Melukis wajah

14 2 2
                                    

Bagian 2

Kelas seni lukis hari ini tidak menentukan tema ataupun objek seperti biasanya untuk praktik dan materi. Kami dibebaskan untuk melukis apapun sesuka hati kami, tetapi harus memiliki arti sentimental dalam lukisan, dan setelahnya kami diminta untuk mempresentasikan hasil lukis didepan kelas diakhir waktu kelas nanti.

Awalnya aku tidak tahu harus menggambar apa, dan mendeskripsikan seperti apa lukisanku nanti ketika guru yang mengajar kelas seni menyampaikan tugas hari ini. Namun detik berikutnya, sekilas bayangan muncul di kepala ku dan begitu juga hati ku yang seolah mengatakan aku harus segera menggambarnya. Tanpa pikir panjang lagi, aku menggoreskan garis-garis yang semula abstrak diatas kanvas menjadi sebuah objek yang begitu sendu.

Aku tidak mengerti, perasaan apa yang kurasakan selama aku menggambar nya. Semua perasaan terasa bercampur aduk menjadi satu dalam hati ku. Menjadi tidak pasti tentang apa yang kurasa. Namun, ketika tanganku dengan lihai membentuk garis lengkung, perlahan dan jelas ku rasakan yang lebih mendominasi adalah sedih bercampur rindu. Perasaan macam apa ini? Sekalipun aku tidak pernah menyentuh perasaan yang begitu sakit seperti ini. Mengapa dari sekian banyaknya perasaan harus kerinduan yang sedih untuk mengisi lukisan gambar ku? Kenapa sedih? Apa yang dirindukan? Kenapa rasanya seperti sebuah rasa yang tidak bisa berhenti untuk berkesudahan? Terlalu berat untuk ditanggung rasanya.

Waktu dua jam sudah terlewat, dan selama itu pula aku merasa sedih. Aku bisa saja mengehentikan tangan ku untuk menggambar karena terbersit rasa tidak sanggup jika ku lanjutkan. Tetapi aku juga ingin menyelesaikan gambar ku agar perasaan yang ku rasakan bisa cepat hilang dan menjawab rasa penasaran ku meskipun aku tahu pertanyaan ku tidak bisa dijawab.

Dan akhirnya gerakan tangan ku terhenti. Selesai sudah lukisan ku pada kanvas. Dengan perasaan tak menentu, aku menatap sendu hasil karya ku. Yang tidak ku sangka, lagi, air mata ku mengalir di pipi.
Lagi, aku ini kenapa?

***
Sembari menunggu Pak Rudi datang menjemput, aku duduk di kursi yang ada di dekat mading sekolah. Selagi menunggu, aku menghabiskan camilan yang belum habis ku makan tadi ketika jam istirahat. Kedua tanganku sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tangan kanan ku sibuk menyuapkan camilan ke mulut ku, sedangkan tangan kiriku sibuk membentuk garis abstrak pada halaman sketchbook yang berada diatas pangkuanku. Aku memang kidal. Entah kapan aku bisa menggunakan tangan kiriku untuk menulis dan lain-lain, tapi aku baru menyadari beberapa tahun lalu ketika lelah menulis menggunakan tangan kanan, refleks aku mengalihkan pensilku dan mulai menulis dengan tangan kiri. Aku sedikit terkejut, namun mengabaikannya karena aku merasa sudah terbiasa.

Ketika sedang asik menggambar, aku dikejutkan dengan seseorang yang datang langsung duduk di sampingku.

"Hai, Luna." Sapanya kelewat riang. Aku yang masih terkejut mengelus dada, untung tidak tersedak camilan ku.

"Ya ampun, Amel. Bikin kaget aja sih kamu, untung aku ngga tersedak!"

Ia tertawa tanpa dosa. "Hehe, maaf ya, Luna. Abis nya dari tadi kamu aku panggil ngga denger sih, ya udah sekalian aja aku datengin kamu, aku kagetin deh." Balas nya enteng tanpa beban sama sekali.

Begitulah aku, kalau sudah masuk dalam halaman sketchbook ku, pasti sekitar ku berasa hening. Makanya jarang ada yang menggangguku ketika aku sedang asik menggambar.

"Sudah selesai rapat OSIS nya?" Tanya ku.

"Baru aja selesai. Tinggal nunggu dijemput mama. Kamu belum dijemput Pak Rudi, kan?" Jawab Amel.

Aku menggeleng. "Kalo udah dijemput, kamu ngga bakal nemuin aku masih duduk disini." Amel tertawa.

Dia Amel, teman dekatku dari awal aku menginjakkan kaki di SMA. Kami berkenalan ketika dihukum bersama karena tidak membawa barang yang ditugaskan oleh kakak kelas selaku panitia orientasi kala itu kepada murid baru. Semenjak itu kami menjadi dekat dan berteman baik hingga sekarang. Amel sesosok teman yang menyenangkan, dia ramah, periang, pintar dan baik. Dan yang point krusialnya adalah dia sangat cantik. Tidak heran banyak sekali yang menyukai Amel. Ia juga aktif di kegiatan sekolah dan kepengurusan OSIS, menambah nilai plus yang ada pada dirinya. Meskipun satu sekolah mengenalnya, tetap saja dia selalu menempel padaku.

JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang