Di dalam kamarnya, seusai berjalan-jalan bersama Arum, Mahajana memutuskan untuk mengotak-atik radio yang ia dapat dari toko Bu Surti. Begitu riang nya hati Mahajana, kini ia tidak perlu lagi saling pinjam-meminjam radio bersama bapaknya, sebab setelah ini Mahajana sudah resmi memiliki radio pribadi.
Di ruang tamu, Ratna menceritakan kepada Bayu bahwa anak pertama mereka yang tidak lain adalah Mahajana baru saja membeli radio.
"Sebenarnya bukan masalah, aku cuma heran. Kok bisa ya, beli radio di toko barang lama tapi kelihatan seperti baru."
Bayu meneguk gelas berisi kopinya. "Ya sudahlah Bunda, bagus itu berarti. Tandanya, anak kita bisa memilih."
Ratna berdecak. "Bukan begitu. Jangan-jangan Mahajana berbohong. Bilangnya beli di toko barang bekas, tahu-tahu beli baru. Kan sayang uangnya kalau dipakai beli radio."
Bayu meregangkan ototnya lalu sedikit terbatuk. "Apa salahnya membeli radio? Itu lebih bagus ketimbang anak kita berjudi—"
"Astaghfirullah, ayah!! Amit-amit Mahajana begitu! Kita sudah keluar banyak uang untuk menyekolahkan dia, dulu setiap malam kita suruh dia pergi mengaji di musholla. Tidak lucu kalau anak seperti dia berjudi!" Ratna mengelus dadanya. Sementara Bayu terkekeh.
"Nah, justru itu. Lebih baik beli radio daripada berjudi. Lagipula, nanti, beberapa tahun kedepan dari sekarang, radio dan televisi itu pasti punah di makan zaman."
Ratna menghela nafas. "Tahu darimana? Kita kan belum pernah mengalami berada di zaman yang lebih modern dari ini?"
"Ucapanku akan ada benarnya. Kita buktikan saja nanti."
Suara teriakan seseorang membuat obrolan Bayu dan Ratna terhenti. Nirmala baru saja pulang rupanya. Ia menarik tasnya dan melempar ke sembarang arah. Perempuan yang masih menggunakan seragam Sekolah Menengah Pertama itu ikut duduk bersama orang tuanya.
"Kamu ini, pulang-pulang tidak ada ceria-cerianya." Ratna geleng-geleng kepala melihat keadaan Nirmala yang sangat kusut.
"Aku lelah Bunda. Matematika ulangan harian melulu. Rasanya seperti dibunuh perlahan, makan tidak kenyang, tidur tidak nyenyak, hidup pun tidak bergairah." Ucap Nirmala dengan nada penuh keputusasaan.
"Halah kamu itu, baru segitu. Belum nanti masuk SMA. Mata pelajarannya lebih susah lagi." Bayu menakut-nakuti. Wajah Nirmala pucat pasih.
" Ayaaaaaaah. Jangan menakut-nakuti begitu. Aku kan jadi takut masuk SMA."
Tanpa mereka sadari, Mahajana sedari tadi sudah berdiri di depan pintu kamar. Lelaki itu berjalan menghampiri keluarganya yang sedang berkumpul diruang tengah. Ia mengambil posisi duduk di samping Bayu yang sedang menghabiskan gelas berisi kopi nya.
"Bagaimana radio barumu?" Tanya Bayu sambil berbisik.
"Ya tidak bagaimana-bagaimana. Aman saja." Jawab Mahajana.
"Kau beli di mana?"
"Di toko barang bekas, ayah. Kan aku sudah jelaskan."
"Lihat ibumu, curiga terus sedari tadi." Bayu sedikit memelankan suaranya. Tetapi tetap saja indera pendengaran Ratna yang tajam mampu menangkap pembicaraan antara bapak dan anak tersebut.
"Jangan coba-coba membohongi Bunda, Mahajana. Kamu sejak kecil sudah Bunda ajarkan mengaji. Ingat itu? Lalu, apa kamu ingin tetap berbohong?"
"Lho Bunda, aku tidak bohong. Aku tetap menjadi anak didik pak Ustad yang baik. Soal radio itu, itu memang benar radio dari toko barang bekas."
Ratna tidak semudah itu untuk dibuat percaya.
"Perlukah bunda panggilkan pak Ustad agar beliau membacakan dalil-dalil dan hukum seorang anak yang membohongi orang tuanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANTIKA MAHAJANA [ON GOING]
RomanceBagi Mahajana, Arum adalah salah satu mimpi yang harus ia wujudkan. Arum, dan Arum. Tetap dan selalu Arum. "Arum, panjang umur selalu. Sebab salah satu mimpiku ada pada dirimu." Dan bagi Arum, Mahajana adalah salah satu alasannya untuk tetap hidup...