ya. Hap!" kataku sambil berpura-pura makan dan Noah pun tertawa. Tawanya ya Tuhan... kenapa Noah lucu sekali?

Ita masih belum muncul juga, tapi aku mendengar suara-suara piring dari dapur.

"Ita." Aku memanggil Ita yang sepertinya tidak menyadari kehadiranku karena sibuk dengan cucian di depannya.

"Ita!" panggilku lagi dengan nada yang lebih keras dan dia kagetnya bukan main ketika melihatku.

"Astaga, Na! Kamu udah sampai? Sori, aku gak dengar kamu manggil tadi. Aku sibuk banget! Bentar,ya."

Aku hanya tersenyum, kemudian membantu Ita mengelap piring-piring yang masih basah.

"Aduh, Na. Jangan gitu. Aku jadi gak enak, nih." Ita terlihat segan.

"Udah tenang aja," kataku. Melihat kantong matanya saja aku tahu kalau Ita pasti tidak tidur seharian karena menjaga Mika.

"Mika udah baikan?"

"Iya udah. Aku stres banget tahu? Dari kemarin panasnya gak turun. Udah itu dia juga muntah. Baru ini dia bisa tidur," kata Ita frustrasi.

"Syukurlah. By the way, mana yang lain? Biasanya rumah kamu ramai."

"Kayla sama Laras dibawa Mas Seno ke mal."

Setelah urusan di dapur beres, kami pindah ke ruang tamu agar bisa mengobrol sambil mengawasi Noah bermain.

"Ini, oleh-oleh buatmu dan anak-anak," kataku sambil mengeluarkan sebungkus kopi Manggarai dan gelang warna warni yang terbuat dari benang tenun khas Flores.

"Kamu tahu aja aku lagi butuh kopi. Makasih banyak, ya, Na. Anak-anak pasti suka sama ini. Gimana liburannya?"

"Ok lah, Ta. Coba ajak keluargamu berlibur ke sana."

"Ini aja, aku gak jadi liburan ke Bandung. Padahal aku udah packing, booking hotel, bikin itinerary. Itu kopernya aja belum sempat aku bongkar karena ngurusin Mika. Repot banget tahu, Na, nyiapin keperluan empat anak," jelasnya sembari menunjuk koper yang ada di sudut.

Ita menumpahkan semua keluh kesahnya kepadaku tentang dirinya yang sibuk mengurus anak-anak dan tidak punya waktu. Dirinya bilang ingin sepertiku: BEBAS.

Aku hanya tersenyum kecut.

Sebenarnya, suamiku membiayai liburan-liburanku setelah mendengarkan saran dari psikolog. Aku mengalami depresi berat setelah kehilangan kandunganku yang baru berumur satu bulan. Kata orang, itu hanyalah segumpal daging. Tapi bagiku, itu segalanya. Setelah menggonta-ganti dokter kandungan dan menghabiskan banyak biaya untuk bayi tabung, aku masih belum hamil juga.

Aku melihat Noah kecil, dan hatiku rasanya diremas.

Seandainya Ita tahu aku ingin apa yang dianggapnya repot.   

Star CrossedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang