Chapter 4. Ranjang Ruang Kesehatan

76K 214 0
                                    

Chapter 4

Ranjang Ruang Kesehatan

Kakiku dibentangkan sangat lebar.

Wajah Pak Tristan ada di antara pahaku yang terbuka. Tepat di depan kewanitaanku yang terpapar. Aku masih mengenakan celana olah raga yang menyingsing semakin pendek saat paha gue dibuka lebar. Aku nggak tahu apa yang dilakukan Pak Tristan di sana, nggak ada yang terjadi. Yang kurasakan hanya belaian embus napas hangat di milikku yang basah. Aku mendongak, menunggu-nunggu dengan penasaran. Saat aku tengadah ke atas, ternyata tepat di atas kepalaku ada cermin yang dipasang di atas jendela. Sepertinya itu dipasang di sana untuk memastikan tidak ada siswa yang membolos dengan pura-pura sakit. Karena perhatian Pak Tristan sedang tersita sepenuhnya ke milikku, aku bisa mengawasinya dengan leluasa. Ternyata dia hanya diam, seperti mengagumi entah apa. Dia juga mengendus-endus sambil memejamkan matanya. Menhidu aroma intim yang menguar di antara dua pahaku.

Debar jantungku semakin kencang. Hampir-hampir nggak terkendali. Kenapa dia memandanginya saja? Apa ada yang salah? Apa Pak Tristan tidak merasa geli menghirup aroma kewanitaanku? Dari sana aku mengeluarkan air seni, seharusnya dia merasa jijik, kan? Kenapa dia menatapnya penuh minat, dan menghirupnya seakan aromanya menggugah selera? Pipiku memanas. Aku mulai merasa malu dan tanpa sadar ingin menutup kakiku, tapi Pak Tristan mengerang dan menahannya tetap terbuka.

“Mmmhhh…,” hirupnya dalam-dalam. Jantungku berhenti berdetak sama sekali. Sesuatu menyentuh tepat di tengah milikku. Dari pantulan cermin aku melihat hidup bangir Pak Tristan beradu dengan kewanitaanku. Dia maju, menekannya dengan wajahnya. Aku tergemap. Pak Tristan membuka mulut dan mencelangapnya.

NGGGHHH!!!

Aku mencengkeram pinggiran ranjang dengan kedua tangan di sisi pinggangku. Menahan perasaan yang meluap di dalam dadaku. Kupikir, saat mulut Pak Tristan mengunyah payudaraku, aku melayang ke langit ke tujuh, ternyata ini lebih gila lagi rasanya. Aku seperti dihempaskan di awan dan tubuhku memantul-mantul ringan di atas kapas. Cengkeramanku semakin erat. Pak Tristan menjulurkan lidah. Dia menjilat.

Unggghhh… Mama… tolong akuuuh…, rintihku di dalam hati,

Jantungku seperti akan meledak. Pak Tristan menjilatiku seperti menjilati es krim, padahal aku masih mengenakan celana lengkap. Dia membuatnya semakin basah. Sekarang selain milikku yang mencair, ludahnya membuatku basah kuyup. Lidah Pak Tristan menggesekku, menekan-nekan gemas liang di balik celanaku. Aku menggeliat resah, masih dengan mata setengah terpejam. Pak Tristan tak peduli dengan gerakanku, dia terus mencumbu celana olah ragaku. Memagut, mengunyah, mencokot-cokotnya dengan nikmat.

“Ahhh… fuck,” geramnya.

Dia lalu mengevaluasi milikku dengan menjauhkan kepalanya dariku. Kedua tangannya menahan pahaku. Lalu dia merunduk lagi dan menjilat lagi. Sambil menjilat, dia juga menusukkan jarinya tepat di liangku. Aku tersentak mundur. Pak Tristan berhenti dan menunggu. Aku masih berdiam. Pak Tristan tersenyum miring. Terlihat dari cermin di atas kepalaku. Dari bawah, dia hanya bisa melihat leher dan daguku yang mendongak. Dia menyeringai sambil menekan-nekan milikku lagi dengan jarinya. Dia menggesernya ke atas, ke bawah, menekan semakin dalam. Saat menemukan biji kecil di atas vulvaku, dia menggetarkannya dengan ujung jari, bergantian dengan lidahnya.

Aku menggelinjang. Pahaku bergetar. Panggulku terangkat menghindar, tapi Pak Tristan menekanku kembali ke permukaan ranjang dengan dagunya. “Mimpi apa kamu, Katya Sayang?” tanyanya. “Gerakan pinggulnya seksi sekali,” gumamnya, kali ini nggak bicara denganku. Dia menciumi pada dalamku, menyusurinya sambi ke lutut kemudian berpindah ke lututku yang lain dan menyusur ke bawah, bertemu lagi dengan kewanitaanku.

“Apa yang harus kulakukan dengan ini?” raung Pak Tristan setelah puas mencumbu celana olah ragaku. Dia berlutut di antara kedua kakiku dan memelorotkan celana boxernya. Aku tersentak saat menyaksikan betapa perkasa batang dalam genggaman tangannya. Pak Tristan mengurutnya sambil meringis. Dia lalu jatuh menimpaku lagi. Aku cepat-cepat menutup mata sebelum dia merenggut kepalaku dan memagut panas bibirku. Aku terengah, sangat sulit untuk tetap pura-pura pingsan dengan ciuman sebuas itu. Dia seperti sengaja ingin membangunkanku dan meraung jengkel saat nggak berhasil.

Tristan, Don't!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang