Lelaki di bawah hujan

15 2 2
                                    

Bagian 1

Netraku terpaku menatap kearah luar jendela kamar. Meniti siluet seseorang yang berdiri terdiam diluar pagar rumah seperti sedang menatap lurus kearah ku. Aku tidak bisa melihat dengan jelas seperti apa rupa wajahnya, karena keremangan cahaya menghalangi penglihatan ku yang masih mengantuk.

Untuk apa dia berdiri disana tengah malam begini? Mengapa juga memandangi arah kamar ku?

Tidak ingin menghiraukan keberadaanya disana, aku melanjutkan niat untuk menutup jendela serta gorden kamar yang terbuka. Padahal sebelumnya aku sudah memastikan bahwa jendela dan gorden selalu tertutup rapat sebelum aku bersiap untuk tidur.

Hawa malam ini juga terasa aneh bagiku, tiba-tiba aku merasakan suasana dingin yang sedikit berbeda. Seingatku, aku selalu menyetel pendingin ruangan di angka enam belas derajat, aku suka dingin, tapi rasanya kali ini lebih dingin daripada itu.

Aku kembali beranjak naik ke kasur ku, masuk kedalam selimut tebal yang membungkus tubuhku hingga batas dagu. Namun sebelum jatuh tertidur, aku meraih remote control pendingin ruangan yang berada diatas nakas samping tempat tidur, sedikit menaikan suhu nya agar aku tidak menggigil kedinginan ketika terlelap dengan hawa yang sedingin ini. Lalu aku memposisikan diri senyaman mungkin agar aku bisa cepat kembali jatuh ke alam mimpi.

Semoga kali ini mimpi indah yang menghampiri ku, bukan lagi seorang laki-laki yang selalu tersenyum sendu menatapku diujung jalan dengan membawa sebuah kotak ditangannya.

***
Aku mematut diri didepan stand mirror, menatap pantulan tubuhku yang telah siap dengan seragam sekolah sambil menata rambut panjang sepunggung ku untuk di ikat kuncir kuda. Merasa sudah rapi dan tidak kurang satu pun, aku lantas mengambil tas ransel yang bertengger di bahu kursi seraya menyambar sketchbook yang tersimpan diatas meja belajarku lalu memasukkannya kedalam tas dan bergegas menuruni tangga menuju ruang makan untuk sarapan.

Sampai disana, seperti biasa hanya kutemukan Mbok Inah yang kulihat tengah mengelap piring lalu disimpan kedalam rak, tidak ada lagi orang lain disana selain Mbok Inah. Mbok Inah menyadari kedatangan ku ketika bunyi derit kursi yang aku geser lalu aku duduk dengan tenang di kursi meja makan.

"Eh, Non Luna, sudah mau sarapan ya? Sebentar ya, Non, Mbok ambilkan sereal nya dulu di lemari, belum sempat Mbok taruh di meja makan tadi." Ujar Mbok Inah seraya tergopoh menyelesaikan pekerjaannya.

"Ngga usah, Mbok. Aku makan yang udah ada aja. Lagian bosen, sarapan sereal terus." Sahutku dengan terkekeh pelan.

"Baik, Non. Kalau gitu Mbok nerusin lap piring dulu ya, Non.

Aku mengangguk sekenanya. "Mbok Inah emangnya udah makan?" Tanyaku.

"Sudah, Non." Jawab Mbok Inah lalu melanjutkan pekerjaannya.

Aku mengambil satu centong nasi goreng yang sudah Mbok Inah masak untuk menu sarapan pagi ini ke piring yang sudah tersedia di hadapanku. Aku makan dengan tenang. Tidak ada orang lain yang bisa ku ajak bicara ketika sarapan.

Jika bertanya tentang kedua orang tua ku, mereka amat sangat sibuk. Mama dan papa selalu berangkat ke kantor pagi-pagi sekali sehingga tidak sempat untuk kami bisa sarapan bersama. Selalu begitu, aku tidak tahu kapan mereka pergi bekerja dan tidak tahu kapan mereka pulang. Karena setiap hari beginilah suasananya. Tidak masalah, suasana seperti ini sudah menjadi hal biasa bagi ku. Namun tetap saja, aku merasa kesepian dirumah ini karena aku anak tunggal.

Ada kala nya aku ingin protes pada mereka untuk setidaknya dalam waktu tujuh hari menyempatkan untuk sarapan bersama. Namun, aku juga merasa sudah cukup dewasa, meskipun usia ku masih remaja, untuk mengerti mengapa orang tua ku selalu melewatkan sarapan bersama setiap pagi. Aku benar-benar memakluminya.

JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang