14. Tanggung Jawab

1K 106 56
                                    

Tangan Janu meraih lehernya sendiri yang dipenuhi dengan bercak merah keunguan. Mengelusnya secara perlahan menggunakan ujung jemari. Sementara sepasang mata tak bisa lepas sedikit pun dari pantulan diri di depan cermin kaki. Ekspresi tidak percaya perlahan berganti menjadi merengut sebal yang terukir di wajah. Janu hanya bisa menghela napas pasrah menerima ukiran-ukiran hasil Mahakarya sang Kekasih kini. Salahnya sendiri memang, terlalu terbuai dengan permainan Sagara yang begitu nikmat, ia sampai tidak sadar diri dan meminta ditandai. Tapi, ia tidak menyangka, Sagara akan benar-benar mengukirnya di tempat yang benar-benar terlihat jelas seperti ini.

Kalau begini, meski ia memaksakan diri ke kampus sekalipun, bagaimana caranya menyembunyikan ukiran-ukiran Mahakarya sang Kekasih?

Wajah Janu memanas kala bola mata bergulir tatapi pantulan dada yang masih terekspos lantaran kemejanya belum terkancing sempurna. Bercak merah keunguan hasil karya Sagara juga memenuhinya di sana. Buat rona merah segar kembali hiasi pipi hingga telinga. Mendadak teringat lengkingan manja yang keluar tiada henti dari mulutnya kemarin sore.

Sama sekali tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahkan di fantasi terliar seorang Janu Damas Adara sekalipun, ia akan meraung penuh kenikmatan di bawah seorang laki-laki lain. Melengkingkan nama seorang laki-laki. Hingga terbuai dengan segala sentuhan-sentuhan lembut yang mencurahkan segala bentuk afeksi. Buat dirinya teradiksi. Inginkan lagi dan lagi. 

Janu, kamu boti banget! ―rutuknya pada dirinya sendiri yang tidak bisa ia ungkapkan secara lantang. 

Tapi, bagaimana dirinya tidak mau teradiksi ataupun meraung nikmat saat Sagara sendiri begitu lihai dalam permainannya. Seolah-olah itu memang bukan benar-benar yang pertama untuknya. Belum lagi Sagara selalu memperlakukan dirinya begitu tinggi. Buat dirinya merasa spesial. Buat dirinya merasa begitu dipuja. Buat ia selalu inginkan afeksi sang Kekasih lagi dan lagi. 

Janu merasa dirinya semakin serakah.  

Rasakan tangan di pinggangnya, Janu secara refleks sandarkan kepala pada Sagara yang berdiri di belakangnya. Matanya kini beralih kagumi pantulan sang obsidian yang berkilau di balik kelopak lentik yang masih setengah terpejam. Sementara tangannya menunjuk pantulan diri yang ada di cermin diikuti dengan bibirnya yang mencebik. "Coba, deh, liat. Gara-gara kamu, aku ke kampusnya gimana coba?"

Sagara melabuhkan kecupan gemas pada pipi Janu yang masih memerah samar. Digigitnya hingga undang protes sang empunya. 

"Ya, tinggal bilang, itu ulah pacar kamu," sahut Sagara ringan. Tangannya semakin melingkar erat pada perut rata sang Kekasih. Sementara dagu ditaruhnya dengan santai di atas pundak Kesayangannya. Sudut bibirnya terangkat. Sementara sang obdsidian kini tiada hentinya pandangi penuh kagum hasil karya miliknya yang terpantul di cermin. "Ulahnya si Sagara, Mahasiswa jurusan desain permainan. Biar anak-anak di kampus tau, kamu itu punya aku."

Janu lemparkan tatapan tidak percaya. Agaknya merasa heran, kenapa Sagara bisa berbicara begitu ringan. Seolah-olah mempublikasikan hubungan mereka bukanlah hal berat untuknya. Seolah-olah laki-laki itu sudah benar-benar siap dengan segala risiko yang akan mereka hadapi. Sejujurnya, jikalau bisa pun, Janu juga ingin. Ingin dia pamerkan dengan dada yang membusung bangga siapa sang tambatan hati miliknya. Tapi itu tidak mungkin untuk sekarang. Katakan dirinya pengecut, tapi nyatanya ia memang belum siap untuk lawan dunia. 

"Ya, kali?" Decakan keluar dari mulutnya. Dicubitnya dengan gemas punggung tangan sang Kekasih. Bibirnya kembali mengerucut sebal. "Lagian, buat apa juga mereka tau."

Sagara kembali bubuhkan kecupan-kecupan kecil di atas bahu yang terbalut kain rayon kelabu. "Biar mereka nggak ada yang deketin kamu. Kamu nggak tau emangnya? Di jurusan aku aja banyak yang naksir kamu." 

Fudanshit [SungJake]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang