Bertaut

106 20 12
                                    


Andai Tanisha bisa memilih takdir, ia mau jadi manusia biasa saja.

Menjadi manusia setengah dewi konon merupakan mimpi orang-orang di dunia, tapi jelas bukan mimpi Tanisha. Yang Mulia tak pernah mengizinkannya pergi ke mana-mana. Konon, itu karena Tanisha anak kesayangan.

"Kamu sudah hidup di Surga, untuk apa bertemu Dunia yang jahat?"

Selalu itu dalihnya. Satu-satunya tempat di hidup Tanisha yang bukan Surga hanyalah tepian Sungai Kartika. Kurang tepat kalau dibilang bukan Surga, karena secara teknis ia merupakan perbatasan Dunia dan Surga, tapi Yang Mulia selalu menganggapnya Dunia hina. Pergi ke sana pun harus dalam pendampingan manusia setengah dewi yang lain. Meski saudari-saudarinya tidak seketat Yang Mulia, tetap saja gadis dengan rambut terkepang itu merasa dikungkung.

Surga memang cantik. Namun, bagi Tanisha, apa yang ada di seberang Sungai Kartika jauh lebih menarik.

Walau tajuknya sungai, lautan kecil lebih tepat untuk Sungai Kartika. Sesuai nama, arusnya berisi bintang-bintang. Sekilas bagai lautan cahaya yang mudah dilewati, tapi suhunya yang kadang membara membuat Tanisha mundur. Gadis berambut madu itu sering merencanakan pelarian, tapi mungkinkah kaki telanjangnya melintasi panasnya bintang-bintang?

Makanya, ketika Hilda tahu-tahu muncul dari seberang dan dengan ringannya melompati bintang-bintang, Tanisha terpana.

Mereka jadi sering berjumpa setelahnya. Hilda bilang, ia hanya penasaran dengan sisi terluar Surga, tapi wanita berambut lurus hitam legam itu jadi bertandang minimal sepekan sekali. Katanya, Surga tampak membosankan, tapi Tanisha membuatnya ingin kembali, lagi dan lagi.

Mendengarnya, Tanisha berdebar.

Semakin hari, kian tumbuh perasaan asing dalam benak Tanisha. Bukan sayang yang ia berikan pada saudari-saudari setengah dewinya. Bukan pula segan seperti yang ia tujukan untuk Yang Mulia.

Tanisha ingin mengikuti Hilda kemanapun ia pergi. Tanisha ingin melihat senyum Hilda lebih lama lagi. Tanisha ingin Hilda tersenyum padanya dan hanya untuknya.

"Dunia tidak kalah indah dari Surga, kok!" Hilda tersenyum lebar dalam perbincangan, pada suatu waktu. "Ayo belajar mengarungi bintang-bintang. Tidak seseram yang terlihat, tenang."

"Tidakkah kakimu terbakar?" Mata bulat Tanisha menatap penuh keraguan.

Mata sipit Hilda mengamati polosnya jemari kaki Tanisha. "Bisa pakai alas kaki. Aku bisa membawakanmu sepatu khusus di pertemuan selanjutnya."

"Bagaimana dengan saudari-saudariku?"

Dari ekor matanya, Hilda melirik salah satu manusia setengah dewi yang ditugaskan menjaga Tanisha. "Diajak juga? Nanti kubawakan sepatu untuk mereka."

Tidak. Tanisha takkan rela membagi momen bersama Hilda pada siapapun. Tidak juga saudari-saudarinya. Untungnya, mereka paham. Mereka yang ditugaskan menjaga Tanisha diam-diam mengizinkan.

Sayangnya, wanita berkuncir kuda itu bahkan belum sempat memberikan sepatu yang dijanjikannya. Yang Mulia memergoki rencana mereka. Sungai Kartika yang tenang mendadak berkecamuk. Hilda, yang sedang berada di Dunia, jelas mustahil menyebrang.

Para saudari Tanisha trenyuh dengan kondisi gadis itu. Kurus kering, tak mau makan sebelum Hilda kembali. Lantas, dipanggillah para burung untuk dimintai tolong menyusun jembatan—mereka yang bisa terbang, lebih leluasa melintasi sungai.

Tindakan terlarang, sebenarnya. Benar saja, Yang Mulia kian murka. Badai bintang semakin ganas dan para burung lenyap ditelan Sungai Kartika.

Andai Tanisha bisa memilih, dia akan meminta hidup bersama dengan Hilda. Selamanya. Sayangnya, tidak begitu cara dunianya bekerja. Mata sang gadis menatap hampa jembatan yang hancur dilumat serpihan bintang.

Kalau begini, lebih baik Tanisha hanyut bersama bintang-bintang. Gadis berkaki telanjang itu menapaki rumput yang terbakar sebagian akibat percikan badai bintang. Ini bisa jadi napas terakhirnya, tapi ia tak peduli. Telinganya tuli akan teriakan para saudari yang terlambat menahannya.

Tanisha bergabung dengan Sungai Kartika, memutuskan untuk pergi dari Surga selamanya.

Sayang, aku sudah belajar mengarungi bintang. Jadi, di mana kita bisa bertemu?

...

Kala melihat matanya, Hilda tahu bahwa sosok yang berhadapan dengannya saat ini adalah dewi. Manusia setengah dewi, lebih tepatnya.

Hilda tidak pernah berekspektasi akan bertemu sosok surgawi. Cantiknya tiada tara. Namun, mengapa paras Tanisha layu? Wajahnya sendu nan muram. Hilda jadi ingin menelisik rahasia di balik rupa jelitanya.

Gadis itu mulai rutin berkunjung ke tepian Sungai Kartika demi bertemu Tanisha. Sesekali, mereka bermain selagi Tanisha mengumpulkan rempah-rempah. Itu tugas insan surgawi. Untungnya, Tanisha tetap bisa dijumpai walau tidak sedang bertugas.

"Aku diminta untuk membawa pulang rempah-rempah di sini. Jika tidak bertemu denganmu, bisa-bisa aku dikira mencuri dari Surga," Hilda berkata sembari memainkan secuil daun dalam jemari.

"Kau punya rumah? Kukira kau nomaden," respon Tanisha.

"Aku selalu punya tempat untuk pulang." Hilda mendalami mata Tanisha. Ini rumahnya, mewujud gadis yang ingin dilindunginya. Ketika jari-jari mereka tak sengaja berpapasan, ia tak tahan lagi. Digenggamnya tangan Tanisha, dan senyum manis sang puan membuat Hilda meleleh.

Bertemu Tanisha adalah obat. Rumah. Candu. Yang mana pun itu, Hilda sadar, ia ingin ada Tanisha dalam setiap fragmen hidupnya.

"Tidak ingin coba ke Dunia?"

Ajakan itu tercetus tanpa rencana. Padahal, Hilda hanya ingin tahu rasanya menyusuri bintang bersama sosok paling bercahaya dalam hatinya.

Tanisha kentara cemasnya. "Tidakkah kakimu terbakar?"

Hilda menjanjikan sepatu khusus, sama dengan miliknya. Memang, jadinya Hilda perlu mengembara lagi di Dunia, tapi demi sang penawan hati, apa yang mustahil?

Hanya saja, ternyata itu terakhir kalinya Hilda bertemu Tanisha. Sungai Kartika yang awalnya indah, kini mengamuk ketika Hilda mencoba melewatinya.

Waktu berlalu, tetapi Sungai Kartika tak kunjung tenang. Badai bintang berkecamuk. Tak ada orang waras yang berani pergi ke tepian Sungai Kartika dengan badai bintangnya.

Apakah Yang Mulia murka? Tanisha sering cerita tentang hidupnya yang terikat pada Yang Mulia. Kalau benar, mungkin Hilda perlu mundur sejenak, mencari jalan lain menuju Tanisha.

Nihil. Namun, Hilda bertahan di sempadan. Menunggu badai reda.

Sayang, badai enggan berhenti. Di antara bintang yang berkilatan, ada siluet mungil yang sangat Hilda kenali.

"Tanisha!"

Bintang-bintang masih mengamuk, tapi Hilda tak peduli. Ia melompat ke Sungai Kartika, berusaha menggapai Tanisha di seberang—dan anehnya, terasa dekat. Entah takdir sedang berbaik hati atau bermain-main, Hilda berhasil merengkuh Tanisha dalam pelukan setelah ratusan langkah yang melumat kulitnya.

Mengingat lebar sungai, harusnya mereka tamat sebelum berjumpa. Namun, takdir sungguh ingin bermain-main. Tanisha memang jadi belajar menyeberangi bintang, tapi bukan ini maunya!

Hilda mati rasa dengan bintang yang membakar. Hanya ada bara cintanya pada Tanisha dalam pelukan.

Mata Tanisha terbuka. Manik bening, bercahaya.

Hilda tersenyum. Tanisha tidak sempat hadir lebih lama dalam hidupnya, tapi mendapati gadis itu jadi sosok terakhir yang dijumpai sebelum mati sudah lebih dari cukup.

Jika kamu takdir untukku, maka kesengsaraan pun rela kulalui. Yang penting bersamamu, selamanya.

Star CrossedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang