Narasi AU 103 BIYH

1.7K 235 75
                                    




Kara akan mengulang kejadian hari ini dengan cara yang berbeda. Lima belas menit setelah bel pulang sekolah berdering, ia berjalan keluar kelas dan menyusuri koridor dengan langkah yang begitu pelan. Ia menghentikan langkahnya ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Ya, sesuai harapannya ia bertemu dengan Sita. Semua berawal dari sini.

"Ra!" panggil Sita.

Kara berbalik. "Iya, ada apa, Sita?"

"Tadi gue lihat Saci dibawa ke gudang belakang sama Cathy dan yang lain, Ra! Gue

yakin dia mau dikerjain di sana!" ujar Sita.

Detik itu juga Kara memasang wajah panik. Tanpa mengatakan hal apapun kepada Sita, ia berlari pergi menuju gudang belakang sekolah. Tepat di tikungan anak tangga ia menghentikan langkahnya, merapikan rambutnya dan melangkah dengan santai. Ya, hari ini ia akan mengetahui siapa empat siswi yang merundungnya saat itu. Sesampai di gudang belakang sekolah ia langsung masuk dan menunggu kedatangan empat siswi itu. Ia melirik ke arah kiri, tepat di balik susunan kursi yang tidak terpakai. Ada seseorang di sana.

Suara tawa dari arah belakang pun terdengar, Kara berbalik dan menemukan empat siswi yang memakai topeng melangkah masuk mendekati dirinya. Salah satu siswi di antara mereka kemudian menutup pintu gudang dengan keras. Kedua tangan Kara gemetar. Ingatan menyakitkan itu kembali muncul dan membuat dadanya sesak. Namun, ia berusaha memberanikan diri dan mengalahkan rasa takut itu.

Kara melangkah mundur seraya menatap empat siswi di hadapannya secara bergantian. Ia berteriak keras saat kedua tangannya dicengkram kuat oleh dua orang siswi yang kini berdiri di sisi kanan dan kirinya. "Kalian siapa?!" tanya Kara.

Kara berteriak saat salah satu dari mereka hendak membuka baju seragamnya dengan paksa. Ia memberontak. Pandangannya lalu teralih ke seorang siswi yang sedang merekam dirinya dengan ponsel.

Brakh!

Suara keras dari pintu gudang yang terbuka membuat Kara menghela napas lega. Sesuai rencana ia berpikir bahwa yang datang adalah Pak Agam, security sekolah. Namun, yang ia lihat adalah sosok Kale yang kini sedang berteriak keras sambil mencengkram tangan salah satu siswi yang memegang ponsel, kemudian merampas ponsel tersebut dengan kasar.

"BAJINGAN!" teriak Kale sambil menatap nyalang keempat siswi yang merundung Kara. "LO SEMUA CARI MATI SAMA GUE, SIALAN!"

Kedua tangan Kara yang sejak tadi dicengkram kuat oleh dua siswi di sisi kanan dan kirinya kemudian terlepas secara perlahan. Kedua siswi itu kini berdiri dengan kaki yang gemetar.

Kale menatap tajam salah satu dari mereka yang tadi berusaha melepaskan pakaian Kara. Ia melangkah maju, melepaskan topeng yang dipakai siswi itu dengan kasar. "Melany, anggota klub tari. Lo berurusan sama gue. Gue pastikan lo akan membayar semua ini."

"Ka-kale... Gu-gue, gue disuruh, Le. Sumpah, gue cuma dibayar, Le!" teriak Melany.

Kedua siswi yang berdiri di samping Kara ikut membuka topeng di wajah mereka ketika Kale melayangkan tatapan tajamnya. "Gue sebenarnya nggak tau nama lo berdua, tapi jangan kira lo berdua bakal aman dari ini semua."

Kale menoleh ke belakang, melihat pemilik ponsel yang ada di tangannya hendak pergi secara diam-diam. "Lo pikir lo bisa pergi gitu aja? Sita, mau lo kabur ke ujung dunia juga gue bakal cari lo sampe gue mati."

Ucapan Kale menghentikan langkah Sita. Gadis itu berbalik dan melepaskan topeng di wajahnya. Ia terduduk lemas di atas lantai dan menatap Kale sambil menangis. "Kale, gue minta maaf, Le. Tolong jangan laporin gue. Gue melakukan ini demi uang, Le. Gue butuh uang. Gue mohon, Le..."

Kale berdecih pelan, kemudian berjalan mendekati Sita. "Lo pikir gue bakal peduli? Saat lo dan teman-teman lo melakukan hal sekejam ini apa lo peduli dengan kondisi korban? Nggak, kan? Jadi, buat apa gue peduli sama lo semua?" tanya Kale. Ia berjongkok, mengangkat dagu Sita dan menatapnya tajam. "Gue bisa lebih kejam dari lo semua."

"Gue punya keluarga, Le...," ujar Sita sambil menangis terisak.

"LO PIKIR KARA NGGAK PUNYA KELUARGA?!" teriak Kale.

"Seenggaknya Kara nggak punya orangtua, Le. Gue punya. Gue anak pertama dan menjadi tulang punggung keluarga gue, Le."

Rahang Kale mengeras. Ucapan Sita membuat amarahnya semakin naik. "Jadi, menurut lo setiap anak yang nggak memiliki kedua orangtua wajar buat di-bully? Iya? Lo semua memang nggak punya hati dan akal pikiran! Tindakan lo semua sampah! Apa kalian bisa bertanggung jawab dengan tindakan kalian? Apa kalian bisa bertanggung jawab dengan mental korban? Di luar sana banyak orang yang mengakhiri hidupnya karena perundungan! Lantas, siapa yang akan tanggung jawab? Gue pastikan lo semua akan mendapatkan sanksi keras."

"Ta-tapi, lo kan nggak punya bukti, Le? Lo pikir, lo bisa melaporkan kami dengan tangan kosong?" tanya Melany.

Seorang siswi yang yang sejak tadi bersembunyi di balik susunan kursi kemudian keluar dan berhasil membuat mereka yang berada di gudang terkejut, kecuali Kara yang sejak awal sudah tahu akan keberadaan sahabatnya, Saci Oletta. 

Dengan berani Saci menunjukkan sebuah rekaman video yang ia ambil dari ponselnya. Rekaman itu berisi adegan perundungan yang dilakukan oleh Sita, Melany, Tiwi dan Mila. Mereka kalah telak.

Tidak lama dari itu Wije datang bersama seorang security dan Pak Jo guru olahraga. Mereka semua dibawa ke ruang guru untuk menjelaskan apa yang terjadi. Amarah Kale menyelimuti ruangan saat Kara menjelaskan apa yang Sita dan ketiga temannya lakukan kepada dirinya. 

Tangan Kale terkepal kuat saat Saci memutar video yang ada di ponselnya. Dan akhirnya amarah Kale tidak bisa tertahan lagi ketika mendengar nama Madeline dari mulut Sita. Sempat ada pertanyaan kenapa Saci bisa ada di gudang belakang sekolah dan merekam semuanya, kemudian Kara memberikan alasan bahwa ia mendengar percakapan Sita dan ketiga temannya tentang rencana perundungan terhadapnya. Agar di kemudian hari ia tidak diganggu lagi, ia meminta bantuan Saci untuk mendapatkan sebuah bukti.

"Dibayar berapa lo semua sama Maddy?! Sialan!" teriak Kale sambil mencengkram bahu Sita.

"Kale, tolong tenang, Nak," ujar Pak Harditama, kepala sekolah.

Wije menarik Kale dan berusaha menenangkan sahabatnya. "Le, tahan."

Madeline. Meski sejak awal Kara sudah menduga bahwa Maddy terlibat dalam kejadian ini, tapi rasanya terlalu sakit saat mendengarnya secara langsung. Apakah Maddy terlalu mencintai Kale sehingga gadis itu mampu melakukan tindakan kejam seperti ini? Ia memandang Kale yang masih ditenangkan oleh Wije. Ada banyak pertanyaan di kepalanya saat ini, termasuk kehadiran Kale di gudang belakang sekolah saat kejadian. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bloom In Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang