1. Precious

3 3 0
                                    

Kemarin berharga, Hari ini berharga, Esok berharga, tiap napas yang diembuskan berharga, dan semua pengorbanan yang telah dilakukan selama hidup di dunia... berharga pula. Maka dari itu, hendaklah berpikir kalau hidup memanglah begitu berarti, jangan sesekali disia-siakan.

Lantas,

Adakah seseorang yang memikirkan hal itu sama halnya-secara harfiah maupun nirhafiah?

Lalu,

Akankah seseorang dapat mengenal sebuah ilmu balas budi-dan budi pekerti pula? Dunia perlu adanya ketimbal-balikan yang adil, presisi dan sesuai porsi. Maka akan terciptalah sebuah kenangan dan kesan yang berharga.

Akhtar Noor Abdillah, pemuda yang memiliki darah melayu itu tengah menengadahkan kedua matanya, seraya menghirup udara segar di pagi hari. Memikirkan bagaimana semua perspektif itu dapat terlukis jelas di benaknya, mengendap hingga setahun lamanya.

Pemuda yang kerap dipanggil Akhtar dan telah menginjaki umur yang ke-delapan belas tahun itu belum pernah mendapatkan semua momen yang ia pikirkan akhir-akhir ini di realitanya.

Ia berpikir bahwa, untuk apa semua itu diciptakan, jika akhirnya akan fana dan habis tak tersisa di penghujung hari?

"Biasanya dia suka sekali menatap langit pagi, bersantai lah sebentar di rooftop ini, nak." Pemuda yang dipanggil itu refleks menoleh ke belakang-kearah sumber suara. Akhtar mengernyit kala sahabat semasa kecilnya, tengah berdiri mengekori sang Ibu yang memanggilnya tadi.

Akhtar tersenyum manis, "Kemarilah." Ajaknya dengan tatapan lembut dari kejauhan. Sahabat semasa kecilnya itu merupakan seorang gadis yang setahun lebih muda darinya. Setelah Akhtar mengajaknya untuk lebih dekat, gadis itu terkesiap. Ia begitu malu, entah mengapa penyakit bawaannya itu begitu menyusahkan.

Penyakit pemalu, namanya.

Gadis itu melangkahkan kakinya pelan, pelan tapi pasti-hingga mereka berdua dapat berhadap-hadapan. Taman rooftop rumah pemuda itu menjadi saksi atas keberanian gadis itu untuk kembali bersua dengannya, setelah sekian lama mengurungkan niatnya untuk kembali bersama.

Tatapan teduh Akhtar seakan telah menjawab segalanya-atas apa yang selama ini ia tunggu-tunggu, yaitu menunggu kedatangan gadis itu dihadapannya.

"Apa yang membawamu kesini?"

"Aku kemari hanya ingin melihatmu, hanya itu."

"Baiklah, tatap saja aku hingga kembali petang. Aku tau kamu sangat rindu dengan momen ini."

"Ah, bukan begitu, maksudku," Gadis tersebut berdecak kesal, naik pitam juga rasanya. Ia tak menyangka bahwa perkataan itu akan terlontar jelas oleh pemuda koleris itu. Kini ia merah padam mukanya, refleks menunduk dan mengepalkan kedua tangannya di samping.

Akhtar terkekeh puas, ia berkacak pinggang dan beralih untuk menatap kembali pemandangan di pagi hari dari arah rooftop. Mengendus pelan aroma roti bakar keliling yang membiarkan udara dari mesin jualnya itu sepoi-sepoi terkena angin pagi.

Suara air mengalir, suara kicauan kecil burung-burung yang melintasi garis langit, suara benda seng yang menandakan orang-orang tengah bersiap untuk memasak sarapan dan bekal.

Akhtar kembali menoleh ke gadis yang tingginya kurang dari 10 centimeter darinya itu, "Kamu lupa dengan tujuan mu kemari? Kamu bilang ingin melihatku, kenapa sampai sini hanya menunduk begitu?"

"Jangan sia-siakan waktumu," lanjutnya, seraya meraih salah satu bagian pipi gadis itu, untuk mengarahkannya ke dalam tatapan hangat pemuda tersebut.

"Karena-semua ini akan fana, kamu harus memanfaatkan momen ini sebaik mungkin." pungkasnya. Sesungguhnya, di dalam lubuk hati yang paling dalam, gadis itu menahan tangisnya. Ia terus meredam perih emosi yang mengikatnya. Entah mengapa, kalimat yang Akhtar ujarkan tadi membuatnya tak tenang, ia sangat takut.

Hearts Awakened, Live AliveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang