BAB 4

16 7 0
                                    

Pekerjaannya seputar mengasuh anak-anak, tapi sejak kapan dia harus mengurus semua hal yang ada di rumah itu. Tanggung jawabnya bertambah ketika ayah Kawaki mengurus banyak kerjaan. Pria itu mengurung diri di kamar, keluar hanya untuk makan, itu pun dia masih harus memandang tabletnya, atau paling tidak dia keluar dengan satu buku gambar dan mencoret-coret buku gambar itu menggunakan pensil yang selalu terselip di telinganya.

"Kawaki, setelah semuanya selesai, ayo kita pergi berlibur," Naruto melirik Hinata ketika Kawaki tidak merespons ucapannya. "Katakan sesuatu, maksudnya, apakah kamu ingin pergi ke sebuah tempat yang bagus, yang Kawaki sukai?"

Hinata menggelengkan kepalanya kepada Naruto, dia berharap pria itu tidak memaksa putranya untuk berbicara. "Kawaki," dia memanggil dengan suara lembut, dan anak itu melirik Hinata, berhenti dari kegiatannya untuk menyusun mainannya yang berantakan. "Bibi akan merapikan mainan ini untukmu, jadi fokus saja dengan makan malammu."

"Oke."

Naruto memelotot, dia berpikir sejak kapan Kawaki dapat menyerukan kata-kata semacam itu. Kawaki bukan anak normal yang bisa menirukan seseorang berbicara. Kawaki suka melamun, tetapi dokternya bilang kalau sebenarnya Kawaki tidak benar-benar melamun. Anak seperti Kawaki merekam apa pun yang dia dengar dan dia lihat. Dia adalah anak genius yang tidak boleh diremehkan, hanya sesuatu tampaknya berbeda untuk anak sepertinya dan sering kali diremehkan.

"Apa kamu yang mengajarinya?"

"Tidak."

"Lalu, bagaimana bisa dia menjawab 'oke' dengan mudahnya?"

"Sepertinya karena waktu itu," Naruto lebih serius menyimak. Akhir-akhir ini dia tidak punya waktu untuk Kawaki—anak itu lebih banyak menghabiskan waktunya bersama sang pengasuh, dia tidak tahu apa yang sudah dilewati Kawaki selama dia tidak bersama anak itu. Apalagi Kawaki mulai sering keluar rumah untuk bertemu beberapa anak di waktu tertentu. "Sore itu, di taman, aku pergi ke sana bersama Kawaki, ada banyak anak-anak bermain dan berinteraksi. Kawaki terlihat tidak tertarik, tetapi dia tidak bisa berhenti melihat mereka berbicara satu sama lain."

"Jadi maksudmu, dia tertarik untuk berteman?"

"Dia mencoba memahami semua kalimat yang keluar dari interaksi tersebut. Anak seperti Kawaki sering kali disepelekan. Padahal mereka punya cara belajar yang agaknya berbeda. Kawaki suka mengamati sesuatu untuk belajar daripada kita mengajarinya banyak hal."

Naruto tanpa sadar takjub pada semua penjelasan Hinata. Pengasuh-pengasuh yang pernah dipekerjakannya tak pernah membuatnya takjub dan terdiam. Kebanyakan dari mereka dituntut untuk hanya menyayangi daripada memahami anak seperti Kawaki.

"Aku senang kamu ada untuk Kawaki."

"Senang? Kenapa?"

"Dia tidak hanya butuh seorang teman, tetapi orang yang memahaminya. Kebanyakan pengasuhnya hanya tahu untuk menjaganya, dan mereka sendiri tidak pandai berinteraksi dengannya."

Masalahnya Hinata punya cara berpikir yang agaknya berbeda dari Naruto. Anak seperti Kawaki justru membutuhkan orang terdekatnya untuk berada di sisinya, mengenalkan dunia dan sekitarnya. Kawaki tidak butuh siapa pun kecuali keluarganya. Tapi ketika Hinata melihat seberapa banyak pekerjaan dan keseharian pria itu sebagai seorang arsitek profesional, Hinata tidak dapat atau mungkin dia tidak berhak menasihati pria itu. Siapa memang dia bagi pria itu? Seorang pengasuh yang datang karena dipekerjakan. Semua urusan pribadi pria itu dan kehidupannya tidak ada sangkut pautnya. Sebatas itulah kehidupan dia dan ayah Kawaki.

Hinata kemudian mendekati Kawaki ketika anak itu menumpahkan makanannya secara tidak sengaja. Kawaki punya imajinasi yang sukar dipahami, dan sering kali anak itu melihat langit-langit dengan bibir terdiam, tetapi matanya bergerak seakan melihat sesuatu yang melayang-layang. Kawaki suka dengan peta dunia, suka dengan tata surya, suka dengan planet-planet dan bintang, dan yang paling dibencinya adalah hujan.

"Kawaki, biar bibi bersihkan untukmu."

Di tempatnya berdiri, Naruto mengamati Kawaki yang begitu cepat menurut setiap perkataan Hinata. Anak itu langsung berdiri dan mengamati pengasuhnya membersihkan makanannya yang berceceran di lantai. Hari ini banyak sekali pekerjaan yang dilakukan pengasuh yang dipekerjakannya itu. Perempuan itu datang lebih pagi, membuat sarapan untuk Kawaki dan dirinya. Membersihkan teras dan ruang tamu, tidak lupa membersihkan kamar Kawaki yang berantakan penuh dengan mainan.

Malam harinya, Hinata si pengasuh tetap bekerja untuk membuatkan makan malam. Dia layaknya ibu rumah tangga yang mengurus semua keperluan di rumah itu. Naruto mengamati seperti biasa—selalu dilakukannya dan tampaknya semakin tertarik setiap harinya ketika Hinata menyuapi dan membersihkan wajah Kawaki yang penuh dengan makanan.

"Aku melihat laporan berat badannya terus naik."

Hinata memerhatikan Naruto. "Itu benar."

"Dia suka dengan masakanmu," katanya dengan seolah menertawakan dirinya sendiri. "Aku memang tidak pandai masak. Setiap hari aku belajar apa pun untuk Kawaki agar mau makan. Sepertinya tidak berhasil. Aku memang tidak berbakat untuk itu. Aku merasa beruntung hari ini karena dia mau makan dengan lahap sampai berat badannya naik."

Hinata tersenyum sambil menatap Kawaki selagi menuangkan air ke dalam gelas anak itu. "Makanlah yang banyak."

"Makan banyak," seru Kawaki, lalu dia mengamati Hinata dan tersenyum. "Kawaki makan banyak."

"Dan tumbulah menjadi anak yang hebat."

"Kawaki sudah hebat." Anak itu menjawab, dan semua orang tertawa menanggapi Kawaki. "Ingin seperti Papa," Kawaki melirik papanya yang membisu tiba-tiba. "Menggambar rumah yang bagus."

Kemajuan Kawaki berbicara sangat dinantinya setiap hari, tapi dia tidak pernah mengira untuk mendapatkan pujian dari anak itu, apalagi anak itu tahu apa yang dikerjakan olehnya selama ini. Semuanya mungkin tampak jahat ketika Naruto sudah putus asa lebih cepat, menganggap Kawaki tidak akan pernah melihat atau mau memahami orang-orang di sekitarnya. Kini Naruto menyadari, dia terlalu mudah untuk menyerah, dan itu bukan dirinya—dia adalah pria yang akan melakukan apa pun tanpa menyerah, yang bisa dibilang kehidupannya menyerupai sebuah obsesi demi tujuan yang diharapkannya.

BERSAMBUNG

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Forgotten Dream [PDF ON KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang