Bagian 4
Aku langsung menuju kantin setelah selesai remedial sejarah. Perut ku yang terasa lapar meminta untuk cepat diisi dengan seporsi nasi ayam lengkap dengan minuman es jeruk favorit ku. Ternyata remedial pelajaran sejarah kali ini cukup menguras otak ku. Ya, tidak hanya hitung-hitungan yang menguras otak, tapi sejarah yang memiliki banyak hafalan juga bisa menguras otak karena harus terus mengingat peristiwa-peristiwa yang tertulis dalam sejarah. Sepertinya dengan aku menjalankan remedial sejarah ini bisa lebih mengerti posisi sejarawan ataupun guide di sebuah museum yang mengharuskan mereka mengingat setiap tiap kilas cerita dibalik sebuah benda sejarah.
Bekal yang dibuatkan oleh Mbok Inah tadi pagi yang ku makan ketika di sela kelas jam kosong terasa hanya sebuah camilan. Jadilah aku pergi ke kantin yang sepi karena sudah jam pulang sekolah. Mungkin hanya terlihat satu-dua yang masih tetap di sekolah. Itupun karena ekstrakulikuler ataupun organisasi sekolah.
Ditengah menikmati makanan ku, seseorang menepuk bahu ku pelan seraya menyapa. “Hai, Lun!”
Aku mendongakkan kepala, menatap nya yang berjalan kearah kursi yang berada di depan ku. “Hai!” balasku dengan mulut penuh.
Dia Dion. Temanku yang lain, teman Amel juga. Awal pertemanan ku dengan Dion tidak seperti Amel yang sedari awal orientasi siswa. Aku mengenalnya ketika kami masuk satu kelompok saat kelas sepuluh. Ku kira, ia tipe orang yang sulit didekati, tidak peduli dengan sekitarnya. Namun selama mengenalnya sebagai teman satu kelompok, ia menjelma menjadi teman yang baik dan bisa diandalkan. Cukup peduli kepada teman yang lain, meski sampulnya terlihat pendiam dan cuek, ia bisa menjadi banyak bicara jika membahas suatu hal yang menarik perhatiannya.
Saat itu aku hanya iseng bertanya tentang hewan prasejarah yang menurutku masih sangat misteri. Namun dengan jelas ia menjawab dan menjelaskan dengan cermat hingga aku mudah mengerti dan paham. Bahkan ia menyarankan ku untuk menonton saluran geografis yang menjelaskan banyak hal tentang geografi agar aku bisa mengenal lebih dekat dengan flora dan fauna. Mungkin ia tertarik dengan struktur alam beserta isinya. Semenjak itu, aku dan dia terlibat obrolan yang seru hingga tanpa sadar telah menjadi teman dekatku dan Amel. Namun sayangnya menginjak kelas sebelas kami berpisah. Ia di kelas science sedangkan aku dan Amel di kelas sosial.
“Kirain udah pulang, Lun.” Ujarnya.
“Belum. Habis remedial sejarah tadi.” Jawabku setelah menelan nasi dalam mulutku.
“Oh, I see. Tadi Amel juga bilang sama aku.”
“Kamu sendiri kenapa belum pulang? Masih ada kegiatan ekskul?”
“Yep. Tapi udah selesai. Baru aja.”
“Oh.” Balasku pendek, “Ngga langsung pulang?”
“Niatnya mau pulang, tapi liat kamu di kantin jadi aku kesini deh.”
Aku mengangguk-anggukkan kepala.
“Kamu belum makan daritadi siang?” Tanya Dion setelah jeda cukup lama karena aku fokus dengan makanan ku.
“Udah. Tadi pagi bawa bekel. Cuma karena abis remedial dan otak aku capek, jadi perut ku protes minta makan.” Jawab ku dengan terus menyuapkan nasi kedalam mulutku. Sungguh aku sangat lapar.
Dion tertawa pelan mendengar jawabanku.
"Pelan-pelan makannya, Lun." Peringat Dion seraya menjulurkan tangannya kearah sudut bibir ku. "Sampe nasinya ngga masuk ke mulut, malah nempel di bibir kamu." katanya diiringi tawa.
Aku yang mendengarnya hanya bisa meringis lalu mengambil selembar tisu yang tersedia dimeja makan, lalu mengusap disekitar bibirku. "Aku laper banget, Dion. Masih ada ngga nasi nya?"
"Udah ngga kok."
Mendengar itu, aku melanjutkan makan ku yang sisa sedikit. Nasi ayam ibu kantin memang paling enak.
"Kamu ngga pesan makan? atau minum gitu. Masa daritadi cuma duduk diem liatin aku makan doang, emang ngga kepingin?"
Lagi, Dion hanya tertawa. "Ngga, aku udah kenyang makan nasi ayam juga pas istirahat tadi bareng Amel." jawabnya. "Oiya, Amel udah pulang?"
"Udah daritadi, soalnya dia dijemput mamanya on time, tumben banget kan?!" sahutku, "lagian kalaupun dia belum pulang pasti dia bareng aku disini sambil makan."
"iya, ya. Bener juga, kalian kan satu paket."
Aku berdeham menyetujui ucapannya.
"Oiya, kata Amel, tempo hari kamu lukis orang ya? tumben banget."
Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Dion. Menghabiskan satu suapan terkahir kedalam mulutku dan mengunyahnya pelan lalu menelannya dengan segera dan meminum es jeruk ku.
"Amel cerita gitu ke kamu?"
Dion mengangguk. Wajar saja dia baru tahu, karena beberapa hari ini ia tidak masuk sekolah, ada acara keluarga dia bilang.
Netranya masih menatapku menunggu jawaban. Sedangkan aku masih diam, tidak langsung menjawab. Sepertinya kedua teman ku sangat ingin tahu mengapa aku melukis seseorang. Padahal aku yang melukisnya saja masih mencari jawaban atas pertanyaan itu.
"Aku juga ngga ngerti." Aku bersuara.
Ku lihat Dion mengernyitkan dahinya, seolah mengatakan ia tidak paham dengan jawaban ku barusan. "Iya, aku juga ngga ngerti kenapa aku ngelukis orang, Dion. Waktu Miss Alena suruh ngelukis bebas, aku ngga punya bayangan mau ngelukis apa. Tapi tiba-tiba aja aku ngerasa sesuatu yang aneh."
"Maksudnya ngerasa sesuatu yang aneh?" Dion semakin dalam menukik kernyitan dahinya.
"Aku ngerasa harus ngelukis seseorang yang bahkan aku ngga tau dia siapa, belum pernah ketemu dan ngga tau pasti sosoknya kayak apa. Tapi aku merasa ada yang suruh aku untuk ngelukis wajah orang itu. Dan aneh nya, aku ngerasa sedih. Senyum dari wajah yang aku lukis seolah bilang ke aku kalau dia rindu dengan seseorang."
Kali ini Dion tidak menunjukkan ekspresi apaun dari wajahnya. Ia hanya menyimak kalimat panjangku dengan seksama. Sepertinya ia juga sama bingungnya dengan ku.
"Kamu beneran ngga kenal dan ngga pernah ketemu sama dia?" Tanya Dion.
Aku yang notabene nya sangat jarang melukis seseorang, tiba-tiba saja mendapat dorongan untuk melukis wajah dari oarng asing yang bahkan tidak ku ketahui indentitasnya sama sekali. Bahkan seorang pelukis pun kalau ingin melukis seseorang minimal kenal nama dan berinteraksi sedikit dengan si objek. Sedangkan aku? Tidak sama sekali.
"Sama sekali ngga pernah. Kalaupun aku pernah ketemu sama dia, aku sendiri pun ngga yakin, karena apa yang aku rasain pun aneh." Pungkas ku.
Dion mengangguk kecil, seakan mengerti dengan diriku dan ia tidak bertanya lagi.
"Udah selesai, kan, makannya? Yuk pulang, aku anterin." Celetuk Dion seraya beranjak dari tempat duduknya. Mendengar itu, aku pun mengikuti pergerakannya.
Sebelum benar-benar keluar dari kantin, aku menuju kasir untuk membayar makanan ku tadi lalu mengirim pesan ke Pak Rudi bahwa ia tidak perlu menjemput ku.
Sampai di parkiran, sepintas aku seperti melihat siluet seseorang dibalik pohon tapi setelah aku amati tidak ada siapapun disana selain aku dan Dion yang sedang mengeluarkan motornya.
"Luna, ayo naik!" Seruan Dion dari balik helm full face-nya menyadarkan ku.
Sudahlah, hanya perasaanku saja.
Aku pun naik ke boncengan belakang lalu berpegangan pada jaket yang Dion kenakan. Tak lama kami pun keluar dari area sekolah.
Selama perjalanan menuju rumahku, tidak ada percakapan berarti antara aku dan Dion. Bahkan aku lebih banyak diam daripada biasanya. Sampai tidak terasa motor yang kami naiki sudah berhenti didepan rumah ku. Aku pun segera turun dari motor Dion.Saat aku hendak pamit berbalik membuka gerbang. Dion menahan lenganku.
"Kemarin aku lihat lukisan kamu," Katanya. "Rindunya memang ngga pernah redup." Lanjut Dion disertai senyum yang amat tipis.
Belum juga aku mengerti dari kalimat yang ia lontarkan barusan, Dion telah pamit terlebih dahulu dan melajukan motonya meninggalkan ku dengan rasa heran.
Apa maksudnya?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji
Short StorySekali janji, tetaplah janji. Karena kamu adalah hal paling istimewa yang aku punya.