19. Maaf

578 69 66
                                    

Content warning : homophobia, heteronormative world  

――

Pernyataan sang Bunda yang baru saja tertangkap oleh rungunya, sukses buat Janu mendadak kaku. Bahkan untuk memberikan respon pun lidahnya terasa kelu. Dia hanya bisa termangu. Diam seribu bahasa dengan gurat tidak percaya. Sementara isi kepalanya secara perlahan mulai membentuk rangkaian berbagai macam rutukan dan makian yang siap untuk dimuntahkannya saat bertemu Sagara nantinya. 

Meski sejujurnya pun, ada sedikit keraguan jikalau memang Sagara yang membeberkan hubungan mereka berdua.

Rasanya tidak mungkin. Mustahil. Meski terkadang dalam beberapa hal Sagara memang suka membuka mulutnya secara serampangan dan juga suka sekali mengatakan hal-hal yang tidak perlu, tapi dia yakin, Kekasih tingginya satu itu tidak mungkin mengatakan sesuatu pada sang Bunda mengenai hubungan mereka. 

Janu yakin, Sagara tahu konsekuensi hubungan mereka itu tabu. Sebuah anomali di masyarakat luas. Begitu kelabu hingga tidak mungkin bisa dibicarakan dengan lantang kendati mereka menjalaninya semanis gulali merah muda. 

Dan lagi, Kekasihnya satu itu sudah lebih dahulu berjanji pada dirinya sebelumnya, hanya memperkenalkan diri sebagai seorang teman. 

Lalu, jikalau bukan Sagara, dari mana gerangan Bunda mengetahui hubungannya dengan Sagara?

Janu bingung bukan main. Perasaannya mendadak kalut. Lagipula dirinya meyakini sedari tadi pun ia tidak lakukan atau tunjukkan afeksi yang berlebih dengan Sagara saat lakukan konversasi yang hanya terisi sepatah, dua patah kata―bahkan saat itu terjadi pun, Janu sama sekali tidak ada keberanian sedikit pun untuk menatap sang Kekasih. 

Lalu, bagaimana Bunda masih bisa membacanya? 

Atau semua yang ada di dalam dirinya memang begitu transparan hingga dengan mudah sang Bunda bisa membacanya seperti sebuah buku?

"Kok, Adek malah bengong?" Sang Bunda tersenyum dengan lembut, tangannya meraih tangan si bungsu yang masih diam termangu, lalu mengenggamnya dengan erat, "Masuk dulu, ya? Abis ini kita bahas di dalem."

Untuk kali pertamanya, alih-alih merasa tenang dan juga senang mendapati senyuman yang terukir di wajah sang Bunda, Janu kini justru rasakan alarm tanda bahaya. Dengan gamang, ia melangkah, mengikuti jejak wanita cantik yang tidak tampak berusia lima puluhan awal yang berjalan di depannya. Hatinya begitu resah, sementara jantungnya mulai berisik. Berdentum-dentum dengan tidak nyaman. Sementara berbagai skenario buruk mulai tercipta dan berputar di kepala.

Janu tidak pernah tahu, bagaimana pandangan kedua orang tuanya ataupun Abangnya sendiri mengenai orientasi seksual yang berbeda pada umumnya. Mereka tidak pernah memberitahunya―ya, karena untuk apa?―Tapi, ia yakin, sudah pasti terbesit rasa kecewa pada Bundanya, karena bagaimanapun salah satu anak laki-lakinya justru menyukai dan menjalin hubungan dengan seorang laki-laki juga. Tidak normal. Sebuah anomali. Aib keluarga.

Bagaimana setelah ini, dirinya benar-benar diusir dari rumah? Mendapati namanya dicoret dari dalam kartu keluarga?

Janu mau tertawa. Menertawai dirinya sendiri dengan miris. Ia tidak pernah menyangka, lelucon konyol yang terdengar tidak masuk akal dulu ditelinganya; dicoret dari kartu keluarga itu justru benar-benar akan terjadi pada dirinya sendiri setelah ini. 

Tangan Janu meremas tali tas selempangnya kian erat, sementara kakinya bergerak-gerak dengan gelisah, sesekali sepasang karamel miliknya melirik pada wanita paruh baya yang kini berdiri di sebelahnya menanti di depan pintu lift. Dan saat ini, Janu benar-benar berharap agar lift yang mereka nanti tidak kunjung sampai. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fudanshit [SungJake]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang