2. Answer

3 2 0
                                    

Berlarian menyusuri padang rumput, saling berkejaran—mengejar layangan putus. Bercengkerama layaknya anak-anak kecil. Tergelak tawa tanpa memikirkan realitas. Bersenandung senandika tanpa melagu, seolah hal itu menjadi sebuah bagian dari hidup.

Hujan lebat menerjang bumi, seakan memanggil anak-anak itu berpulang ke rumah. Namun, mereka tak memedulikan apa yang ada, mereka tetap memetik hari ini—karena mereka tahu bahwa hidup ini tak abadi, tetapi momen akan selalu kekal sampai penghujung hayat.

"Apa yang sedang kamu tulis, Dhil?"

Fadhilla Hadiningrat, pemuda introver yang selama dua puluh empat pertujuhnya ia habiskan hanya untuk menulis puisi, puisi dan puisi.

Sekilas keheningan meliputi keberadaannya dan si penginterupsi itu di saat lingkungan sekolah telah sepi karena sudah menunjukkan jam pulang. Mereka berdua kini saling bertatapan.

Mendengar interupsi dari salah satu temannya tadi, membuatnya refleks kikuk dan menelan ludahnya kasar. Dengan cepatnya ia merobek halaman tersebut dan menggumpalkannya sebelum ia masukkan ke dalam tas backpack nya.

"Hey, tunggu! Kenapa harus disobek seperti itu? Bukankah kamu baru saja menyelesaikan sebuah puisi lagi?"

"Tadi—bukan apa-apa." Pemuda itu menghela napasnya kasar dan berusaha untuk memalingkan wajahnya segera. Namun, temannya satu itu berdecak kesal dan mengambil paksa tas backpack pemuda yang kerap disapa Fadhil itu.

"Itu tidak sopan! Kembalikan, Laila!" pekiknya seraya beranjak dari bangku dan menarik tas backpacknya kembali. Temannya yang disebutkan tadi bernama Laila. Laila terus memundurkan langkahnya, agar dapat menjauh dari Fadhil dan ia pun berhasil mendapatkan gumpalan kertas yang diketahui berisikan puisinya.

Laila melemparkan tas backpack tersebut kepada pemiliknya. Dan ia pun langsung membaca puisi yang telah Fadhil buat tadi.

Entah mengapa sekelebat binar indah di matanya sekilas mencuat—saat ia membacanya. Laila menoleh kearah Fadhil dengan tatapan yang tak dapat diartikan itu, "Wah? Kamu seorang penyair?" Air mata Laila jatuh, membuat Fadhil panik dan segera meraih secarik kertas yang sudah kusut itu.

Fadhil terdiam, ia bingung harus menjawab pertanyaan dari Laila barusan. Karena itu sudah jelas hanya sebagai 'karangan iseng belaka'.

"Itu—"

"—Kamu gak bisa menjawabnya?" pangkas Laila seraya menyeka kedua maniknya, hari ini ia begitu emosional rupanya.

Fadhil menghela napasnya, kemudian menunduk, "Itu puisi yang ku buat untuk kakakku. Aku berharap ia masih berada di sisiku hingga detik ini juga, nahasnya—ia telah tiada."

Napas pemuda tersebut nampak tercekat dan lidahnya begitu kelu saat mengucapkan kalimat terakhirnya. Laila yang melihat, mendengar dan merasakan apa yang dirasakan Fadhil di depannya saat ini—membuatnya simpati.

"Aku merasa belum cukup kuat untuk menerima semua kenyataan ini, mengingat bahwa kami dahulu suka sekali bermain, tertawa, sampai menangis bersama-sama. Kini hanya tinggal sebagai kenangan." pungkasnya, pemuda itu meraih backpacknya dan melewati Laila begitu saja.

Entah mengapa, Laila merasa bahwa Fadhil butuh bahu untuk bersandar, ia mengetahui kalau pemuda itu sangat ingin menangis—namun, ia tak tahu harus bertindak seperti apa lagi terhadapnya.

Tak lama, Laila menahan lengan Fadhil. Menatap kedua manik sayu pemuda itu lekat-lekat. "Jangan pernah kamu sesali apa yang telah tiada, masa lalu biarlah berlalu. Ketiadaannya adalah kehendak Tuhan, Kamu tidak berhak mengatakan suatu hal yang justru membuatmu jauh merasa lebih rendah,"

"Kata bundaku, semakin kamu menerima dan berdamai dengan kenyataan yang ada, hal itu bisa membuat kakakmu merasa lebih tenang di Sana. Aku yakin, kamu bisa melalui ini semua. Karena masa sekarang adalah penentuan langkahmu pada saat ini—memilih untuk berjalan ke depan, atau berlari ke belakang. Sepertinya aku tahu apa maksud dari puisimu ini. Berhentilah merasa tidak cukup, Fadhil."

Ucapan Laila barusan membuat Fadhil merasa terenyuh. Kedua manik yang semula sayu, seketika berubah banjir. Ia menangis. Laila segera menarik lengan Fadhil dan memeluknya erat.

'Puisimu indah, aku bisa melihat harmoni sekumpulan anak kecil yang sedang bermain di padang rumput pada saat hangatnya siang menjelang sore hari. Dan juga sekelebat aku melihat ada sudut pandang yang putus asa nan semu, yaitu... Kamu.' batin Laila seraya mengusap lembut punggung Fadhil.

****

[The End]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hearts Awakened, Live AliveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang