BAB 2

99 22 3
                                    


Tidak ada yang aneh dari perempuan itu, di mana membuat Kawaki bergerak untuk menerima permen darinya. Namun mengapa, orang asing itu membuat Kawaki memiliki sebuah ketertarikan. Kawaki tidak suka terlibat dengan orang tidak dikenalnya. Butuh waktu lama untuk bisa akrab dengan anak itu. Akan tetapi perempuan itu menjadi pengecualian untuk pertama kalinya. 

Kawaki masih asyik menikmati permen dari perempuan asing itu. Awalnya dia tidak percaya harus membiarkan anak itu menikmati permen yang tidak tahu komposisi di dalamnya. Dan daripada dia membuat keributan yang lebih tidak masuk akal, dia memberikannya begitu saja kepada Kawaki yang akhirnya tenang. 

"Kawaki," Naruto berlutut di depan anak itu. "Papa bisa membelikan permen ataupun cokelat yang Kawaki suka. Kita bisa pergi sekarang juga kalau kamu mau. Mengapa kamu harus makan permen dari orang asing itu?" 

Seperti sebelumnya, Kawaki tidak pernah membalas satu pun kalimat dari lawan bicaranya. Hari ini mereka akhirnya tidak jadi pergi ke toko buku, semua itu karena kehadiran dari perempuan aneh tadi, meskipun begitu dapat diterima mengingat Kawaki menjadi lebih tenang.

Setelah anak itu tertidur pulas, malam harinya Naruto masih berkutat dengan pekerjaannya, tapi dia tidak fokus untuk mengerjakan semuanya. Dia memikirkan banyak hal, sesuatu yang masih membuatnya penasaran hebat. Perempuan itu, ya perempuan itu, siapa kira-kira. Naruto menjadi lebih cemas, dan dia berakhir menghubungi ibunya. Wanita itu menyuruhnya untuk melihat respons Kawaki bilamana pertemuan seperti itu terjadi untuk ke sekian kalinya. 

Tidak butuh waktu lama, keesokan harinya, ketika Kawaki selalu berada di depan jendela, Anak itu lagi-lagi tersenyum ceria dan melambaikan tangan. "Bibi!" dia berseru, memanggil orang di seberang sana. "Permen!" Naruto tertegun dan matanya terbelalak. Selama ini Kawaki tidak pernah memanggil seseorang atau meminta sesuatu. Anak itu selalu diam dan hanya menunggu. Namun kali ini, untuk pertama kalinya Kawaki menjadi lebih energik dari biasanya.

Naruto melirik ke luar jendela, wanita dengan penampilan sederhana itu hanya melambaikan tangannya dan tersenyum ke arah Kawaki tanpa memberi sesuatu yang diminta oleh anak itu. Saat perempuan itu pergi, Kawaki menjadi lebih gelisah. Kakinya melompat-lompat, sedangkan Naruto segera menghampiri anak itu dengan cepat. 

"Kawaki!" dia menggapai pipi gembil anak itu yang memerah. "Kawaki, apa yang kamu katakan barusan? Kamu memanggilnya apa? Bibi? Kamu meminta permen darinya?" Naruto memeluk Kawaki sangat erat seakan-akan itu rasa syukurnya atau dia merasa kalah pada orang asing yang menyita perhatian anak itu dengan cepat. Ternyata dia sangat tidak siap bersaing dengan orang lain atas perhatian Kawaki. 

Namun mau bagaimanapun dia harusnya merasa bahagia ketika anak itu bisa bicara meski agaknya masih terdengar kaku. Segera saat itu, Naruto menghubungi dokter yang menangani Kawaki selama ini, lantas meminta Naruto dan anak itu untuk datang pada jadwal yang sudah diatur di kemudian hari.

Besoknya, Naruto pergi bersama Kawaki, tetapi dia agaknya memancing Kawaki untuk bicara sedikit lagi dengan menunggu kedatangan perempuan yang biasa melintas di depan rumah mereka. Naruto bahkan tidak tahu di mana tempat tinggal perempuan itu, mengingat di sekitarnya banyak sekali rumah-rumah selain itu apartemen dan apato

"Bibi," Kawaki berseru kecil di dalam mobil. "Bibi. Permen."

Naruto keluar dari mobil lagi, padahal dia akan menyalakan mobil itu dan segera pergi saat dirasa perempuan itu mungkin saja tidak bakal muncul. 

"Tunggu sebentar," dia meminta dengan tidak sabar, mendekati perempuan asing itu dengan tergesa-gesa. "Maaf, tapi apa kamu tinggal di sekitar sini?" 

"Saya tinggal di apartemen itu," perempuan itu melirik Kawaki yang tersenyum di dalam mobil selagi tangannya masih menunjuk sebuah apartemen yang tidak jauh dari tempat tinggal Naruto. "Anda akan pergi?" 

"Ya, aku akan pergi bersama putraku." 

"Kalau begitu hati-hati di jalan." 

"Tidak ada yang ingin kamu katakan kepadaku?" 

Perempuan itu diam sesaat, sebelum akhirnya tersenyum. "Mengapa tiba-tiba saja Anda terlihat akrab dengan saya. Saya tidak nyaman dengan percakapan di antara kita," Naruto menggaruk belakang lehernya karena malu. "Apa ada yang membuat Anda resah?"

"Tentu saja," jawab Naruto secepat mungkin. "Putraku, semenjak menyapamu dia menjadi aneh," perempuan itu pun melirik ke arah Kawaki lagi. "Dia lebih energik dan dia berbicara." 

"Bukankah dia harus berbicara? Kemarin, itu bukan kali pertama kami bertemu." 

"Apa maksudmu?" 

"Saat Anda baru pindah, anak itu terlihat sendirian duduk di luar dan hanya melihat beberapa orang yang sibuk menata sudut rumah," Naruto diam sebentar, dia jadi teringat saat pertama kali pindah. Soal itu, dia memang secara mendadak pindah tanpa persiapan yang jelas. Naruto bahkan tidak menyadari pada momen ketika dia meninggalkan Kawaki sebentar karena mengurus pindahan. Di dalam ingatannya, anak itu selalu ada di sekitarnya, dia tidak pernah membiarkan Kawaki duduk termenung sendirian apalagi di luar. "Saya melihatnya terdiam dan matanya mengamati orang-orang itu. Saya mencoba mendekatinya dan bertanya, dia memang tidak langsung menjawabnya, tiba-tiba saja dia meminta permen yang saya bawa, dan saya memberikan untuknya."

"Permen?" 

Perempuan itu mengangguk. "Ah, saya belum memperkenalkan diri, saya Hinata Hyuuga, salam kenal. Saya kira, karena saya mantan pengasuh anak-anak, sehingga Kawaki terlihat nyaman bersama saya," dia menunduk sebentar. "Tapi itu tidak bisa dijadikan alasan mengapa Kawaki berbicara kepada saya dan berani meminta permen dari saya." 

Naruto mengangguk. "Kamu benar." 

Dia merogoh tas kecilnya sekali lagi dan mendekati mobil. "Jadi namamu Kawaki," dia tersenyum memberikan permen itu kepada Kawaki. "Bibi akan memberikan dua permen untukmu hari ini. Jangan terlalu banyak makan permen ya. Itu tidak baik untuk gigimu, jadi simpan permen itu untuk hari ini." 

Senyuman Kawaki membuat Naruto lagi-lagi terdiam. Dia tidak bisa membuat anak itu berbicara, tidak bisa pula membuat anak itu tersenyum dengan manisnya. Dia bertanya-tanya apakah Kawaki seperti ini karena dia tidak becus menjadi seorang ayah? 


BERSAMBUNG

Forgotten Dream [PDF ON KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang